BOGOR – Ratusan buruh yang tergabung dalam Serikat Pekerja Nasional (SPN) unjuk rasa di Balaikota, Jalan Juanda, Kota Bogor. Dalam aksinya, massa aksi juga membawa spanduk bertuliskan desakan naik upah senilai Rp650 ribu. Pendemo juga menolak PP 78 tahun 2015.
“Setiap tahun kita selalu menuntut kesejahteraan buruh. Tapi, setiap tahun pula buruh tidak pernah sejahtera. Sebab, para buruh lebih banyak dibohongi pemilik modal, dibohongi Disnakertrans Kota Bogor yang tidak becus berpihak pada kepentingan buruh. Dizholimi juga oleh kebijakan pemerintah,” teriak pendemo dalam orasinya, Kamis (10/11/2016).
Para buruh asal Kota Bogor yang kebanyakan datang menggunakan motor tersebut juga mengaku kecewa. Karena, Upah Minimum Kota (UMK) Bogor tahun 2016 ini yang resmi ditetapkan Rp3.022.765, tidak banyak dinikmati buruh.
“Alasan yang disampaikan perusahaan klise, karena ketidakmampuan keuangan. Artinya, lagi-lagi buruh dibohongi dengan aturan UMK yang tidak mengikat dan tidak dipatuhi perusahaan di Kota Bogor. Sampai saat ini, masih banyak buruh bernasib nelangsa dengan jauh dibawah UMK. Ironisnya, Disnakertrans Kota Bogor tidak terlihat melakukan pembelaan terhadap nasib buruh,” kesal Amran, salah satu pendemo saat berorasi.
Sementara, koordinator unjuk rasa, Budi Mahardika menyampaikan alasannya turun ke jalan menolak PP 78 tahun 2015. Budi juga minta Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor perlu menekan upah buruh di atas UMK dan di atas PP 78.
“Kenaikan gaji buruh hanya 8,25 persen. Kita tahu PP 78 itu menaikan upah sesuai pertumbuhan ekonomi. Jadi, kurang dari 10 persen gaji buruh naiknya,” ujarnya.
Setelah buruh menggelar aksi di halaman balaikota, selang beberapa lama Walikota Bogor Bima Arya Sugiato bersedia menerima perwakilan buruh untuk berdialog di ruangannya.
Dasar penolakan buruh terhadap peraturan pemerintah nomor 78 tahun 2015 tentang pengupahan didasari formulasi upah kedepannya dihitung hanya sekedar angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintah BPS dengan mengabaikan survey harga-harga kebutuhan pokok setiap tahunnya yang menjadi patokan Komponen Hidup Layak.
Dengan adanya PP ini kewenangan dewan pengupahan dalam menentukan besaran upah juga diambil alih oleh BPS. Dalam ketentuan Pasal 45 dan Pasal 47 PP Pengupahan, kewenangan Dewan Pengupahan hanyalah melakukan peninjauan kebutuhan hidup layak, dengan tetap berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja tentang penetapan komponen dan jenisnya.
“Padahal seharusnya, Gubernur sebelum menetapkan besaran upah minimum provinsi dan kabupaten/kota, memperhatikan saran dan pertimbangan Dewan Pengupahan, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (3) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 13 Tahun 2012,” lanjut perwakilan buruh asal SPN.
Dengan demikian, meskipun Dewan Pengupahan masih diberikan kewenangan memberikan usulan terhadap besaran upah minimum sektoral. Namun dalam hal penetapan besaran upah minimum, Dewan Pengupahan hanya berwenang memberikan saran dan pertimbangan kepada Gubernur, Bupati/Walikota, atas peninjauan kebutuhan hidup layak yang ditinjau setiap 5 (lima) tahun sekali, sesuai Pasal 43 ayat (5) PP Pengupahan.
Selain itu, buruh pengunjuk rasa juga menilai PP 78 tahun 2015 tentang pengupahan bertentangan dengan undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Sebab, dalam peraturan pemerintah tentang pengupahan yang disahkan ini, pemerintah tidak memenuhi prinsip penghidupan yang layak bagi buruh dan tidak melindungi pekerja.
“Sehingga PP ini bertentangan dengan isi UU 13/2003, isi dalam PP tersebut ada ketidaksingkronan secara hirarkis peraturan perundang-undangan, dan formula rumus kenaikan upah minimum tidak didasari kondisi ekonomi obyektif di wilayah per wilayah,” tuntasnya. (eko)