“Aher nyalon di Jakarta?” cetus seorang kawan, langsung saya tanggapi Why Not? Siapapun warga negara Indonesia, meskipun dia tidak punya hak pilih di Jakarta tetapi punya hak dipilih, bukan saja di Jakarta, melainkan di manapun telatah Indonesia yang dia suka. Kecuali Papua dan Aceh, karena di dua daerah otonomi khusus itu punya Undang-Undang tersendiri yang menyangkut calon kepala daerahnya.
Itulah hebatnya Indonesia. Bisa memiliki hak dipilih tanpa harus memiliki hak memilih. Kalau setiap calon kepala daerah dibebani syarat punya hak dipilih dan hak memilih seperti pemikiran sahabat saya Khatibul Umam Wiranu, anggota DPR-RI dari Fraksi Partai Demokrat, tentu Pak Jokowi yang Walikota Solo tidak bisa nyalon di Jakarta. Dan tentu saja Jakarta kehilangan kesempatan mendapatkan figur kepala daerah sekaliber Pak Jokowi.
Sebaliknya Pak Ridwan Mukti yang anggota DPR-RI berkatepe Jakarta tidak bisa mencalonkan diri menjadi Bupati Musi Rawas, Sumatera Selatan. Karena kinerjanya lumayan bagus, Pak Ridwan Mukti yang politisi Partai Golkar itu menjabat dua periode di daerah yang ternyata bukan tanah kelahirannya itu. Terakhir, Pak Ridwan Mukti menyabung nasib dan memenangkan kursi Gubernur di Provinsi Bengkulu yang menjadi sarangnya Partai Nasdem.
Begitu pula dengan kepala-kepala daerah lainnya, meskipun asal-usulnya dari mana saja wilayah Indonesia, yang telanjur berkatepe Jakarta tidak bisa mencalonkan diri di daerah asalnya. Karena kita berprinsip negara kesatuan, kecuali Papua dan Aceh, maka siapapun warga negara berhak dipilih menjadi kepala daerah di daerah yang dibidiknya.
“Serius nih, Aher mau nyalon di Jakarta?” desak kawan saya yang dari pikiran dan perilakunya rada-rada simpatisan PKS. “Serius, kansudah deklarasi dimana-mana,” jawab saya membuatnya semakin bingung. “Kok nggak ada koran atau setidaknya media online yang beritain?” protesnya sambil memandang wajah saya yang membuatnya semakin penasaran.
“Nah, ketipu kamu,” ucap saya saat memperlihatkan sebuah pamflet buatan teman Ahok. “Ini mah bukan Aher, tapi Pak Ahok dan Pak Heru yang mendeklarasikan diri melalui jalur perseorangan,” protes kawan saya.
“Yang satu Pak Ahok, benar?” tanya saya.
“Benar,” jawab teman saya dengan wajah penasaran.
“Satunya lagi Pak Heru, pejabat DKI Jakarta, benar?”
“Benar, lha wong ditulis di situ. Meskipun saya tidak pernah lihat fotonya saya tahu, orang berwajah klimis ini bernama Pak Heru. Kabarnya masih temenan sama Presiden Jokowi,” jawabnya.
“Nah, sekarang kalau Ahok dan Heru disingkat apa?”
“Aher,” jawabnya sambil tersenyum.
Itulah maksudku, kata saya. Jadi Aher itu bukan Ahmad Heryawan. Sebab kalau Pak Ahmad Heryawan itu sudah dua periode berturut-turut menjabat Gubernur Jawa Barat. Sudah pasti tidak mungin lagi mencalonkan diri untuk jabatan satu level di daerah lain. Kecuali memang Ahmad Heriyawan mau turut pangkat mencalonkan diri menjadi Walikota Tasikmalaya, mungkin.
Aher di sini adalah Ahok – Heru yang mendeklarasikan diri lewat jalur perseorangan. Bagi saya pencalonan pasangan Aher lewat jalur perseorangan itu sebuah anomali, karena sebenarnya, meskipun ada sebagian yang benci, tapi masih ada partai-partai politik yang meminatinya, termasuk PDI Perjuangan. Kenapa milih jalur perseorangan? Maka dibuatlah cerita berdasarkan penilaian situasional yang sangat emosional, bahwa partai politik adalah sarang koruptor.
Ada lagi penilaian bahwa Pak Ahok tidak boleh menjadi Boneka Pemilik Partai. Singkat cerita partai politik Indonesia yang memang belum menjalankan fungsi sebagaimana mestinya menjadi bahan olok-olokan di sosial media. Semua dibuat penyederhanaan, sehingga temen-temen yang bergulat di partai politik menjadi kebingungan dengan ulah temen-temen Pak Ahok.
Padahal, bila searching data, siapa saja 10 kepala daerah terbaik versi berbagai lembaga penilaian? Semuanya berasal dari partai politik. Termasuk Pak Jokowi, Pak Ahok, Pak Djarot, dan kepala-kepala daerah lainnya yang berprestasi. Semua dari partai politik. Okelah, karena mungkin 99 persen kepala daerah berasal dari Parpol mungkin dianggap tidak apple to apple untuk membandingkannya dengan calon daerah persorangan. Oke, pandangan itu tidak salah.
Tapi coba kita searching yang sedikit itu, siapa saja calon kepala daerah dari jalur perseorangan dan apa reputasinya? Ternyata ketemu dua nama yang menonjol. Satu, mantan Bupati Garut Aceng Fikri yang secara semena-mena menceraikan bini ABGnya secara tidak patut, dan kedua mantan Bupati Lampung Timur Satono yang hingga sekarang kabur dan menjadi buronan kasus korupsi.
Terus apa yang bisa disimpulkan dari gambaran di atas? Semua kembali kepada integritas individu calon yang mau maju dalam Pilkada, termasuk rekam jejak di dalamnya. Dalam hal ini rekam jejak Pak Ahok cukup oke punya. Saya termasuk pengagumnya, karena dia berani melawan arus penyelenggara negara, termasuk DPRD dan birokrat yang korup. Dan saya tidak pernah keberatan dengan cara-caranya yang kasar menghardik para koruptor.
Tapi dengan membangun citra, bahwa perseorangan lebih baik dari partai politik, ini jelas bertentangan dengan pijakan data empirik yang saya sodorkan. Karena faktanya tidak semua kepala daerah dari kader partai politik bejat, dan tidak semua kepala daerah dari jalur perseorangan itu malaikat. Kalau kepala daerah dari partai politik bejat, berarti Pak Jokowi dan Pak Ahok itu bejat? Karena dua orang ini bisa memimpin Jakarta lewat jalur partai politik.
Penting dicermati, jajak pendapat terakhir oleh Charta Politika, elektabilitas Ahok yang 51,8 persen belum aman. Ini mengingatkan kita kepada Fauzi Bowo yang pada jajak pendapat versi Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang pada awal pencalonan Pilkada mencapai 53 persen, sedangkan Joko Widodo di urutan kedua dengan 17 persen.
Artinya masih banyak tantangan yang harus dihadapi pasangan Aher ini. Jadi tidak perlu orang-orang di sekitar Ahok-Heru membangun front permusuhan yang tidak perlu. Apalagi argumentasinya lemah dan mudah dipatahkan data-data empirik sebagaimana yang saya sebut di atas.
Penulis adalah Peneliti Senior di Kalimasadha Nusantara Institute