Rabu, 29 November 23

STS: Pengosongan Rumah Warga Teplan oleh Korem Bogor Adalah Pelanggaran Hukum

Peristiwa pengosongan rumah warga  Teplan, Kecamatan Tanah Sereal Kota Bogor, secara paksa oleh Korem 061 suyakancana Bogor/ Kodim Bogor, berbuntut panjang. Peristiwa pengosongan paksa pada 26 juli 2018, selain memaksa 8 keluarga kehilangan tempat tinggal juga membawa implikasi beberapa warga mengalami kekererasan fisik.

Perumahan yang sejak tahun 1960 dikenal warga penghuni awal, sebagai sebagai Perumahan Badak putih 2, telah dikuasai selama puluhan tahun oleh warga. Dan warga juga telah memiliki bukti PBB atas nama warga, telah diklaim sebagai rumah dinas TNI oleh pihak Korem/Kodim. Kekerasan fisik terhadap warga menyebabkan ada yang pecah bibir bagian dalam dijahit beberapa jahitan, ada yg patah gigi depannya, ada yang rusuknya memar akibat tendangan aparat.

Sugeng Teguh Santoso, kordinator tim Pembela warga Bogor Tergusur, menyatakan bahwa tindakan pengosongan paksa warga penghuni perumahan Badak Putih 2 tanpa perintah Pengadilan dengan main hakim sendiri adalah perbuatan melawan hukum. “Pengosongan paksa itu telah menimbulkan kerugian material dan immaterial bagi warga dikosongkan paksa,” kata Sugeng

Ditambahkan oleh STS, bahwa sengketa antara warga penghuni dengan pihak TNI AD (korem 061 Suryakancana/ Kodim Bogor) adalah termasuk dalam kualifikasi sengketa kepemilikan yg harus diselesaikan melalui putusasan pengadilan.

“Bukan dengan main paksa sepihak.tindakan pengosongan paksa sepihak dapat dikualifikasi sebagai main hakim sendiri, mengabaikan prinsip-prinsip negara hukum Indonesia,” tegasnya.

Warga korban penggusuran aparat TNI
Warga korban penggusuran aparat TNI

Penyelesaian secara hukum melalui pengadilan menurutnya, adalah tindakan yang paling tepat, karena warga memiliki dan membayar PBB sejak puluhan tahun sampai saat dikosongkan. Artinya, tambah Sugeng, warga berdasarkan prinsip hukum beziter recht dlm pasal 1977 KUH Perdata, dan prinsip keutamaan yang dianut dalam UU no. 5 Tahun 1960 tentang Agraria, maka warga yg menguasai tanah negara secara lebih dari 20 tahun bahkan telah diterbitkan PBB adalah pihak yang paling berhak atas tanah tersebut bukan TNI.

Dijelaskan lebih lanjut oleh pria yang akrab dipanggil dengan STS, status tanah negara berbeda dengan status tanah pemerintah. Menurut STS, tanah negara adalah tanah yang belum dibebani hak atas tanah diatasnya, dan setiap warga negara berhak menggarap, menguasai dan memanfaatkan tanah negara, yang kepadanya berdasarkan uu no. 5 tahun 1960, berhak mengajukan hak atas tanah (sertifikat). Sedangkan penguasaan tanah negara dibuktikan dengan diterbitkannya PBB atas nama warga.

“Tanah pemerintah adalah tanah yg sudah dibebani hak atas nama pemerintah ic. Dalam kasus ini seharusnya ada bukti sertifikat atau tanda bukti hak atas nama TNI, dan tentunya kalau sudah ada hak atas tanah atas nama institusi TNI atau institusi , atau nama badan hukum atau nama perseorangan dipastikan tidak akan terbit PBB atas nama warga,” urai Sugeng.

Jika ada rencana penggunaan tanah tersebut untuk kepentingan pemerintah atau TNI, maka menurut Sugeng, yang harus ditempuh adalah pembicaan pemberian penggantian materiel pada warga penghuni sesuai kesepakan secara setara, bukan dengan cara paksa.

“Saya berharap TNI AD dlm hal ini Korem 061 Suryakancana/ Kodim Bogor dapat bijaksana bersikap, apalagi mereka adalah keluarga TNI yg telah berjasa dalam masa kemerdekaan dan beberapa diantaranya telah mendapatkan tanda penghargaan pengabdian dan ada juga yg sudah dimakamkan di makam pahlawan,” pungkas Sugeng.

- Advertisement -
Berita Terbaru
Berita Terkait