
Partai Amanat Nasional (PAN) tidak henti-hentinya menyoroti program Reforma Agraria Jokowi. Setelah Amien Rais kemudian berlanjut Hanafi Rais, kini giliran Dradjad Wibowo sebagai Anggota Dewan Kehormatan PAN turut menanggapi polemik pelaksanaan Reforma Agraria versi Pemerintah Jokowi-JK. Dradjad menilai langkah pembagian sertifikasi lahan kepada masyarakat bukanlah esensi dari konsep reforma agraria (Kompas.com 29/3/2018).
Kekeliruan terbesar dari elit partai menyikapi program reforma agrarianya Jokowi adalah ketidakpahaman tentang konsep reforma agraria itu sendiri. Hal tersebut wajar karena wacana reforma agraria lebih dari 30 tahun tidak pernah diterima di lingkaran elit politik dan kekuasaan. UUPA Tahun 1960 yang merupakan sumber payung hukum reforma agraria di Indonesia dinilai sebagai penghambat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Ideologi reforma agraria adalah “pemerataan untuk pertumbuhan”, bukan sebaliknya “pertumbuhan untuk pemerataan”. Bahkan kajian-kajian tentang reforma agraria secara sistematis dihilangkan di universitas baik fakultas ekonomi, hukum dan pertanian. Jadi wajar jika banyak orang bicara reforma agraria apalagi untuk konteks Indonesia jadi seperti debat kusir.
Politik kebijakan reforma agraria itu luas dan kompleks, mulai dari administrasi pertanahan, redistribusi lahan, kebijakan tata ruang, pemberian hak tanah negara, legalisasi hak baik individual dan badan hukum, tata guna lahan dan penataan rantai produksi hingga pasar. Dari sekian banyak aspek reforma agraria dari sejak dulu yang hanya ditonjolkan adalah administrasi pertanahan, dan ini pun belum banyak menjangkau tanah-tanah rakyat karena masih banyak tanah milik masyarakat yang belum dilegalkan haknya (sertifikat), sehingga seringkali menimbulkan konflik dan sengketa pertanahan.
Legalisasi hak atas tanah milik masyarakat melalui sertifikasi tanah dan pemberian lahan pertanian untuk buruh tani atau petani gurem melalui redistribusi lahan tanah negara tidak bisa dipisahkan, karena keduanya satu kesatuan dalam reforma agraria. Jadi kalau dikatakan program bagi-bagi sertifikat (BBS) bukan esensi dari reforma agraria sangatlah keliru besar. Karena untuk konteks Indonesia, di luar ketimpangan penguasaan lahan yang memerlukan kebijakan redistribusi lahan, legalisasi dan perlindungan hak milik tanah masyarakat juga sangat urgent dilakukan oleh pemerintah.
Selain itu, selama ini terjadi pembiaran tanah milik masyarakat khususnya rumah tangga petani yang belum terdaftar (sertifikat) menjadi aset yang tidak mempunyai nilai ekonomi. Akibatnya, para petani terjebak dalam lingkaran ijon, tengkulak atau rentenir, dan sektor pertanian rakyat sulit menjadi kekuatan ekonomi formal.
Redistrubusi lahan dapat dimulai dari tanah-tanah terlantar atau HGU/HGB yang masa haknya sudah habis. Inventarisasi dan konsolidasi tanah cadangan negara tersebut menjadi sangat penting agar menjadi dasar untuk diberikan ke rakyat khususnya petani. Para petani yang akan menerima program pun harus jelas dan terkonsolidasi dengan baik ke dalam kelompok-kelompok tani atau asosiasi.
Syarat keberhasilan reforma agraria salah satunya adalah kejelasan dan kepastian data obyek dan subyek reforma agraria. Itulah sebabnya reforma agraria di Jepang, China, Vietnam, Korea Selatan, danTaiwan cukup berhasil karena mereka memiliki data obyek dan subyek yang akurat. Dengan demikian untuk program redistribusi lahan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Belum lagi adanya perlawanan dari para pemegang HGU/HGB yang tidak rela dicabut legal formalnya. Pada masa pemerintahan SBY, Badan Pertanahan Nasional (BPN) menghadapi banyak gugatan di pengadilan TUN dan kalah oleh pemegang HGU/HGB karena posisi hukum pemerintah memang lemah.
Pemerintahan Jokowi-JK dalam menjalankan reforma agraria memilih jalan yang lebih realistis dan terukur dengan kondisi warisan struktur agraria yang telah timpang sejak masa kolonial. Tidak menggebu-gebu dan main tebas atau menggunakan slogan revolusioner. Bagaimana mungkin redistribusi lahan dilakukan tanpa adanya tertib administrasi pertanahan dan payung hukum yang jelas. Apalagi program sertifikasi tanah dikaitkan langsung dengan kesejahteraan rakyat., itu sebuah penyesatan asumsi. Sertifikasi tanah bukanlah tujuan akhir dari reforma agraria, tetapi lebih merupakan program antara dan pintu masuk “access reform” bagi petani untuk membangun sektor ekonomi rakyat yang lebih kuat dan berdaulat.
Syaiful Bahari, Pemerhati agraria, Ketua DPP Petani NasDem.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.