Kamis, 28 September 23

Tahun 2016: Bandul Mengayun Kekanan

Tahun 2016 telah kita lewati bersama. Diawali serangan teroris di Kawasan Sarinah Jalan Thamrin Jakarta pada Januari,  dan diakhiri dengan aksi besar di sekitar Monas, Jakarta pada 2 Desember serta penangkapan belasan terduga teroris di beberapa kota di Indonesia. Politik Indonesia pada 2016 bisa kita baca sebagai mengayun ke kanan. Pemerintah tampaknya tetap konsisten berada di jalur Pancasila dan UUD 1945, namun tak cukup tegas mengatasi mereka yang mencoba merusak keberagaman Indonesia.

Pemerintah Jokowi setelah pada tahun pertama (2015) melakukan konsolidasi koalisi pemerintahnya dengan antara lain dua kali melakukan perombakan kabinet dan menambah jumlah partai yang masuk pemerintahan, yaitu Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN). Tahun berikutnya semestinya Jokowi bisa lebih melaju dengan program andalannya yaitu percepatan pembangunan infrastruktur. Kenyataannya politik dan hukum masih merecoki Jokowi. Tapi itulah demokrasi. Demokrasi yang kita pilih kadang lebih memunculkan noise (kegaduhan) dibanding voice (aspirasi).

Tak bisa dipungkiri, pada tahun 2016 ada dua peristiwa yang kemudian sangat mewarnai corak politik negeri ini. Dua peristiwa itu adalah dugaan penistaan agama yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta (non-aktif) Basuki Tjahaja Purnama dan persiapan pilkada serentak di 101 provinsi/kabupaten/kota se Indonesia. Ahok sebagai calon gubernur petahana mendapat perlawanan dari FPI dan GPFMUI yang kemudian dikapitalisasi oleh partai politik yang mencalonkan kandidat lainnya.

Tak kurang Setara Institute yang menyatakan bahwa pengadilan Ahok dilaksanakan untuk memuaskan mereka yang anti terhadap gubernur non aktif itu. Pengadilan ini lebih bernuansa politik ketimbang hukum, kata Hendardi Ketua Setara Institute.  Inilah yang disebut trial by mob (pengadilan yang didesakkan oleh massa). Berbagai aksi massa menuntut  Ahok segera ditangkap, ditahan atau diadili dilakukan di Jakarta termasuk dua aksi besar 4 November dan 2 Desember. Aksi-aksi ini ternyata tak semata diinisiasi oleh FPI dan GPFMUI tetapi berkolaborasi dengan berbagai partai politik yang tak mendukung Ahok.

Aksi 212 mengkonfirmasi bahwa partai politik dan FPI (ormas yang  sepak terjang kekerasannya sangat panjang sejak 1998), bertemu dalam satu kepentingan sama yaitu menjegal Ahok dari kontestasi Pilkada DKI Jakarta. Mereka melakukan propaganda termasuk dengan memakai isu SARA, juga melakukan penghadangan saat Ahok kampanye. Salah satu propaganda mereka adalah isu masuknya 10 juta tenaga kerja asal Cina dan kebangkitan PKI. Panglima TNI dengan tegas mengatakan mereka yang melemparkan isi itu jelas mencoba memecah-belah bangsa.

Partai politik yang berideologi nasionalis pun berkolaborasi dengan FPI yang nyata-nyata anti demokrasi dan keberagaman. Tahun 2016 menunjukkan negeri ini dalam bahaya karena bandul mengarah ke kanan. Meskipun FPI dan pendukungnya adalah ormas Islam yang kecil namun kiprahnya selama ini sangat mengancam keberagaman dan demokrasi. Beruntung masih ada anak-anak muda dari NU. Mulai 2 Januari 2017 mereka melakukan kampanye melawan hoax. Turn Back Hoax. Upaya anak-anak muda NU ini perlu diapresiasi dan didukung agar terus membesar.

Pemerintah tampaknya galau menghadapi FPI dan pendukungnya (termasuk partai politik nasionalis). Apa yang dilakukan oleh FPI dengan menggelar aksi-aksi besar memang sesuatu yang konstitusional, dijamin oleh undang-undang dalam negara demokrasi. Namun mereka yang memproduksi berita bohong (hoax), menfitnah, menghina dan mencemarkan nama baik pejabat publik jelas bisa dijerat hukum. Ada KUHP dan UU ITE yang bisa dipakai untuk menjerat mereka yang memecah belah bangsa dengan isu SARA dan fitnah. Jika pemerintah tak mampu membawa ke meja hijau para penyebar hoax, fitnah dan penghina pejabat publik, maka rakyat akan semakin yakin bahwa hukum benar-benar dikendalikan oleh massa, trial by mob.

Sebelum terlambat, makin banyak tokoh nasional dan partai politik berkolaborasi dengan FPI, makin banyak aktivis yang dulu menentang orde baru kini mengidolakan ketua FPI, dan virus anti keberagaman dan demokrasi menyebar ke segala penjuru, pemerintah harus bertindak tegas. Semua bentuk pelanggaran KUHP dan UU  ITE dalam bentuk menghina, memfitnah, menyebarkan berita bohong yang menimbulkan dampak rusaknya persatuan dan kesatuan bangsa, harus dibawa ke ranah hukum. Kritik di negara demokrasi adalah keniscayaan, namun menghina dan memfitnah bisa masuk ke ranah pidana.

Pemerintah seperti memelihara anak macan. Semestinya tak membiarkan anak macan membesar dan dikemudian hari memangsa sang tuan.

- Advertisement -
Berita Terbaru
Berita Terkait