Saya senang saat KPK melakukan OTT terhadap pelaku suap proyek Meikarta. Tapi saya cukup terkejut saat dalam pengembangan berikutnya, KPK menangkap 2 orang lainnya, dan salah satunya adalah Fitradjaya Purnama. Kembali saya teringat dengan rusaknya politik perizinan di negeri ini.
Dalam kasus yang menimpanya, Fitra tidak mendapatkan apa-apa – karena dia dalam pandangan penyidik KPK berada dalam posisi “penyuap”. Dan itu bukan dari uangnya karena Fitra hanya konsultan proyek dari Corporate yang memberinya pekerjaan. Kesalahan Fitra mungkin mengetahui adanya kejahatan (suap) tapi tidak melaporkan ke pihak yang berwenang. Ya, kalau lapor sudah jelas dong diputus kontraknya sebagai konsultan. Iya to?
Selama politik perizinan masih seperti sekarang kalau tidak mau nyogok jangan jadi pengembang – apalagi dalam skala besar. Karena pasti tidak akan ada pekerjaan. Etika profesi hanya bagus di statuta, tapi prakteknya adakah yang benar-benar profesional kecuali “bernapas dalam lumpur”?
Itulah cara pandang saya terhadap Fitradjaya Purnama. Jadi sebagai risiko profesi dalam kubangan politik perizinan yang sangat korup. Fitra memang bukan maling, tapi dipaksa nyogok kepada Maling. Karena dia hidup dalam habitat seperti itu. Fitra orangnya humble, sangat perhatian kepada kawannya yang kesusahan. Semoga kawan Fitra tabah menghadapi risiko pekerjaan yang sekarang menimpanya.
Sisi baiknya, semoga KPK mampu membongkar praktek patgulipat dalam politik perizinan dan ditemukan cara bagaimana – bukan sekedar menghukumnya tapi juga mencegahnya. Ini pekerjaan rumah elite politik Indonesia ke depan – terutama yang menyangkut masalah legislasi.
Korupsi memang harus dibabat ke akar-akarnya. Namun Fitradjaya Purnama tetap sahabat saya. Semoga dia tetap tabah dan bersedia menjadi justice colaborator untuk membongkar habis praktik perizinan yang kental dengan korupsi. Terima kasih !!!
Penulis Marlin Dinamikanto, Penyair, Aktivis dan Facebooker
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.