Selasa, 26 September 23

TPDI Minta Mendagri Tetap Aktifkan Ahok sebagai Gubernur DKI

Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus meminta pemerintah dalam hal ini Menteri Dalam Negeri (Mendagri) agar bersikap tegas dan pasti terhadap opsi pengaktifan kembali Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Petrus juga meminta Mendagri tidak mengeluarkan keputusan pemberhentian sementara terhadap Ahok lantaran kedudukannya sebagai terdakwa dalam kasus penistaan agama.

Hal itu, kata Petrus, alasan hukumnya berdasarkan ketentuan pasal 83 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah secara limitatif ditujukan hanya kepada tindak pidana yang bersumber dari pelanggaran UU yang menganut sistem pemidanaan minimum khusus dan maksimum khusus atau pada kejahatan-kejahatan serius yang berkarakter sangat merugikan, membahayakan dan meresahkan masyarakat luas dan yang berpotensi mengancam sendi-sendi kehidupan berbangsa.

“Saat ini 4 (empat) Fraksi di DPR dan beberapa pakar hukum tata negara secara keliru manafsirkan makna sosiologis, yuridis dan filosofis dari ketentuan pasal 83 UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemda dengan memaksa Menteri Dalam Negeri untuk memberhentikan sementara Ahok dari jabatan Gubernur DKI Jakarta, atas alasan Dakwaan Jaksa pasal 156 atau 156a KUHP. Seakan-akan tindak pidana yang dimaksud pada pasal 156a KUHP masuk dalam kriteria atau kualifikasi kejahatan serius yang berkarakter sangat merugikan, membahayakan dan meresahkan masyarakat luas, sehingga menyebabkan seorang Kepala Daerah dan atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan sementara,” ujar Petrus melalui keterangannya, Selasa (14/2).

Dikatakan Petrus, langkah ke empat Fraksi di DPR (Demokrat, PKS, Gerindra dan PAN) yang sedang menggalang penggunaan hak angket untuk melakukan penyelidikan terhadap pemerintah sangat tidak proporsional, terlalu dicari-cari, bahkan politicking semata-mata untuk menjegal Ahok dengan membuat tafsir sesat terhadap ketentuan pasal 83 UU No. 23 Tahjn 2014 tentang Pemda.

Padahal, lanjut Petrus, Undang-undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda secara pasti dan tepat telah membukakan pintu untuk seorang Kepala Daerah untuk diberhentikan sementara dari jabatan atau dilarang menggunakan segala tugas dan kewenangannya, hanya pada dua pendekatan.

“Pertama, pendekatan dengan menggunakan mekanisme pasal 83 UU No. 23 Tahun 2014, Tentang Pemda yang menunjuk kepada kualifikasi kejahatan yang diatur dengan Undang-Undang yang menganut sistim, pola dan pedoman pemidanaan minimum khusus dengan minimal ancaman pidana 5 (lima) tahun, UU Tipikor, Teroris, psikotropika, Narkotika yang memberikan pemberatan hukuman kepada pelaku kejahatan demi melindungi masyarakat dari kejahatan serius yang berkarakter sangat menakutkan, merugikan dan meresahkan masyarakat luas,” jelasnya.

Pendekatan kedua, sambungnya, menggunakan mekanisme sesuai dengan ketentuan pasal 65 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda, dimana seorang Kepala Daerah yang sedang menjalani masa tahanan dilarang menjalankan tugas dan kewenangannya sebagai Kepala Daerah sehingga Wakil Kepala Daerahlah yang menjalankan tugas dan wewenang Kepala Daerah.

Selanjutnya Petrus menuturkan, menurut Doktrin Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, beberapa delik tertentu memang ditentukan ancaman pidana dengan sistem, pola dan pedoman pemidanaan penjara minimum khusus, terutama terhadap delik yang dipandang meresahkan masyarakat, delik yang dikualifisir atau diperbuat oleh seorang Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah, yang akibatnya sangat meresahkan masyarakat, mengganggu ketertiban umum, terlebih kejahatan yang mengarah kepada ancaman perpecahan berbangsa dan bernegara NKRI.

“Ketentuan asal 83 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda secara sosiologis, filosofis dan yuridis bertujuan agar di satu pihak para Kepala Daerah tidak mudah dikriminalisasi untuk tujuan menjegal pencalonannya kembali pada periode berikutnya dan di pihak lain bertujuan agar masyarakat terlindungi dari kejahatan yang meresahkan masyarakat secara luas seperti korupsi, pencucian uang, narkotika, psikotropika, teroris dan pidana lainnya yang ancaman pidananya paling singkat 5 (lima) tahun,” jelasnya.

Dengan demikian, kata Petrus, Ahok hanya bisa diberhentikan sementara dari jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta oleh Menteri Dalam Negeri atau dilarang menggunakan segala kewenangan dan tugasnya sebagai Gubernur DKI Jakarta, hanya melalui dua pendekatan yaitu: pertama, melalui pendekatan berdasarkan ketentuan pasal 83 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda, jikalau Ahok didakwa telah melakukan kejahatan dengan kualifikasi kejahatan yang secara limitatif dan pasti dipidana dengan ancaman penjara paling sedikit 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah NKRI dan kedua melalui pendekatan dengan menggunakan mekanisme pasal 65 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemda, hanya kalau Ahok berada dalam tahanan Majelis Hakim karena melanggar pasal-pasal KUHP tertentu. Menerapkan pasal 83 UU No. 23 Tahun 2014, Tentang Pemda dalam kejahatan pasal 156a KUHP, jelas merupakan langkah mundur, politicking, melanggar prinsip hukum, kesewenang-wenangan, dan hanya mencederai demokrasi.

“Kami meminta Presiden dan Menteri Dalam Negeri untuk tetap konsisten mempertahankan pendiriannya berupa tetap mengaktifkan kembali Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta pasca cuti kampanye dan mempertahankan Ahok dari jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta, karena Ahok secara nyata dan pasti tidak berada pada dua kriteria kondisi, baik kondisi pasal 83 maupun kondisi pasal 65 UU No. 23 Tahun 2014, Tentang Pemda yang dapat menyebabkan Ahok diberhentikan sementara dari jabatannya atau Ahok dilarang menggunakan kewenangan dan tugasnya sebagai Kepala Daerah karena sedang menjalani tahanan oleh Majelis Hakim sebagai seorang Terdakwa,” pungkasnya.

- Advertisement -
Berita Terbaru
Berita Terkait