Di penghujung Juni lalu, saat peringatan 100 hari meninggalnya Bung Yamin, telah diluncurkan buku kenangan terhadap Mohamad Yamin sebagai penghormatan terhadap beliau. Buku tersebut berisi catatan atau kenangan dari berbagai kalangan: para sahabat almarhum lintas generasi dan lintas profesi. Demikian beragamnya figur yang menyumbangkan tulisan, menunjukkan betapa luasnya pergaulan Bung Yamin. Buku ini memberi penegasan soal Bung Yamin sebagai aktivis paripurna, capaian hidupnya lumayan tinggi dan jaringannya tersebar di mana-mana.
Terus terang saya sendiri merasa sedih, karena tidak sempat datang ke Yogyakarta, saat buku itu diluncurkan, dan kemudian dibahas oleh teman-teman almarhum, sesama aktivis pergerakan, khususnya dari Generasi 1980-an. Sebab pada saat bersamaan, saya sedang ada tugas di tempat lain, yang tidak mungkin saya tinggalkan.
Saya sendiri terbilang cukup lama berkenalan dengan Bung Yamin. Saya masih ingat dengan baik, pada dekade 1980-an, bila ada kegiatan di Salatiga atau kota di sekitarnya, Yamin bersama teman Rode yang lain sering datang. Di situlah kami berkenalan, dan terus menjalin keakraban sampai jauh kemudian hari.
Saya semakin intensif berinteraksi dengan Bung Yamin, saat merintis pendirian Seknas Jokowi, pada seputar bulan September-Oktober 2013. Saat Seknas Jokowi dideklarasikan pada 15 Desember 2013, Bung Yamin terpilih sebagai Ketua Umum, sementara saya sendiri sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen). Demikian dekatnya hubungan kami, sampai hari inipun saya belum bisa menepis rasa kehilangan itu.
Generasi milenial Rode
Salah satu bagian paling mengesankan dari buku tersebut, adalah cetusan atau catatan dari generasi baru Komunitas Rode. Mereka adalah generasi penerus Bung Yamin, mengingat Bung Yamin adalah generasi pertama Komunitas Rode.
Meski beda usia antara Bung Yamin dengan generasi Rode sekarang sekitar 30 tahun, namun keakraban masih bisa terjalin. Dengan gayanya yang khas, Yamin bisa membangun relasi tanpa gap. Seperti ditulis Danar (hal 259), bagaimana dirinya seperti dipaksa oleh Om Yamin (begitulah panggilan akrabnya di kalangan Rode generasi now), untuk banyak membaca, khususnya karya sastra dari Pramoedya Ananta Toer.
Dalam ingatan Danar, aktivis harus banyak membaca, jadi bisa membaca situasi yang sedang berkembang di masyarakat. “Kuasai sejarah Nar, kalau kau tidak tahu sejarah belum pantas kau menjadi seorang leader,” tulis Danar. Pesan tersebut disampaikan pada Danar, sekitar dua minggu sebelum Bung Yamin berpulang.
Atau bagaimana pengalaman Adrian Hanif, yang sempat “kepergok” Om Yamin sedang tidur siang. Om Yamin memberi “peringatan keras” agar jangan ada aktivis tidur siang (turu awan – istilah Om Yamin saat itu), seperti pernah terjadi pada Adrian. Menurut Om Yamin, siang hari adalah saat produktif dan harus dimanfaatkan untuk kegiatan produktif, seperti menulis atau membaca. Adrian menulis, Om Yamin memiliki catatan soal kaitan bobo siang dengan situasi represif Orde Baru.
Kata Om Yamin, aparat di masa Orde Baru bisa sewaktu-waktu menggerebek kediaman atau pos aktivis (seperti Rumah Rode), jadi para aktivis masa itu selalu waspada, kebiasaan tidur siang sudah tentu merupakan blunder. Ini seperti yang pernah saya lihat sendiri dulu saat berkunjung ke Rode di masa Orde Baru, tamu di Rode (umumnya aktivis dari kota lain) tidak pernah berhenti, mulai obrolan ringan sampai diskusi serius terus berlangsung, sehingga memang tidak ada kesempatan untuk bobo-bobo siang.
Kepedulian Yamin terhadap regenerasi aktivis memang besar. Yamin selalu mendorong pada generasi baru aktivis untuk terus belajar, banyak membaca, dan tidak mudah menyerah menghadapi berbagai hambatan. Bukan hanya sebatas komunitas Rode, Yamin juga memberi perhatian khusus pada generasi baru aktivis di Seknas Jokowi. Saya melihat sendiri, teguran Yamin terkadang terdengar sangat keras, namun itu demi kebaikan aktivis muda itu sendiri. Untuk sekadar meredakan ketegangan usai ditegur, biasanya para aktivis muda itu kemudian diajaknya ngopi-ngopi bareng, sambil bergurau lepas.
Tentu saja, komunitas Rode adalah karya terbaik Yamin dalam medium melahirkan generasi baru aktivis. Harus diakui tidak banyak mantan aktivis yang kemudian melakukan kaderisasi. Kita bisa melihat secara kasat mata, bagaimana aktivis generasi masa lalu, lebih menikmati jabatan atau kesejahteraan yang telah diperolehnya, setelah bergabung dengan rezim penguasa.
Saya sendiri merasa beruntung, ketika saya masih mahasiswa di Salatiga, di kampus saya terdapat figur Arief Budiman, mantan aktivis gerakan mahasiswa generasi 66. Keberadaan Arief Budiman telah memberi inspirasi bagi mahasiswa di kampus saya, atau kampus di kota lain, untuk terjun sebagai aktivis, dengan target besarnya adalah menumbangkan rezim Soeharto. Kini semuanya telah menjadi sejarah, dan salah satu pelaku sejarah itu adalah Yamin.
Influencer
Kini ada istilah baru bagi tokoh yang berpengaruh, dan selalu menjadi viral di medsos, yakni influencer. Benar, Yamin adalah juga seorang influencer, jauh sebelum istilah itu sepopuler sekarang. Selain generasi milenial Rode, kawan-kawan segenerasinya juga mengakui bagaimana Yamin telah menjadi influencer sejak era 1980-an.
Seperti ditulis seniman instalasi Dadang Christanto (hal 153). Dadang menyebut Yamin sebagai “Pendalang” atau komunikator yang jago. Dadang mengaku sangat terkesan dengan gaya bicara Yamin, dalam diskusi Yamin akan mengejar dengan pertanyaan atau argumen, membuat diskusi makin seru. Dadang yang berlatar belakang seni, sering hanya terbengong saja, melihat ketajaman argumentasi Yamin saat diskusi di Rode, tahun 1980-an atau 1990-an dulu.
Pengaruh Yamin juga diakui oleh Nezar Patria (Pemred The Jakarta Post, mahasiswa Filsafat UGM generasi 1990-an). Nezar mengenang Yamin dan Rode sebagai salah satu pusat radiasi pemikiran kritis gerakan mahasiswa era Orde Baru. Kelak para aktivis di Yogya dan berbagai daerah lain menjadikan Rode sebagai pusat, menuju gerakan yang lebih besar tahun 1998.
Tulisan Isti (Bambang Isti Nugroho) juga penting dicatat, mengingat karena kasus Isti pula yang menjadi pemicu terjadinya peristiwa “Kusumanegara Berdarah” (September 1989). Menurut Isti, meski di akhir-akhir hidupnya Yamin terbilang dekat dengan kekuasaan, khususnya pada Jokowi secara personal, namun Yamin tetap menghargai perbedaan politik yang mungkin terjadi pada kawan segenerasinya. “Pilihan sikap boleh, asal tak harus konfrontatif,” demikian kenang Isti.
Kalimat terakhir yang ingin saya sampaikan, buku ini telah berhasil mendokumentasikan dengan baik segala kenangan tentang almarhum. Buku ini bisa menjadi penawar rindu, bagi para sahabat yang selalu merindukannya. Buku ini bisa juga menjadi pembelajaran, bagi tunas-tunas baru aktivis, yang ingin terus bergerak. Sebagaimana diperlihatkan sendiri oleh almarhum, yang terus “bergerak sampai akhir…”
Penulis Dono Prasetyo adalah Fungsionaris DPN Seknas Jokowi, dan aktivis gerakan mahasiswa 1980-an di Salatiga
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.