Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo kembali mengingatkan bahwa tantangan bangsa Indonesia setelah 73 tahun menjadi bangsa yang merdeka bukan hanya sekedar persoalan sandang atau pangan. Akan tetapi menurut Tjahjo, radikalisme dan terorisme bukan hanya sekedar tantangan melainkan juga ancaman yang lebih berat dan lebih serius dalam penangananya.
“Tantangan bangsa ke depan ini setelah 73 tahun merdeka, bukan kembali ke masalah sandang, papan dan pangan; tantangan yang pertama soal radikalisme, terorisme. Ini ancaman yang berat sekali. Mari bersama-sama, bukan tanggung jawab polisi dan TNI saja, tapi semua,” ungkap Mendagri didepan awak media, Jumat (7/12/2018).
Terkait hal tersebut, Tjahjo menyerukan kepada masyarakat agar berani menentukan sikap dalam mengidentifikasi kawan dan lawan didalam hal faham-faham serta ideologi. Tjahjo juga meminta masyarakat untuk pintar dan bijak dalam menanggapi segala gejala radikalisme dan terorisme.
“Yang anti-NKRI, anti Pancasila, anti kemajemukan, anti-Bhinneka Tunggal Ika, itulah lawan kita,” tandas Politi senior PDIP tersebut
Pernyataan Mendagri tersebut menganggapi Setara Institute membuat pemeringkatan Indeks Kota Toleran (IKT) yang dibuktikan dengan digelarnya IKT 2018. Tjahjo mengapresiasi dengan yang telah dilakukan oleh lembaga tersebut sebagai konsistensi dalam merawat nilai-nilai kebangsaan.
Untuk diketahui, Setara Institute melakukan kajian dan indexing terhadap 94 kota di Tanah Air dalam hal promosi dan praktik toleransi. Hasilnya, Setara Institute menyatakan 10 Kota dibebarapa daerah layak menyandang predikat sebagai Kota Toleransi.
Dari seluruh Kota, Ketua Setara Institute Hendardi mengungkapkan bahwa Singkawang menempati urutan pertama dengan skor 6,513. Selanutnya disusul Salatiga dengan perolehan skor 6,477, Pematang siantar dengan skor 6,280, Manado menempati peringkat keempat dengan skor 6,030, Ambon (5,960), Bekasi (5,890), Kupang (5,857), Tomohon (5,833), Binjai (5,830) dan Surabaya (5,823).
Hendardi memaparkan bahwa pemilihan kota paling toleran didasarkan pada empat kriteria. Pertama, pemerintah kota memiliki regulasi yang kondusif bagi praktik dan promosi toleransi, baik dalam bentuk perencanaan maupun pelaksanaan. Kedua, pernyataan dan tindakan aparatur pemerintah kota kondusif bagi praktik dan promosi toleransi.
“Sedangkan ketiga, tingkat peristiwa dan tindakan pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan rendah atau tidak ada sama sekali. Keempat, kota yang menunjukkan upaya yang cukup dalam tata keloa keberagaman indentitas keagamaan warganya,” tutur Hendardi di acara Penganugerahan untuk Penghargaan Kota Toleran 2018 di Jakarta, Jumat (7/12/2018).
Lebih lanjut Hendardi menyatakan, bahwa indeks Kota Toleran memeriksa tindakan positif pemerintah kota dalam mempraktikkan dan mempromosikan toleransi, baik yang tertuang dalam kebijakan, pernyataan resmi, respon atas peristiwa maupuan budaya toleransi di masyarakat.
Ada tiga indikator dalam mengukur kebebasan beragama atau derajat toleransi menurut Hendardi. Pertama, favoritisme atau pengistimewaan pemerintah terhadap kelompok-kelompok agama tertentu. Kedua, pengaturan pemerintah yang membatasi kebebasan beragama dan ketiga, regulasi sosial yang membatasi kebebasan beragama.
“Dengan toleransi, kita mudah hidup harmonis ditengah aneka keragaman. Toleransi memberikan penguatan bahwa keragamana agama, bahasa, budaya, etnisitas lainnya merupakan kekayaan bersama. Kebhinekaan menyatukan kita, bukan menceraiberaikan,” tutup Hendardi.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.