Rabu, 22 Maret 23

Surutnya Peran Militer Dalam Golkar

Partai Golkar adalah fenomena unik. Hampir dua dasawarsa pasca Reformasi posisinya tetap stabil, padahal citranya identik dengan rezim Orde Baru. Kemampuannya untuk menyesuaikan diri dengan kehendak zaman, patut diacungi jempol. Salah satu penyesuaian yang dilakukan adalah mengurangi dominasi figur militer. Seberapa jauh berkurangnya peran militer dalam  Golkar saat ini, menjadi menarik untuk diamati.

Pada era Reformasi, Golkar lebih didominasi para pengusaha besar. Ini bisa dipahami, karena biaya politik di masa sekarang membutuhkan biaya tinggi, dan hanya kalangan pengusaha kelas kakap yang memiliki sumberdaya untuk kepentingan itu. Periode transisi dari dominasi figur militer ke figur pengusaha terlihat berjalan alamiah, tanpa gejolak berarti.

Dana Besar

Wajar bila sekarang Partai Golkar lebih didominasi para pengusaha, karena politik Indonesia hari ini membutuhkan biaya besar, terlebih bila menjelang pilpres atau pilkada. Kegiatan-kegiatan seperti pawai, pengerahan massa, pembagian paket sembako, dan seterusnya, itu semua membutuhkan biaya besar.

Kalau kegiatan seperti itu diserahkan pada figur militer, tentu terasa berat, karena sumber dana mereka tidak selonggar pengusaha. Terlebih di zaman sekarang, dimana militer, baik institusi maupun pribadi, tidak leluasa lagi berbisnis. Secara alamiah peran militer dalam Golkar surut ke belakang.

Transisi itu terjadi pada Pemilu 2004, ketika salah satu unsur dalam Golkar, yaitu MKGR, memberanikan diri maju  dalam Pemilu, lepas dari bendera Golkar, dan hasilnya sungguh memprihatinkan, tidak memperoleh satu kursi pun. Di masa Orde Baru, MKGR identik dengan Mayjen Sugandhi, kemudian dilanjutkan oleh menantunya Letjen Suyono (Akmil 1965). Pengalaman pahit MKGR pada Pemilu 2004, merupakan sinyal, figur militer tak lagi bisa diandalkan dalam mendulang suara.

Pada Pemilu 2004, kepahitan Golkar masih bertambah, ketika calon presiden  yang diusung Golkar,  yaitu Jenderal Wiranto, kalah juga. Sejak Pemilu 2004 itu, peran militer di Golkar boleh dianggap selesai, meski Sekjen-nya masih dijabat tentara, yakni Letjen Purn Soemarsono (Akmil 1972, mantan Wakil KSAD). Namun keberadaan Soemarsono tidak banyak membantu, karena dia sendiri adalah purnawirawan  yang kurang dikenal.

Perwira dan Kekuasaan

Keterlibatan tentara dalam Golkar di masa Orde Baru, seperti membuka tabir siapa sebenarnya Angkatan 1945. Selama ini ada mitos, bahwa militer (khususnya) generasi 1945, adalah penyelamat bangsa, yang posisinya demikian sakral. Dengan melibatkan diri dalam Golkar, militer generasi 1945 ternyata sama saja dengan entitas lainnya, yang terpesona juga pada kekuasaan.

Di masa-masa awal konsolidasi Golkar, artinya juga konsolidasi Orde Baru, wacana politik diramaikan dengan nama-nama jenderal seperti Amir Murtono, Soehardiman (Soksi), Soegandhi (MKGR), Mas Isman (Kosgoro), yang sebelumnya jarang kita dengar, kecuali nama Ali Moertopo. Nama-nama jenderal ini juga saling bersaing untuk menguasai Golkar, dan faksi yang paling siap, tidak bisa tidak adalah faksi Ali Moertopo. Mengingat Ali Moertopo memiliki organisasi intelijen (bayangan) yang biasa dikenal sebagai Opsus (Operasi Khusus).

Nama-nama jenderal itu, bagi wacana elite politik di Jakarta, menggantikan posisi nama jenderal yang selama ini lebih akrab di telinga publik, seperti Ibrahim Ajie (Pangdam Siliwangi), HR Dharsono (Pangdam Siliwangi) dan AH Nasution (mantan KSAD dan Ketua MPRS). Naiknya Amir Murtono sebagai Ketua Umum Golkar (1973-1983) juga ibarat dongeng, kita tidak pernah dengar dia dulu berkiprah dimana, tiba-tiba saja bisa memperoleh panggung yang terhormat, hanya bermodalkan kesetiaan tanpa batas pada Soeharto.

Politik Minim Dana

Di masa Orde Baru, untuk mobilisasi massa bagi kepentingan Golkar, memang tidak perlu biaya (dana kontan) terlalu besar. Benar tetap perlu dana kontan, namun tidak sebesar sekarang. Dengan dana yang minim, saat itu Golkar tetap saja selalu unggul dalam setiap Pemilu, itu dimungkinkan karena mobilisasi dan penggalangan massa dilakukan dengan intimidasi, khususnya bagi pegawai negeri. Kemudian untuk warga di pelosok desa, menggunakan birokrasi desa dan  hansip (pertahanan sipil) untuk menekan rakyat, agar selalu memilih Golkar.

Khusus bagi pegawai negeri masih ditambah beban, gajinya dipotong secara otomatis tiap bulan, untuk (dipaksa) berlangganan harianSuara Karya. Sebuah  organ resmi Golkar, yang seandainya dijual bebas, belum tentu laku juga. Jumlah potongan relatif tidak besar, namun bagi pegawai rendahan, potongan sekecil apapun tetap berpengaruh. Bila dihitung secara kasar, potongan per bulan saat itu (untuk berlangganan Suara Karya), setara dengan harga 15 kg beras kualitas sedang.

Dari segi keuangan memang tidak banyak keluar, namun rezim militer Orba menebar teror pada warga, yang berujung pada rasa apatisme. Dampaknya terlihat ketika MKGR maju sendiri dalam Pemilu 2004. Rakyat tetap memahami bahwa MKGR adalah representasi dari Golkar, dan terbukti perolehan suara MKGR sangat mengecewakan. MKGR ibarat partai keluarga dari Mayjen Sugandhi, yang kepengurusannya kemudian diteruskan oleh istrinya (Mien Sugandhi) dan menantunya Letjen Suyono (Akmil 1965).

Selain dana yang terbatas, rakyat juga masih ingat siapa MKGR dulu. Nasib yang sama kemungkinan besar juga akan terjadi, bila Soksi dan Kosgoro memberanikan maju sendiri dalam pemilu. Kita tidak bisa membayangkan hasilnya seperti apa. Figur utama Kosgoro, yaitu Hayono Isman (putera Mas Isman), sudah mulai dilupakan orang, apalagi bagi generasi sekarang. Demikian juga dengan Mayjen Purn Soehardiman (pendiri Soksi), yang saat meninggal pada Desember 2015, nyaris tidak ada media yang memberitakannya. Semuanya adalah figur masa lalu, yang tak bisa diharapkan lagi untuk menghimpun massa.

 

Penulis Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

- Advertisement -
Berita Terbaru
Berita Terkait