Kecewa, menyesal, putus asa, gamang, dan dipenuhi rasa semacamnya, setelah saya menemui Wiji Thukul di rumahnya di Kalangan, Solo. Pertemuan kami terjadi pada tahun 1994. Saat saya masih mencari “kiblat” untuk menyongsong masa depan. Saya merasakan Thukul hatinya membeku; seolah sedang menyembunyikan banyak hal. Mungkin saja, ketika itu Thukul sudah mulai berhati-hati menerima orang asing di rumahnya.
Setelah mempersilakan duduk di kursi, mirip kursi bekas. Thukul bertanya wajar kepada saya, dari mana? Saya menjawab, dari Surabaya. Thukul bertanya lagi, tahu rumah saya dari siapa? Saya menjawab sekenanya, saya tahu dari koran.
Selanjutnya Thukul bertanya, ada keperluan apa datang kemari, saya menjawab, saya ingin belajar sebagai penyair dan penulis. Tertawa Thuukul berderai sambil berkata, sampeyan guyon. “Surabaya akeh penyair hebat mas. Kenapa harus belajar ke saya,“ ucap Thukul.
Maksudnya, saya dikatakan tidak serius. Di Surabaya sendiri banyak penyair lebih bagus. Begitu kira-kira ketika itu, ia menyambut kedatangan saya sebelum menyuguhkan air putih. Sebagai tamu yang tidak diundang, saya boleh juga disebut lancang. Sebab telah membuyarkan obrolan serius Thukul dengan seseorang. Saya sedikit ingat, seseorang yang diajak ngobrol Thukul, memakai hem warna biru pupus lengan panjang digulung. Lebih rapi daripada Thukul yang jelang sore itu mengenakan kaos oblong dan celana agak kedodoran.
Sepertinya belum lama keduanya melibat obrolan serius. Namun karena keburu saya datang, Wiji Thukul meminta izin kepada saya melanjutkan obrolan di ruang sebelah. Itu seingat saya; entah dapur atau teras belakang. Karena saya kurang cermat mengamati rumah sempit itu. Saya memilih diam di ruangan yang penuh buku itu dengan suguhan air putih. Untuk mengalihkan kejenuhan, saya sesekali membaca klipingan koran.
Hari sudah melangkah dari magrib. Seseorang yang saya ingat; seumuran Thukul, berambut agak panjang itu keluar rumah, melintasi saya sambil melempar senyum. Thukul tak menampakkan diri, ketika beberapa jeda seseorang itu keluar. Baru seseorang itu kembali dengan membawa dua nasi bungkus. Thukul keluar sambil berkata, “Silakan makan dulu,“ kata Thukul.
Saya segera menyantap nasi itu. Thukul yang terlihat tidak makan. Membuat saya memberanikan diri bertanya, mas Thukul tidak makan? Ia segera menyahut, “Saya sudah makan. Ayo silakan. Itu nasi khas Solo lho. Murah meriah. Di Surabaya pasti tidak ada, “ ucapnya bersamaan tertawa. “Kalau mau minum ambil sendiri saja,” ucap Thukul lagi, dengan menunjuk arah kendi, tempat air minum. Seseorang itu pun menikmati nasi HIK. Belakangan baru saya ketahui, itu nasi khas Solo; Hidangan Istimewa ala Kampung.
Di tengah menikmati makan. Mata saya mengamati Thukul terus. Thukul duduk di lantai. Masih terbayang samar; ia duduk menghadap ke utara, posisi samping dari arah saya. Hingga kini pun, karena saya tak mudah hafal arah. Saya membayangkan rumah Thukul menghadap ke timur di depannya ada sebuah jalan, luas satu meter mengarah ke utara.
Thukul membaca Majalah Tempo. Saya ingat cover majalah itu; Marsinah. Kala itu saya belum mengenal istilah skets untuk menyebut foto Marsinah di cover Majalah Tempo itu. Begitu pula soal edisi diterbitkan; saya tidak tahu kapan!
Seseorang itu bertanya kepada saya, sudah lama di Solo? Saya menjawab, baru dua malam. Seseorang itu bertanya lagi, tinggal di mana di Solo? Saya menjawab, saya menginap di Masjid Terminal.
Lalu ada pembicaraan Thukul yang tidak saya pahami, disela saya diajak ngobrol seseorang itu. Tetapi seseorang yang kemudian Thukul memanggilnya Ham itu, berdiri mengambil selembar kertas dari rak buku. Ia mendekat ke arah Thukul dan menyodorkannya. Thukul menuliskan sesuatu di atas kertas itu, yang dibarengi anggukan Ham. “Sore nyampek kita, “ ucap Ham.
Ham itu kembali duduk di sebelah saya sambil bertanya, habis dari sini rencana akan ke mana? Saya tidak segera memberikan jawaban. Karena saya sedang menikmati kunyahan akhir makan yang sudah kelaparan itu. Baru beberapa saat, saya memberikan jawaban. “Saya ingin di sini mas, belajar pada mas Thukul. Ingin bisa menulis, “ kata saya tetap pada jawaban saya, seperti saat ditanya Thukul.
Thukul dan Ham tidak berekspresi. Tak lama saling ngobrol, Ham lalu beranjak keluar rumah. Tanpa ada ucapan kata pamit. Ia hanya melambaikan tangan ke arah Thukul, lalu ditepukkan ke bahu saya. “Ya wis, kowe wis dienteni nyang stasiun, “ kata Thukul kepada Ham. Ia mengatakan sudah ada seseorang yang menunggu di stasiun, tanpa menyebut nama sebuah Stasiun Kereta Api.
Di ruangan itu tinggal saya dan Thukul. Kami tak ada obrolan. Karena saya menganggap Thukul sedang serius membaca tulisan pada lembaran kertas yang dipegang. Saya tidak mengganggu karena belum ada keberanian. Entah apa yang dibaca, pria kurus itu. Ia sedang mengoreksi puisi yang dibuatnya, atau membaca sepucuk surat dari seseorang. Kampung Kalangan sudah dilanda sepi. Celoteh pemukim dan anak-anak yang tadi terdengar riuh berlarian sambil berteriak-teriak, sudah larut dalam hening malam. Lelah saya mulai terasa. Saya pun memberanikan diri bicara, “Mas,saya istirahat ya?“.
“Oh ngaso. Ya sik kana, wis wengi…, “ jawab Thukul, mempersilakan saya untuk istirahat. Sudah malam, katanya. Saya pun menghampiri tikar terbuat dari Wlingi yang sudah dipersiapkan Thukul. Tikar oleh perajinnya dikombinasi warna-warni itu, begitu cepat melelapkan saya saat membaringkan tubuh.
Pagi saya membuka mata, seolah ada yang membangunkan. Suara riuh aktivitas penghuni kampung padat itu, kembali saya dengar dalam kesadaran. Namun, rumah itu terasa sepi. Ketika saya mencoba melongokkan ke sudut mana pun, tak menjumpai siapapun….