Dik Agus yang baik,
Saya menulis surat terbuka ini, selain biar dibilang kekinian, juga karena ada dua alasan. Pertama sebagai sesama orang Indonesia bernama Agus. Dan, kedua, dik Agus selama Pilkada DKI Jakarta didampingi Trio R yang saya kenal.
Sebelumnya saya mengucapkan selamat atas pidato kekalahan yang dik Agus sampaikan usai hitung cepat Pilkada DKI Jakarta. Pidato itu memancing respon positif dari banyak pihak karena di situ dik Agus menunjukkan sikap ksatria, legowo sembari tak lupa mengucapkan terima kasih kepada para pendukung sekaligus maaf tak bisa mencapai hasil maksimal. Sebagai seorang pendatang baru dari kalangan militer, apa yang dicapai dik Agus sudah cukup lumayan.
Dengan perolehan 17.05 % atau 936.609 suara menurut data KPUD berarti masih di bawah perolehan suara golput yang 22,70 %, Paslon 2 mendapat 43,91% (2.357.587 suara) dan Paslon 3 40.05% (2.200.636 suara). Total DPT (Daftar Pemilih Tetap) 7.108.589, tingkat partisipasi 77,30% atau setara 5.494.832. Meski demikian, tentang perolehan Paslon 1, Denny J.A dari LSI (Lingkaran Survei Indonesia) mengatakan, “Lumayan bisa menghambat Paslon 2 tak menang satu putaran”
Dik Agus yang kalem,
Pada akhir 2015 atas prakarsa Agus Nuryanto, yang biasa dipanggil Gus Nur, telah terbentuk paguyuban Agus Agus Bersaudara (AAB) di Indonesia. Paguyuban ini, menyusul paguyuban sejenis seperti Asep dan Sugeng, telah berhasil menjaring sekitar 2.000 orang Indonesia yang mempunyai nama Agus. Saya belum cek apakah Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardoyo, Ketua KPK Agus Raharjo dan penulis Agus Noor sudah masuk daftar AAB.
Sudah menjadi rahasia umum, nama Agus adalah salah satu nama pasaran di Indonesia. Jika suatu kali di mal ada pengumuman anak hilang bernama Agus, maka dengan segera banyak orang tua mendatangi keamanan mal. Sebuah media online pernah membuat survei tentang nama-nama orang Indonesia. Situs itu merilis dari seratus nama yang paling banyak dipakai di Indonesia, nama Agus menempati urutan ke 16. Saya tak yakin dik Agus tertarik di paguyuban AAB, karena saya yakin dik Agus pasti sibuk. Tak perlu mengurus yang “ecek-ecek”.
Dik Agus yang rajin membaca,
Saat kompetisi Pilkada DKI Jakarta tempo hari, saya tahu dik Agus didampingi Trio R untuk mengasah ketrampilan berkomunikasi terutama sepanjang kampanye. Jika pada suatu masa Kesebelasan Brasil pernah ditulangpunggungi Trio R yaitu Ronaldo, Romario dan Ronaldinho, yang selalu menggetarkan lawan, dik Agus patut bangga didampingi Trio R yaitu Rocky Gerung, Rachland Nashidik dan Robertus Robet.
Saya mengenal dengan baik Trio R ini. Dengan RN pernah pada suatu masa menjadi kawan seiring dalam melawan Soeharto dan mempromosikan “self determination” : Bebaskan Indonesia dari Timor Leste. Dengan RG saya selalu terpesona, setiap bertemu, terutama saat aktif di Forum Demokrasi (Fordem), selalu saja ada istilah baru baik yang serius maupun yang lucu. RG-lah yang meledek saya sebagai anak Pijar (berpikir jarang hehehe). Dan RR kini mengajar di Jurusan Sosiologi UNJ, dulu IKIP Jakarta, almamater saya. Namanya sering menghiasi koran ibukota. Sebagai sesama dosen kami sering prihatin terhadap aktivitas mahasiswa masa kini.
Mungkin waktu yang kurang cukup sehingga dik Agus belum banyak menyerap strategi komunikasi yang diberikan oleh Trio R. Saya berharap meskipun pilkada telah usai tetaplah bergaul dan berkomunikasi dengan Trio R karena dari mereka dik Agus bisa belajar apa saja terutama pengalaman dan kebijakan.
Dik Agus yang legowo,
Setelah usai Pilkada DKI banyak yang mendorong agar dik Agus mempersiapkan diri mengikuti Pilkada Gubernur Jawa Timur. Kalau boleh saya menyarankan, janganlah ikut Pilkada Jawa Timur. Ada dua alasan mengapa dik Agus tak perlu mengikuti Pilkada Jatim. Pertama, jika mengikuti pilkada, seolah-olah dik Agus adalah orang yang mengejar jabatan. Kedua, dan ini penting, kemungkinan salah satu cagub yang akan ikut bersaing yaitu Walikota Surabaya Tri Rismaharini. Popularitas Risma di Jawa Timur jelas tak ada yang menandingi.
Saya lebih menyarankan dik Agus lebih banyak aktif di Partai Demokrat di pososi mana pun. Yang penting aktif di partai dan selalu turun ke bawah. Turun ke cabang bahkan ke ranting. Jika pada Pemilu 2014 suara yang diperoleh Demokrat terjun bebas, ini adalah tantangan bagi dik Agus, sebagai darah segar partai, untuk mendongkrak kembali pada Pemilu 2019 nanti. Meskipun hal ini sulit namun tak ada yang tak mungkin dalam politik.
Dik Agus yang baik,
Masa depan masih terbuka lebar. Kalau boleh saya memberi saran, jadilah diri sendiri ’be yourself’. Tetap rendah hati dan tak gampang mengeluh. Sejatinya dik Agus adalah seorang nasionalis sejati karena latar belakang militer maupun keluarga yang juga dari militer. Saya tak meragukan Pancasila dan Sapta Marga dik Agus.
Karena itu, saya mewanti-wanti tetaplah menjadi nasionalis sejati, jangan bergerak ke Kanan. Apalagi bergaul dengan kelompok Kanan radikal. Sungguh sayang modal nasionalis dan pendidikan dik Agus akan hilang begitu saja jika berkolaborasi dengan kelompok kanan garis keras. Saya yakin Trio R juga kurang suka dengan manuver “berselingkuh” dengan kelompok kanan radikal itu. Semoga dik Agus ke depan tetap istiqomah sebagai seorang nasionalis. Jika dik Agus ingin seperti slogan Partai Demokrat, nasionalis religius, cukuplah bergaul dengan ormas besar yang moderat semacam NU dan Muhammadiyah.
Akhirnya dik Agus.
Saya berharap dik Agus terus menjalani hobi membaca, seperti pernah saya lihat foto dik Agus dengan tumpukan buku. Dengan membaca buku akan terjaga akal sehat dan sikap tidak jumawa. Tidak seperti, maaf adik dik Agus yaitu Ibas. Di media sosial saya membaca tentang Ibas yang dibully terutama karena pernyataan “Wahai Rakyatku….” Konon ada yang mengusulkan supaya Ibas membaca buku karya Ben Anderson, agar wawasan politiknya meningkat. Namun ternyata Ibas malah membaca buku H.C. Andersen, jadilah muncul kalimat “Wahai Rakyatku….”
Sekali lagi, be yourself. Tetap rendah hati dan tak gampang mengeluh.
Yogyakarta, 18 Februari 2017