Apakah kita sudah cermat akhir-akhir ini? Tidak perlu kecerdasan untuk membaca kebohongan. Tidak perlu kecermatan untuk merasakan kebencian. Aura buruk itu, begitu kasar dan kasat mata. Cukup dua detik, menyimpulkan bahwa isi pidato Prabowo hanya berisi tumpahan amarah seorang duda yang menderita.
Pendukungnya bersorak-sorai, membanggakan Prabowo bisa berpidato tanpa teks. Tapi, berkali-kali pula Prabowo menyela dalam pidatonya “ini diluar teks”.
Berduyun-berbondong, pendukungnya yang rabun pengetahuan berteriak-serak anti-Komunis, basmi Komunis, musuhi Komunis. Tapi, lebih dari sekali Prabowo mengagungkan Vietnam dan RRC, yang terang benderang negara Komunis. Jika kita cermat, dua kali Prabowo banggakan Vietnam dan RRC dalam pidatonya.
Dengan lantang-gemilang Prabowo bertutur prihal yang melawan fakta. Apa daya, pendukungnya yang rabun cuman bisa kegirangan dan bertepuk ibarat anak TK yang gempita. Iya, mereka seperti anak-anak manja yang dihibur oleh badut konyol dan tolol diatas panggung.
Jika kita cermat, bermenit-menit Prabowo hanya mengumpat. Tidak ada gagasan sama sekali, yang ada kemarahan berasosiasi dengan kekerasan.
Prabowo adalah simbol kegagalan. Prabowo adalah motor kemarahan. Prabowo melawan akal sehat, dengan niat-niat jahat.
Kita tidak harus memusuhi, membenci para pendukung Prabowo-Sandi, atas alasan politis. Tapi, melawan Prabowo adalah sebuah keharusan. Atas alasan apapun. Saudara, teman, sahabat kita yang mendukung Prabowo adalah korban dari kebutaan pengetahuan.
Mereka yang dididik dalam tradisi akademik, tiba-tiba hobi menghardik. Mereka yang dulu bekerja dengan data, tiba-tiba menjadi juru nista. Mereka yang dulu kagum dengan fakta, kini sepanjang hari bergumam dalam dusta.
Matinya Kepakaran, istilah yang menjadi penting bagi kita yang ingin membela pengetahuan. Tom Nichols adalah guru terbaik bagi kita saat-saat ini. Dia mengambil potret sosiologis warga Amerika, yang sama buruknya seperti hari-hari ini kita hadapi. Kemenangan Trump adalah satu paradok yang menjadi kenyataan politik. Dimana, banyak warga negara menolak dikategorikan “tidak tahu” tentang sesuatu hal. Dan merekalah yang memenagkan permusuhan rasial sekaligus medaulat Trump sebagai Presiden Amerika.
Mereka menolak sebuah kemajuan, kendati mereka menuntut kemenangan. Segerombolan bandit, tidak pernah berfikir akan kemajuan sebuah kota. Tapi, pimpinan bandit yang banal akan selalau mengulang cerita soal kemenangan. Untuk apa ? Sekedar menang untuk kesenangan. Dengan begitu, para bandit bisa mudah merampok, memperkosa, menyiksa, serta merampas nyawa. Itulah, menang untuk kesenangan.
Ditengah kemajuan teknologi, banyak warga yang menolak para ahli. Mereka merasa cukup mengerti sebuah hal yang kompleks dalam hitungan menit. Metodenya, dengan dua jempol ditambah surplus kemarahan, minus akal pikiran. Itulah metode yang mereka yakini bahwa dia adalah orang yang ahli dalam waktu super singkat. Metode yang serupa pula, diyakini sebagai cara berfikir para pemuja Prabowo.
Meskipun begitu, mereka adalah kawan, saudara dan sejawat kita yang menjadi korban operasi pembodohan masal.
Mereka, dihasut Prabowo untuk membenci yang suci. Dan, dipaksa percaya yang dusta. Sesuka hatinya, menggunakan agama sebagai cara merebut kuasa. Dengan agama pula, mereka menutup fakta-fakta bahwa Prabowo bukan orang yang percaya dan teguh pada ajaran agama.
Kita tidak bisa diam. Kita melawan Prabowo bukan karena memenangkan Jokowi. Kendati, kita perlu mempertahankan sendi-sendi bangsa dari tangan orang yang lapar kuasa.
Prabowo sudah menjadi simbol dari segala kepalsuan, atau kaum Nahdliyin lebih sering melebelkan kemunafikan. Mari kita membuka mata, bahwa Jokowi belum menjadi yang terbaik adalah fakta. Tetapi, percaya bahwa Prabowo akan lebih baik dari Jokowi adalah dusta dan nista sebuah bangsa.
Akal Sehat Tidak Boleh Rehat!”
Penulis Abi Rekso Panggalih, inisiator Gerakan Melawan Prabowo (GERAMP)
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.