Kenaikan harga BBM, pajak dan Utang Luar Negeri (ULN) kembali menjadi topik panas. Informasi itu memaparkan bahwa pemerintah Jokowi telah seenaknya menaikan pajak, harga BBM dan menambah ULN sebesar Rp.900 triliun. Dan dikatakan bahwa bertambahnya ULN tersebut karena pemerintah boros dan serampangan dalam mengelola keuangan negara. Kritik tentu hal yang baik. Tapi jika kritik mengaburkan fakta, nilai kebaikan yang akan diraih tentu akan hilang maknanya.
Pertama mengenai perpajakan. Pajak bukan hanya untuk memperoleh pendapatan negara, tetapi harus dilihat juga sebagai  instrumen untuk mewujudkan keadilan. Pajak harus terus digenjot untuk membiayai proyek infrastruktur dan peningkatan pelayanan publik. Tentu perpajakan akan memberatkan, terutama bagi masyarakat kecil. Karena pajak akan berkaitan dengan berkurangnya penghasilan, peningkatan biaya produksi, dan juga kenaikan harga, yang harus dibayar oleh konsumen. Tetapi tanpa pajak, bagaimana kita bisa mengatur kegiatan ekonomi? Bagaimana pelayanan publik bisa berjalan? Yang harus diawasi adalah bagaimana dan kepada siapa pajak dikenakan.
Peruntukan uang hasil pajak, juga harus dikritisi. Harus diawasi belanja uang negara, agar selain untuk pelayanan publik, juga bisa menggerakan ekonomi nasional. Tingkat kebocoran harus juga ditekan, agar semakin kecil bahkan sampai 0%. Bahkan dengan sistem pajak yang baik, kita bisa terbebas dari ULN.
Mengenai kenaikan ULN pemerintah Jokowi yang dikatakan meningkat sebesar Rp.900 triliun, benarkah sebesar itu? Marilah kita lihat data – data BI dengan benar. Dan apakah memang dikelola dengan serampangan, seperti yang digaungkan, kita bisa lihat dari data-data makro lainnya.
Total ULN kita, pada akhir Triwulan III 2014 besarnya USD 292.3 Milyar. Posisi ULN Indonesia tersebut, terdiri dari ULN sektor publik (pemerintah) sebesar USD132,9 miliar, dan ULN sektor swasta USD159,3 miliar.
Setelah 2 tahun, posisi ULN pada Semester III 2016 sebesar USD 325.3 Milyar. Utang tersebut terdiri dari ULN sektor publik (pemerintah) sebesar USD 162.2 Milyar, dan ULN Swasta USD 163.1 Milyar.
Dari data tersebut, total kenaikan ULN (pemerintah dan swasta) sebesar USD 33 Milyar, atau Rp.429 triliun. kenaikan ULN Pemerintah sendiri sekitar Rp.380 triliun. Jumlah tersebut tentu berbeda dengan Rp.900 triliun seperti yang digaungkan.
Benarkah peningkatan ULN karena pemerintah mengelola ULN secara serampangan? Tentu itu berlebihan. Karena UU No.17 Tahun 2013 secara tegas mengatur bahwa defisit anggaran (yang ditutup oleh utang) tidak boleh lebih dari 3% PDB (Produk Domestik Bruto). UU ini memiliki semangat untuk membatasi ULN. Selain itu UU ini juga mengamanatkan agar pembangunan harus mendorong peningkatan pertumbuhan PDB/ekonomi.
Utang Luar Negeri dan Pertumbuhan Ekonomi
Hutang luar negeri tidak bisa dilihat secara tersendiri. Agar lebih komperhensif, kita harus melihat juga pertumbuhan ekonomi nasional dan global. Terutama situasi perekonomian global yang sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional.
Triwulan III Tahun 2014, pertumbuhan ekonomi dunia rata-rata sekitar 2.8%, Sedang Indonesia tumbuh 5.01%. Artinya pertumbuhan ekonomi Indonesia di saat itu, 70% diatas pertumbuhan global.
Tahun 2015, pertumbuhan ekonomi dunia turun menjadi sekitar 2.4%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga turun dari 5.1% menjadi 4.76%. Walau pertumbuhan Indonesia turun, tetapi dibanding pertumbuhan ekonomi global, pertumbuhan ekonomi kita di periode teraebut, 90% diatas pertumbuhan global. Dan pada tahun 2016 pertumbuhan ekonomi secara global diperkirakan sebesar 2.8% sementara pertumbuhan Indonesia diperkirakan meningkat menjadi 5.1%. Berarti tahun 2016, pertumbuhan ekonomi Indonesia 90% diatas pertumbuhan ekonomi dunia. Hal tersebut menunjukan bahwa dalam 2 tahun pemerintahan Jokowi, perbandingan antara pertumbuhan ekonomi yang dicapai dibandingkan dengan pertumbuhan global, hasilnya lebih baik dari periode sebelumnya.
Menurut BI, dengan jumlah ULN kita saat ini jika dibandingkan dengan PDB rasionya adalah 36,8%. Rasio itu menurut BI aman, karena masih di batas bawah yang ditetapkan oleh bank sentral sebesar 51.1%.
Kecemasan terhadap ULN sangat penting. Karena terlena dengan ULN akan membuat kita masuk dalam jebakan utang. Apalagi jika kemudian DSR (Debt Service Ratio) yaitu rasio beban pembayaran bunga dan cicilan pokok ULN dengan jumlah penerimaan ekspor, rasionya sudah diatas 50%. Tetapi memplintir informasi dan mengaburkan data, tentu bukan jalan keluar. Bahkan itu akan melemahkan upaya keluar dari ketergantungan terhadap ULN.
Jalan keluarnya, kita harus terus meningkatkan kemampuan ekspor kita, dan mengurangi konsumsi produk impor. Hal lainnya adalah bagaimana kita mensubstitusi cara menutup defisit anggaran, dari berhutang diubah dengan upaya pembiayaan sendiri melalui pajak. Pajak sebagai sebuah instrumen, adalah alat untuk mewujudkan keadilan. Yang penting dalam pelaksaannya. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, harus diawasi bagaimana dan kepada siapa pajak dikenakan, serta harus jelas peruntukannya.
Mereka yang memiliki kendaraan dengan mesin besar, pajaknya juga harus lebih besar dari yang mesin kecil. Penggunaan BBM nya tentu harus tanpa subsidi. Jadi saat BBM subsidi tidak naik, yang non subsudi naik, bukankah itu hal yang baik? Demikian pula halnya dengan menpertahankan tarif listrik berrsubsidi dan menaikan tarif listrik untuk mereka yang boros (memakai daya dan kwh besar), bukan kah itu bentuk penggunaan pajak kita secara tepat? Itu yang dilakukan oleh pemerintah Jokowi. Tetapi hal itu pula yng diprotes oleh mereka yang mengaku kritis. Sementara, di saat yang sama mereka juga yang meneriakan bahaya utang luar negeri. Aneh rasanya