Malang – Saat ini jumlah dan tren organisasi penghayat yang terdaftar di tingkat pusat telah menurun drastis. Menurut Direktur Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan YME dan Tradisi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Sri Hartini, dari sekitar 300 organisasi yang sebelumnya terdata, angka terakhir (2016) pada direktorat terkait di Kemendikbud kini hanya tercatat sebanyak 182 organisasi.
Jika dibandingkan dengan 1057 jumlah organisasi penghayat yang pernah tercatat pada masa Orde Baru, jumlah itu bahkan sangat jomplang.
Hal itu disampaikan Sri Hartini dalam Lokakarya Tantangan dan Peran Perempuan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan YME yang dilaksanakan oleh Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) Provinsi Jawa Timur, di Malang, Senin (23/5/2016).
Terkait fenomena penyusutan itu, Akhol Firdaus, peneliti dan pengajar di Pusat Studi HAM dan Islam (PUSHAMI) IAIN Tulungagung membagikan temuan yang menarik. Dari riset mendalam yang dilakukannya terhadap dua organisasi yang “survive”, Sapto Darmo (SD) dan Jawa Dipa (JD), Firdaus menemukan fakta bahwa faktor penentu kekuatan bertahan kedua organisasi itu adalah karena kuatnya peran perempuan.
Menurut Firdaus, di kedua organisasi itu sangat aktif berperan dalam kepemimpinan organisasi. Bahkan di SD, perempuan dan pemuda membentuk organisasi sendiri (sayap).
“Peran itu telah membuat proses transfer pengetahuan, ajaran dan nilai-nilai organisasi bisa terus dilembagakan, sehingga regenerasi bisa berlangsung berkelanjutan. Proses itu tidak terjadi dalam organisasi-organisasi penghayat yang lain,” ungkap Firdaus.
Dalam kaitan tersebut, Eva Sundari mengatakan pentingnya membentuk kaukus perempuan penghayat di organisasi MLKI yang anggotanya dari lintas organisasi penghayat.
Selain itu, Eva juga mendorong agar di masing-masing organisasi anggota MLKI dibentuk sayap organisasi perempuan. Menurutnya, hal itu adalah karena fakta menunjukkan bahwa pengarus-utamaan perempuan menjadi kunci eksistensi organisasi penghayat.
Politisi PDI Perjuangan ini menambahkan, posisi perempuan dalam agama-agama lokal maupun filsafat timur sangat sentral. Ia mencontohkannya dalam kepemimpinan para sultana dan ratu-ratu di Nusantara pada masa pra-kolonialisme.
Faktor yang kemudian menggerus praktik kesetaraan gender di Nusantara, kata Eva, adalah datangnya penjajah yang membawa nilai-nilai patriarki dari filsafat barat dan budaya Timur Tengah.
Menurutnya, peran setara laki-laki dan perempuan dalam agama-agama lokal Nusantara seharusnya alamiah, karena beberapa perempuan juga dianggap menerima wahyu, sehingga perempuan menduduki posisi sebagai tuntunan maupun pemimpin spiritual di beberapa organisasi penghayat.
“Sehingga, tidak ada pilihan lain, organisasi penghayat perlu melakukan reformasi ke dalam untuk menginternalisasikan perspektif kesetaraan gender agar mampu menjawab tantangan dari luar bagi keberlangsungan eksistensi mereka,” ujarnya.
Sebagai perbandingan, Eva menggambarkan keberhasilan negara-negara Skandinavia dalam mengintegrasikan kesetaraan gender dan feminisme dalam pembangunan mereka sejak 50 tahun terakhir.
Human Development Index (HDI) negara-negara Skandinavia tercatat yang tertinggi di dunia. Bahkan Denmark, menempati posisi sebagai negara dengan penduduk paling bahagia di dunia, selain sebagai negara paling aman untuk perempuan dan anak-anak.
“Dalam sepuluh tahun terakhir, diskriminasi terhadap minoritas dan gender, hampir nol. Yang menarik, Negara-negara Skandinavia juga selalu terpilih dalam sepuluh teratas negara paling islami,” kata legislator DPR yang mewakili daerah pemilihan Jawa Timur VI itu.