Di tengah-tengah pandemi Covid-19 yang melanda Eropa, tigaperempat abad yang lalu, tepatnya pertengahan Mei 1945, Perang Dunia II (PD II) di benua tersebut usai. Jerman yang berada di bawah kekuasaan NAZI yang berhasil menguasai sebagian besar wilayah Eropa selama 5 tahun, secara tragis bertekuklutut di hadapan Sekutu, yang terdiri dari AS, Inggris, Perancis dan beberapa negara Barat serta Uni Soviet. Sementara itu, Perang Dunia II di mandala Asia Timur masih berlangsung dan akan berakhir dalam 3 bulan kemudian dengan kekalahan Dai Nipon.
Ofensif militer Sekutu bermula dari pertemuan FD Rosevelt (AS), W. Churchil (Inggris) dan J. Stalin (Uni Soviet) sejak 28 November hingga 1 Desember 1943 di Teheran, Iran. Dalam pertemuan itu ketiganya mencapai kata sepakat: Nazi harus dihentikan secara militer di seluruh daratan Eropa.
Strategi yang dijadikan opsi oleh mereka: kekuatan militer AS dkk akan didayagunakan untuk melakukan ofensif dari Eropa Barat, sementara Uni Soviet akan melakukan hal yang sama dari Eropa Timur, terutama dimulai dari wilayah-wilayah Uni Soviet yang diduduki Jerman. Intinya adalah bahwa kekuatan mesin perang Jerman harus dikepung total dari arah barat dan timur.
AS, Inggris dan sekutu Barat mereka baru memulai ofensif militer pada 6 Juni 1944 dengan pendaratan militer besar-besaran di pantai Normandia, Perancis. Sejak saat itu Perlahan tapi pasti, tentara Jerman terus dipukul mundur oleh sekutu. Hingga 25 Juli secara akumulatif kekuatan Sekutu yang didominasi oleh militer AS telah mengerahkan sebanyak 1.452.000 tentara ke Perancis.
Satu demi satu.negeri-negeri di Eropa Barat akhirnya lepas dari cengkeraman mesin perang Jerman. Setelah Perancis dibebaskan lalu menyusul Belgia, Luxemburg, Belanda dan Austria jatuh ke tangan Sekutu.
Hingga awal April 1945 tentara Sekutu berjumlah sekitar 4,5 juta orang atau setara dengan 91 divisi. Sementara pasukan Jerman tersisa 1,9 juta orang atau setara dengan 31 divisi dari jumlah sebelumnya yang mencapai 8 juta orang. Jumlah pasukan Jerman memang terus merosot tajam akibat kekalahan terus menerus yang mereka alami. Sebagian dari mereka tewas dalam pertempuran dan sebagian lagi menjadi tawanan perang.
Uni Soviet memulai ofensifnya pada 23 Juni 1944 atau sekitar 3 minggu setelah Sekutu mendarat pantai Normadia, Perancis. Ofensif yang dilancarkan Stavka—nama komando militer Uni Soviet—dimulai dari pembebasan sebagian wilayah negeri itu yang sebelumnya diduduki Jerman. Di front timur saat itu kekuatan Jerman sebanyak 1.036.760 personil. Mereka menguasai Polandia, Cekoslovakia, Hongaria, Ukraina, dan sebagian wilayah Uni Soviet.
Sama seperti AS dkk di front barat, Uni Soviet juga mencatat kemenangan di front timur. Namun, gerak maju Tentara Merah di front timur relatif lebih cepat dibanding rekan-rekannya di front barat. Dalam waktu yang relatif lebih singkat dibanding ofensif AS dkk di front Barat, negeri-negeri di kawasan Eropa timur jatuh ke tangan Tentara Merah. Penting untuk dicatat, Jerman yang nota bene terpecah dalam 2 front dan “dikeroyok” lawan yang lebih banyak ternyata masih memberikan perlawanan yang cukup sengit. Fakta membuktikan bahwa mengalahkan Jerman juga bukan perkara mudah.
Kalaupun akhirnya tentara Jerman “membiarkan” Tanah Airnya jatuh ke tangan musuh, mereka tidak akan memberikannya secara cuma-cuma. Buktinya, dibutuhkan hampir 1 tahun (Juni 1944 – Mei 1945) untuk menaklukan mesin perang Jerman sementara mereka terjepit di antara dua front.
Dengan kata lain, mengalahkan Jerman juga bukan persoalan mudah. Selain karena didukung oleh aspek kemampuan teknis dan teknologi yang mumpuni pada era itu, tetara Jerman—karena virus fanatisme yang selalu dipropagandakan oleh elite Partai Nazi—bertempur dengan berani sekalipun terkepung dari Barat dan Timur. Ada kalanya, jengkal demi jengkal tanah yang direbut Sekutu dan Tentara Merah harus dibayar mahal dengan darah dan kematian cukup banyak.
Fakta ini memperlihatkan bahwa Jerman telah mempersiapkan segala sesuatunya untuk melancarkan perang berskala besar. Hingga awal 1944 saja Jerman memiliki 9 juta serdadu yang siaga tempur di Eropa lengkap dengan peralatan militer tercanggih pada era itu.
Front Timur: Brutal dan Ganas
Menarik bahwa tentara Jerman ternyata lebih bersemangat menghadapi serdadu Uni Soviet ketimbang menghadapi pasukan AS dkk. Bahkan, sejumlah unit tentara Jerman (atas ijin dari panglima divisi) berpindah dari front barat menuju front timur untuk menghadang laju Tentara Merah.
Ini terjadi karena kedua belah pihak memiliki alasan ideologis. Tentara Jerman yang dipompa ideologi keunggulan atau supremasi ras Aria bertempur dengan sengit menghadapi Tentara Merah dengan ideologi yang menjunjung persamaan ras manusia. Oleh karenya, PD II di Eropa terutama di front timur menggambrakan dua kutub kontradiksi ideologi yang “sempurna”. Jerman mengusung fasisme (kanan), sementara Uni Soviet membawa panji komunisme (kiri).
Oleh karenanya, peperangan di front Timur jauh lebih ganas dibanding front Barat. Setidaknya terdapat 3 pertempuran besar yang terjadi di front timur: Petempuran Stalingrad (kini bernama Vovograd), Petempuran Leningrad (kini bernama St. Petersburg, kota ke 2 terbesar setelah Moskow) dan Petempuran Berlin. Para ilmuwan dan sejarawanpun mengakui bahwa di seluruh daratan Eropa, pertempuran di front Timur jauh lebih sengit dan berdarah.
Dalam pertempuran di Stalingrad, misalnya, ada kalanya 1 gedung diperberebutkan sampai 3 kali dikuasi bolak-balik antara Jerman dan Uni Soviet. Tidak hanya itu, pertempuran juga sering terjadi di lantai yang sama dalam suatu bangunan. Jika senjata tak lagi berguna, adu jotos antar kedua pasukan kerap terjadi di di antara lorong-lorong dan di reruntuhan gedung kota tersebut. Jauh dari pusat logistik di Tanah Airnya ditambah musim salju yang menerpa Eropa pada akhir 1943 dan awal 1944 akhirnya tentara Jerman betekuk lutut di hadapan Tentara Merah.
Sebanyak 91 ribu pasukan Jerman menyerah pada 2 Februari, sementara sekitar 300 ribu lainnya tewas. Peritah Hitler untuk tetap mempertahankan Stalingrad sama sekali tidak berguna bagi tentara Jerman yang tengah dilanda kelelahan, kelaparan dan udara beku. Uni Soviet sendiri cukup banyak menderita kerugian. Lebih dari 400 ribu tewas. Sebagian yang tewas adalah warga sipil Stalingrad. Tahun 1961 Nikita Kruschev, pemimpin Uni Soviet pengganti Stalin, mengubah nama Stalingrad menjadi Volgograd atau “Kota Volga”. Penggantian nama itu dimaksudkan sebagai upaya destalinisasi.
Industri Jerman Rontok
Sejak pertengahan 1942 hingga awal April 1945 sekitar 2 juta ton bom telah ditumpahkan pesawat-pesawat pembon AS dan Inggris dari angkasa ke berbagai wilayah pusat industri Jerman. Akibatnya, 3,6 juta bangunan hancur, kurang lebih 300 ribu penduduk sipil tewas serta membuat 7,8 juta orang kehilangan tempat tinggal.
Dalam kamus militer, apa yang dilakukan Sekutu itu disebut sebagai Pemboman Strategis. Berbeda dengan jenis serangan udara taktis, pemboman strategis itu memang lebih ditujukan untuk melumpuhkan sendi-sendi ekonomi lawan yang pada gilirannya menjatuhkan moral lawan.
Sementara itu, armada Sekutu praktis mendominasi Laut Atlantik, Laut Utara dan Laut Mediterania. Jerman benar-benar terkepung secara militer baik di darat, laut maupun udara. Angkatan Laut Jerman, terutama armada kapal selamnya yang sebelumnya paling ditakuti itu, hilang keperkasaannya. Operasi anti-kapal selam yang dilakukan angkatan laut AS dan Inggris benar-benar membuat Jerman tersudut.
Hingga memasuki bulan April 1945 industri Jerman rontok. Mesin perang Jerman semakin kehilangan kapasitas produksi. Program rekrutmen dan pelatihan tentara serta penambahan persenjataan baru jelas tidak mungkin dalam kondisi seperti ini. Jerman sebagai nasion benar-benar diambang kebangkrutan. Di sisi lain, penduduk negeri itu terancam bahaya kelaparan.
Dalam keadaan seperti itu, Hitler tetap tidak mau mengibarkan bendera putih. Dalam rapat-rapat bersama komando tertinggi militer Jerman, diktator itu dengan tegas menyatakan bahwa tabu bagi Jerman untuk mengalah. Bahkan, di tengah-tengah kondisi di mana Jerman semakin terjepit dari arah Barat dan Timur, ia masih menaruh keyakinan bahwa Jerman akan memenangkan peperangan ini.
Rasa percaya diri Sang Fuhrer itu memang luar biasa. Tidak sedikit ilmuwan yang meragukan kesehatan jiwa Hitler yang dinilai terlalu nekad dan sering tanpa perhitungan untuk ukuran manusia normal.
AS dan Uni Soviet Berlomba Merebut Berlin
Kerjasama strategis antara sesama Sekutu, terutama AS dan Uni Soviet dalam menjepit Jerman lambat laun berubah menjadi semacam perlombaan antara keduanya untuk merebut ibukota negara itu, Berlin. Berlin adalah simbol dan jantung politik nasional Jerman. Karenanya, siapa yang lebih dulu merebut kota itu dinilai akan memiliki prestise tersendiri.
Secara geografis letak Berlin terdapat di bagian timur Jerman. Di sisi lain, dari segi ofensif militer gerak maju Tentara Merah juga lebih cepat dibanding pasukan AS dkk. Oleh karenanya, Tentara Merah lebih berpeluang untuk tiba lebih dulu di Berlin dibandingkan rekan-rekannya yang menyerbu dari front barat. Menjelang awal Maret Tentara Merah bahkan telah memasuki wilayah Jerman bagian timur.
Di bulan April 1945 jarak antara tentara Sekutu dan Uni Soviet di wilayah semakin menyempit meski keduanya belum dapat saling melihat. Di tengah-tengah situasi seperti itu keperkasaan Angkatan Bersenjata Jerman yang konon paling canggih pada era itu berangsur-angsur rontok di medan tempur.
Sekalipun sebagian besar wilayah Jerman jatuh ke tangan Sekutu dan Uni Soviet namun Hiter bersikeras mempertahankan ibukota Jerman itu berapapun harga yang harus dibayar. Kota Berlin sendiri diperkuat oleh 36 divisi dengan jumlah pasukan 766.750 plus sekitar 40.000 milisi Hitlerjugend (Hitler Youth) yang merupakan sayap pemuda Partai Nazi.
Namun, keputusan Hitler untuk mempertahankan Berlin tidak mengubah jalannya perang. 36 divisi Jerman tidak berdaya menghadapi gerak maju Tentara Merah. Menjelang akhir Mei kota Berlin dipenuhi reruntuhan gedung setelah sebelumnya Tentara Merah mengguyur kota itu dengan ribuan artileri berat dan roket Katyusha. Pada pertengahan Mei Tentara Merah mengepung Berlin dengan rapat.
Keadaan seperti itu membuat Hitler putus asa dan dan mebuat keputusan paling tragis sepanjang hidupnya: bunuh diri bersama kekasih abadinya, Eva Braun. Para sejarawan memperkirakan antara 28-29 Mei keduanya mati bunuh diri di sebuah bunker yang khusus dibangun di bawah tanah Gedung Kanselir, Berlin.
Sebelum kematiannya mereka menikah sekitar 27 Mei di bunker. Pernikahan kedua mempelai ini diiringi oleh ribuan peluru artileri dan roket Uni Soviet sebagai simfoni yang berjatuhan di Berlin. Prosesi singkat pernikahan Hitler dan Eva Braun serta keputusan mereka sehari kemudian untuk bunuh diri bersamaan dengan gelombang serbuan Tentara Merah ke kota itu dapat dilukiskan sebagai romantika yang menyatu ke dalam tragedi dan ironi.
Panik dan dilanda kebingungan, elite partai Nazi yang berkuasa juga runtuh dengan cepat. Paul Joseph Goebbels Menteri Propaganda Jerman, yang dikenal sebagai bapak iklan moderen dunia, bersama istrinya Magda, pada 1 Mei juga bunuh diri. Hari sebelumnya, ke 6 anak perempuannya diberi morfin agar mereka tidak sadar terlebih dulu, kemudian ia memerintahkan asistennya untuk memberi sianida di mulut anak-anak itu.
Heinrich Himmler Kepala pasukan elit Jerman SS (Schutzstaffel, Protection Squadron) tewas bunuh diri pada 23 Mei menyusul Hitler dan Goebebels. Kepala SS itu agaknya sudah memperhitungkan bahwa gerak maju Tentara Merah sulit dibendung.
Di tengah-tengah kepulan asap mesiu dan kobaran api peperangan pada 1 Mei satu regu Tentara Merah berlarian ke Gedung Parlemen Jerman di pusat kota Berlin. Di puncaknya mereka mengibarkan bendera Uni Soviet yang bergambar palu-arit. Baru pada 2 Mei secara de facto Berlin bertekuk lutut di bawah Tentara Merah. Hingga hari itu Tentara Merah belum menyadari bahwa Hitler dan beberapa petinggi Nazi telah bunuh diri di sebuah bunker di kota itu.
Sebelumnya, April 25 1945, beberapa unit tentara AS yang bergerak ke arah timur bertemu dengan Tentara Maerah yang tengah melakukan operasi di tepian sungai Elba. Sorak sorai pecah di kedua belah pihak setelah mereka saling mengintai dan memastikan posisi. Tanpa dikomando, mereka saling menghampiri dan berjabat tangan dengan perasaan riang. Hanya satu pikiran di benak para serdadu AS dan Uni Soviet pada saat itu: seluruh perlawanan Jerman runtuh.
Ketika peristiwa itu dikenang bertahun-tahun kemudian, banyak orang yang bertanya: sejak kapankah Perang Dingin dimulai? Jawabanya sederhana: sejak tentara AS dan Uni Soviet saling berjabatan tangan dan berpelukan di tepi Sungai Elba setelah mereka berhasil menumpas habis Jerman Nazi di akhir April 1945.
Secara resmi PD II di Eropa dinyatakan selesai pada tanggal 5 Juni 1945 melalui apa yang dikenal sebagai Deklarasi Berlin. Substansi ini dokumen ini adalah pernyataan kapitulasi Jerman yang diteken oleh Komando Tertinggi Kekuatan Sekutu yang wakilnya terdiri AS, Inggris, Perancis dan Uni Soviet.
Perang, Malapetaka dan Covid 19
Berakhirnya PD II di Eropa membuat sejarah hitam Nazi di bawah Hitler terkuak. Sedikitnya terdapat 6 juta orang Yahudi di Eropa tewas secara mengenaskan. Sebagian besar yang tewas berada di sejumlah kamp konsentrasi milik Nazi, selebihnya di tangan para kolaborator Nazi di sejumlah negeri di Eropa.
Kamp ini memang sengaja diciptakan dengan tujuan untuk melenyapkan ras Yahudi. Kebencian rasial yang dianut Patai Nazi terhadap Yahudi itulah awal mula petaka yang akhirnya menyulut api Perang Dunia II di Eropa dan kemudian menjalar ke Asia Timur Raya. Sentimen rasial ala Nazi ini didominasi oleh hasrat untuk memandang ras lain, terutama Yahudi, sebagai hewan yang layak diburu dan dibunuh.
Seluruh dunia mengutuk keras perbuatan keji para pemimpin Nazi. Rasialisme dinyatakan sebagai musuh umat manusia. Itulah yang antara lain mengilhami masyarakat dunia untuk membentuk PBB di tahun 1945 yang kemudian disusul lahirnya Deklarasi Umum Hak-hak Asasi Manusia di tahun 1948.
Tigaperempat abad yang lalu dunia telah mengambil pelajaran berharga terkait efek PD II terhadap kemanusiaan. Masyarakat internasional kini tidak lagi mengingkan perang dan kekerasan sebagai jalan mencapai tujuan.
Perang dan kekerasan terbukti hanya akan menjerumuskan manusia untuk saling membunuh atas nama tujuan politik yang hendak diraih. Dengan mengenang usainya PD II di Eropa, dunia seolah kembali diingatkan tentang pelajaran berharga yang dapat ditarik dari tragedi kemanusiaan ini.
Bersamaan dengan itu, beberapa di negara Eropa aamerencanakan perayaan dan upacara mengenang berakhirnya Perang Dunia II yang jatuh pada 8 Mei 2020. Apa yang penting dari pada 8 Mei 2020 adalah bahwa tanggal itu bertepatan dengan 75 tahun berakhirnya Perang Dunia II. Alasan penting berikutnya adalah peringatan tersebut bersamaan dengan merebaknya Covid 19.
Kini, di tengah-tengah pandemi Covid 19 yang saat ini tengah melanda Eropa, acara peringatan dan renungan terhadap berakhirnya Perang Dunia II di berbagai negara dilakukan dengan cara yang berbeda dengan yang biasanya, sementara kegiatan parade dibatalkan. Namun, memakai masker dan menjaga jarak secara fisik tetap dilakukan dengan tetap mengupayakan kekhidmatan acara.
Awalnya, selain parade, renungan dan upacara kegiatan 75 tahun berakhirnya PD II di sejumlah negara di Eropa juga akan diselingi hiburan sebagai tanda suka cita. Namun, acara selingan itu dibatalkan karena tidak saja dianggap tidak sesuai dengan protokol WHO tetapi juga dinilai tidak pas karena pandemi kali ini cukup banyak membawa korban.
Didampingi Kanselir Angela Markel, Presiden Jerman Frank-Walter Steinmeier mengenang dalam pidatonya bahwa pada 8 Mei 1945 negara itu sendirian. “Jerman telah menderita kekalahan militer, kehancuran politik dan ekonomi, dan kehancuran moral. Kami telah membuat musuh dari seluruh dunia,” katanya.
Dia menambahkan bahwa Jerman kini “dipaksa untuk mengenang sendirian karena pandemi.” Frank-Walter Steinmeier seolah ingin menyatakan bahwa kesendirian Jerman 75 tahun yang lalu kini berulang kembali dalam suasana terjangkitnya Covid 19.
Peringatan 75 tahun berakhirnya PD II telah mengaduk-ngaduk memori bangsa Eropa. Perang, perdamian dan kematian seolah datang silih berganti. Yang masih hidup mengenang penderitaan dan kematian orang-orang yang dicintainya lebih dari 75 tahun yang lalu, sambil mengenang kematian yang terjadi akibat Covid yang terjadi saat ini.
(Diolah dan disarikan dari berbagai sumber)
Penulis : Rahadi T. Wiratama
Peneliti LP3ES dan Redaktur Jurnal Prisma