Tata Ruang Harus Jadi Acuan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Gempa Sulteng

0
36
Geoseminar Kebumian, di Jakarta, Jumat (12/10/2018), membahas tentang Tata Ruang untuk rehabilitasi dan rekonstruksi pasca gempa Sulteng (Humas Kementerian ATR/BPN)

Masyarakat perlu mengetahui kondisi daerah tempat tinggal mereka secara tepat, untuk itu, diperlukan informasi tentang tata ruang. Dan dalam Geoseminar Kebumian di Jakarta dinyatakan bahwa Tata Ruang harus jadi acuan dalam rehabilitasi dan rekonstruksi pasca gempa.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menegaskan, Kementerian ATR/BPN khususnya Direktorat Jenderal (Ditjen) Tata Ruang, adalah front liner dalam penyebarluasan informasi terkait zonasi mana yang aman untuk hunian dan mana yang tidak. Baru setelah itu, lanjut Jonan,  informasi tersebut didukung dan ditindaklanjuti oleh instansi lain dan Pemda.

“Badan Geologi, BNPB, Bappenas, BMKG, Kementerian PUPR, dan pemerintah daerah masuk mendukung,” ujar Ignasius Jonan, saat membuka Geoseminar Kebumian, di Jakarta, Jumat (12/10/2018).

Menurut Jonan, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) memiliki peranan penting dalam mengurangi risiko bencana khususnya terkait dengan korban jiwa. Begitu juga dengan aspek keterbukaan dan edukasi perihal bencana bagi masyarakat.

“RTRW di daerah perlu dilakukan peninjauan kembali, baik secara keilmuan atau scientific untuk menentukan daerah mana yang aman menjadi hunian manusia dan mana yang tidak. Selain itu setelah kajian mendalam dilakukan, masyarakat perlu diinformasikan sedini mungkin, dan harus kita edukasi tentang pengetahuan dasar tata cara menghadapi bencana dengan harapan dapat mencegah jatuhnya korban bila terjadi bencana,” lanjut Jonan.

Terkait pernyataan Menteri ESDM ini, Ditjen Tata Ruang menanggapi serius perlunya revisi penataan ruang di Kawasan Rawan Bencana (KRB). Gempa dan tsunami yang melanda Palu, Sigi, dan Donggala, Sulawesi Tengah, kembali menjadi peringatan bagi masyarakat Indonesia untuk lebih peduli kepada penataan ruang wilayahnya, untuk mengurangi dampak buruk bencana.

Bagi wilayah Palu dan sekitarnya, tim khusus memang perlu dikerahkan untuk menangani pasca gempa. Apalagi kejadian likuifaksi yang terjadi di Palu merupakan likuifaksi terbesar yang pernah terjadi di Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Taufik Wira Buana dari Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan, Badan Geologi.

Ditjen Tata Ruang bekerja sama dengan Badan Geologi dalam menentukan kepastian keamanan lokasi relokasi dari bahaya bencana di kemudian hari. Termasuk persyaratan khusus apabila lokasi tersebut berpotensi bencana namun diperbolehkan untuk dilakukan pembangunan.

Direktur Jenderal Tata Ruang, Abdul Kamarzuki yang juga menjadi pembicara dalam Geoseminar Kebumian mengatakan, peta dampak bencana untuk Palu saat ini sedang disiapkan. Menurutnya, peta tersebut akan rampung pada bulan Oktober ini.

“Peta tersebut perlu disepakati bersama antar Kementerian/Lembaga terkait dan pemerintah daerah yang dalam hal ini adalah Gubernur Sulawesi Tengah, sebelum ditetapkan menjadi aturan tata ruang dan acuan bagi Kementerian/Lembaga yang akan melakukan pekerjaan rekonstruksi wilayah Palu dan sekitarnya.” Kata Kamarzuki.

Ditjen Tata Ruang beserta seluruh Kementerian/Lembaga terkait terus berupaya agar Palu dan sekitarnya dapat dibangun kembali dengan lebih baik dan aman. Bencana alam dapat terjadi di luar prediksi manusia, namun kita dapat berupaya untuk membangun wilayah yang lebih aman dan masyakarat yang lebih teredukasi akan bencana, sehingga dapat terwujud Negara Indonesia yang lebih tangguh akan bencana.