Tradisi Banyumasan (termasuk Purworejo) memiliki posisi khas dalam sejarah kemiliteran di Tanah Air. Bisa jadi itu berkat keberadaan Gombong, kota kecamatan yang terletak antara Purwokerto dan Purworejo. Di kota ini pernah berdiri lembaga pendidikan bagi calon anggota KNIL (tentara kolonial Hindia Belanda). Keberadaan pusat latihan ini ibarat simbiosis mutualisme, mengingat wilayah Banyumas dan Purworejo, sejak lama dikenal sebagai sumber rekrutmen bagi calon anggota KNIL. Dari sinilah tradisi perwira asal Banyumas itu bermula dan pada satu masa sangat mewarnai sejarah militer Tanah Air, terutama pada unsur pimpinannya.
Tak salah lagi figur terkemuka perwira tradisi Banyumasan adalah Sudirman, Gatot Soebroto, dan Oerip Soemohardjo. Tradisi Banyumasan merujuk pada wilayah eks Karesidenan Banyumas, yaitu Kota Purwokerto dan sekitarnya, yang memang sudah dikenal berbeda dari tradisi Mataraman. Oerip berasal dari Purworejo, kota yang posisinya sedikit ke timur dari wilayah Banyumas. Namun, dalam tinjauan klasik tentang tradisi asal-usul perwira, perwira asal Purworejo dianggap sebagai bagian dari tradisi Banyumasan, meski Purworejo sejatinya juga memiliki tradisi lokal, yang biasa dikenal sebagai tradisi Bagelen.
Kesatria Pamungkas: Dading Kalbuadi
Ketika Soeharto (asal Yogyakarta) berkuasa, dominasi perwira berlatar tradisi Banyumasan secara perlahan mulai memudar. Meski masih ada nama seperti Jenderal Soerono dan Letjen Soesilo Soedarman, tetapi semuanya selalu di bawah bayang-bayang Soeharto. Baru pada pertengahan dekade 1970-an, muncul perwira dengan tradisi Banyumasan yang tipikal, yaitu Dading Kalbuadi (meninggal 10 Oktober 1999)
Mungkin sudah kehendak sejarah: Dading muncul di saat tepat ketika TNI membutuhkan komandan lapangan yang mumpuni guna memimpin operasi pendahuluan untuk menyerbu wilayah Timor Leste (d/h Timor Timur), yang bersandi Operasi Flamboyan itu. Sejak itu, nama Dading menjadi identik dengan operasi di Timor Leste. Panglima atau komandan operasi di Timor Leste acapkali berganti, tetapi yang paling diingat publik hanya Dading Kalbuadi. Keterlibatan Dading dalam Operasi Flamboyan (dan Seroja) semula tak lepas dari sentuhan Benny Moerdani, sahabat lamanya yang asli Solo. Namun, dalam perkembangannya, Dading mampu membangun reputasi sebagai panglima perang pamungkas di era Indonesia modern. Satu catatan penting: Dading bisa menjadi jendela untuk memahami bagaimana dunia batin perwira berlatar tradisi Banyumasan bila dikaitkan perwira Mataraman.
Saat masih duduk di bangku SMP Purwokerto, Dading sudah tergabung dalam Pasukan Pelajar IMAM (“Indonesia Merdeka atau Mati”). Mayoritas anggota IMAM adalah pelajar yang bermukim di Purwokerto, dikenal ibu kota eks-Karesidenan Banyumas. Satuan ini terbilang unik karena Pasukan Pelajar IMAM secara komando terpisah dari Tentara Pelajar (TP) Jateng yang berpusat di Solo di bawah pimpinan Mayor Achmadi.
Rupanya hal ini sudah bagian dari semangat tradisi Banyumasan sebagai daerah “pinggiran”, yang tak selalu tunduk pada Solo dan Yogya (pusat budaya Mataraman). Nama Pasukan Pelajar IMAM kini diabadikan nama jalan pada sejumlah kota eks-karesiden Banyumas, dan tidak ditemukan di tempat lain.Pudarnya sebuah tradisi
Pudarnya perwira tradisi Banyumasan, tanda-tandanya sudah tampak pasca-tragedi 1965 ketika Soeharto menggantikan Ahmad Yani sebagai KSAD (d/h Pangad). Yani berasal dari Purworejo, sementara Soeharto dari tradisi Mataraman (Yogya). Naiknya Soeharto ibarat pedang bermata dua. Karena selain mengakhiri dominasi perwira berlatar belakang tradisi Banyumasan, ia mengakhiri dominasi perwira rumpun Siliwangi bersama figur sentralnya, A.H. Nasution.
Dalam militer Indonesia, tradisi berdasarkan rumpun atau primordial bisa dianggap sudah berakhir. Pudar tradisi ini terjadi secara gradual, selain karena surutnya keberadaan figur sentral sebagaimana telah dipaparkan di muka. Faktor penentu lain adalah keberadaan sekolah perwira, misalnya Akademi Militer dan akademi bagi matra-matra lain.
Proses pendidikan di Akmil dan sistem rotasi kewilayahan dalam penugasan ketika menjadi perwira tak memungkinkan lagi munculnya ikatan primordial seperti masa lalu. Kini tradisi apa yang berkembang dalam militer? Melihat proses promosi yang tanda-tandanya sebenarnya sudah dimulai sejak era Orde Baru, muncul tren promosi perwira dari keluarga militer. Terus terang saya belum menemukan istilah yang bagus untuk menggambarkan fenomena tersebut.
Untuk sementara, sebut saja (tradisi) ini “like father, like son”. Salah satu fakta pendukung untuk asumsi terbentuknya tradisi itu adalah percepatan karier Jenderal TNI Andika Perkasa (KSAD, Akmil 1987), menantu Letjen TNI (Purn) Hendropriyono (Akmil 1967). Contoh lain yang juga sedang hangat dibicarakan publik adalah promosi relatif cepat bagi Brigjen Maruli Simanjuntak (Akmil 1992, Komandan Paspampres), menantu Letjen (Purn) Luhut B. Panjaitan (Akmil 1970, lulusan terbaik). Dalam level perwira menengah, kecenderungan ini juga sudah muncul. Salah satunya ketika Brigade Infanteri 15/Kujang II (Padalarang, Bandung) dipimpin secara berturut-turut oleh anak jenderal: Kol. Inf. Iman Budiman (Akmil 1993, putera Jenderal Edie Sudrajat) dan Kol. Inf. Bagus Suryadi (Akmil 1993, putera Mayjen Purn Tayo Tarmadi). Pertanyaan berikutnya, bagaimana persepsi kolega mereka ketika melihat realitas tersebut?
Di belahan bumi mana pun, yang namanya tradisi sulit disalahkan karena semuanya terjadi seolah-olah secara alamiah. Tradisi merupakan hasil interaksi (positif) dengan lingkungan dalam rentang relatif lama. Demikian juga soal tren mempromosikan anak (atau menantu) jenderal. Baik publik dan kolega perwira yang bersangkutan secara perlahan akan memahaminya. Meski ada juga yang harus “dikorbankan”, salah satunya adalah pudarnya tradisi Banyumasan sebagai rumpun perwira TNI.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.