Rabu, 27 September 23

Sudah Tepat Presiden Tak Temui Perwakilan FPI

Tanggal 1 Juni 2008 adalah hari yang sulit saya lupakan. Saat itu, saya salah satu panitia aksi yang diadakan oleh Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) bertepatan dengan Hari Lahir Pancasila di sekitar Monas Jakarta. Acara belum dimulai, lagu Indonesia Raya belum sempat dinyanyikan, tiba-tiba dua ratusan peserta aksi diserang puluhan massa Front Pembela Islam (FPI).

Insiden Monas, demikian media menulis, menelan korban 27 orang luka-luka,  karena pentungan, pukulan, tendangan, dan diinjak-injak penyerang. Sorenya saya diperiksa polisi sebagai saksi tindak kekerasan FPI, hingga dini hari di Polda Metro Jaya. Tiga hari kemudian, Habib Rizieq dan 59 pengikutnya diciduk polisi di markas FPI di Petamburan, Jakarta Pusat.

Insiden Monas adalah salah satu dari ratusan aksi kekerasan yang dilakukan FPI baik pusat maupun daerah sejak berdiri pada 1998 hingga sekarang. Tindak kekerasan dilakukan dari razia warung makan atau tempat hiburan pada bulan puasa, membubarkan diskusi, pameran oleh mahasiswa, seniman atau kalangan LSM, menyerang Komnas HAM (24 Juni 2000), sampai menyerang atau menutup tempat ibadah gereja atau masjid milik Ahmadiah. Aksi kekerasan itu ada yang kemudian ditangani polisi sebagai tindak pidana, ada juga  yang tidak. Bahkan Habib Habib Rizieq pun berulang kali ditahan polisi. Karena track record FPI di atas, tak salah jika masyarakat memandang FPI sebagai organisasi yang selalu mengusung kekerasan dan anti-keberagaman.

Ketika FPI menggelar Aksi Damai 4 Nopember 2016 dengan massa yang jumlahnya ratusan ribu, sungguh banyak yang mengapresiasi. Massa yang begitu banyak namun hingga magrib tiba tak terjadi insiden berarti, ini sebuah prestasi. Insiden baru terjadi setelah jam 20.00. Tetapi betulkah aksi itu damai dan sejuk jika poster, spanduk, dan yel-yel menyatakan tangkap, bunuh dan gantung? Belum lagi ujaran kebencian (hate speech) yang dilakukan para elit di atas mobil. Banyak yang menilai ujaran kebencian di atas mobil itu jauh lebih tak santun dibanding pejabat yang dituduh mulutnya bau jamban.

Demo 4 Nopember tujuannya mendesak agar pemerintah segera menuntaskan kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan gubernur (non aktif) DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Sebenarnya tuntutan itu sudah dilaksanakan pihak kepolisian dengan memeriksa pelapor dan saksi. Pada akhir aksi mereka menuntut bertemu dengan Presiden Joko Widodo. Jokowi menunjuk Menkopolhukam Wiranto dan Mensesneg Pratikno. Para delegasi massa menolak, tetap ingin bertemu Jokowi. Akhirnya mereka ditemui Wapres Jusuf Kalla. Mengapa Jokowi tak menemui perwakilan massa aksi 4 Nopember? Tepatkah Jokowi tak menemui mereka?

Menurut Savic Alaeda, aktivis mahasiswa 1998, pilihan damai sebagai strategi taktis itu beda dengan damai sebagai komitmen nilai. Karena itu, Savic heran dengan mereka yang “jatuh hati” sama FPI hanya karena tindakan lapangannya yang simpatik saat mengendalikan massa di aksi kemaren. “Semoga kita tidak menjadi golongan yang mudah baper dan tertipu,” ujar pentolan Famred ini.

Bagi Savic, semua warga negara berhak untuk demo: mengekspresikan pendapat dan mengungkapkan tuntutan. Begitu pula mereka yang demo 4 Nopember. Mereka berhak, dan sah dalam koridor demokrasi. “Jaman gua dan kawan-kawan demo juga banyak yang gak setuju. Tapi itulah demokrasi, memberi ruang buat kita untuk tidak setuju, untuk tidak sependapat, untuk tidak satu suara,” tambah pengelola situs NU Online ini.

Savic menjelaskan, kita boleh tidak setuju atas pendapat atau tuntutan, tapi kita tidak bisa melarang orang untuk mengekspresikan pendapat dan tuntutan, sejauh pendapat dan tuntutan itu tidak melanggar prinsip-prinsip dasar kemanusiaan. Beda kalau tuntutannya bunuh, gantung, meski ungkapan-ungkapan itu kadang tak mencerminkan tuntutan yang sebenarnya tapi lebih sebagai dinamika aksi semata.

Wartawan senior Satrio Arismunandar mencatat, Jokowi (sebelumnya) sudah berbicara dengan pimpinan MUI, NU, Muhammadiyah (dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, bahkan untuk ukuran dunia). Tiga lembaga ini sudah cukup memadai dan merupakan representasi umat Islam di Indonesia. Dengan demikian, kata dosen komunikasi di beberapa universitas ini, buat yang menuntut harus bertemu dengan presiden, sekadar cari panggung buat menuntut macam-macam, ini-itu, yang tidak lagi proporsional. “Maaf saja, semua tuntutan untuk dijalankannya proses hukum terhadap terduga penista agama sudah diakomodasi, bahkan sebelum demo dimulai. Mau apa lagi? Menyuruh Presiden mundur? Menuntut Sidang Istimewa MPR?” ujar aktivis Aliansi Jurnalis Independen (AJI) ini. Satrio dengan tegas mengatakan, “Tidak perlu memberi panggung politik gratis untuk para petualang.”

Bagi intelektual Muslim Luthfi Assyaukanie, jangkar Islam Indonesia itu Muhammadiyah dan NU. Kedua organisasi Islam terbesar di tanah air ini secara resmi sudah melarang anggotanya mengikuti demo 4 Nopember. “Artinya, yang demo itu tidak mewakili Islam Indonesia. Mereka umumnya pendukung Anies dan Agus. Jadi kalau mereka bilang itu aksi bela Islam, itu tipu-tipu saja. Nggak usah didengar. Mereka mau peralat agama untuk tujuan politik,” kata Luthfi.

Apakah hanya Jokowi presiden yang tak mau menerima demonstran? Tidak juga. Catatan di bawah ini bisa membantu kita bahwa presiden tak harus bertemu dengan pendemo, apalagi jika Paspampres menganggap bisa membahayakan keselamatan presiden. Mari kita lihat. 1. Bung Karno pernah mengungsi ke Istana Bogor karena ada demo besar di Jakarta. 2. Pak Harto hanya mengutus Jend. Sumitro dan Ali Murtopo menemui mahasiswa demo Malari. Meski sebelum aksi pecah Hariman (Ketua Dewan Mahasiswa UI) dan kawan-kawan ditemui Soeharto di Bina Graha. 3. Gus Dur pernah tak mau menemui FPI yang demo  protes pencabutan Tap MPRS 66. 4. SBY paling tidak ada 4 kali tak berada di istana waktu ada demo besar.

Akhirnya saya mengapresiasi Presiden Jokowi yang tak menemui perwakilan pendemo pada 4 Nopember. Apa yang dilakukan Jokowi sudah tepat. Pertama, Jokowi tentu tak suka ditekan atau diintervensi sesuatu yang tengah berjalan, yaitu pemeriksaan dugaan penistaan agama. Kedua, Jokowi tak perlu memberi panggung kepada FPI yang selama ini track recordnya sangat buruk. Ketiga, Jokowi tak perlu melegitimasi FPI sebagai organisasi resmi, sementara banyak pihak justru ingin membubarkan organisasi ini karena sepak terjang kekerasan sejak berdiri hingga kini.

- Advertisement -
Berita Terbaru
Berita Terkait