Sisi kemanusiaan Soeharto termasuk jarang dibicarakan. Para pengamat umumnya lebih tertarik membahas Soeharto dari segi politik (baca: kekuasaan). Hal itu bisa terjadi karena masa kekuasaan Soeharto sepanjang Orde Baru (1966-1998), merupakan lahan kajian politik yang tak ada habis-habisnya, bahkan sampai beberapa dekade ke depan.
Lalu bagaimana aspek kemanusiaan sosok Soeharto? Ternyata tetap saja tidak bisa dilepaskan dari atmosfer politik, hanya mungkin kadarnya tidak terlalu tinggi. Aspek kemanusiaan dimaksud di sini adalah soal bagaimana perilaku Soeharto sebagai ayah (bagi anak-anaknya), dan bagaimana pula sebagai sahabat.
Posisinya sebagai penguasa tertinggi di tanah air di masa lalu, tentu memberi pengaruh pada perilakunya, bahkan untuk urusan yang sangat personal sekalipun. Secara umum Soeharto adalah pribadi paradoksal. Dalam persahabatan misalnya, suatu saat dia bisa sangat memanjakan (para sahabatnya), namun pada lain kesempatan dia tega juga memperlakukan sahabatnya dengan cara yang sangat menyakitkan.
Terhadap sahabatnya semacam Om Liem (Sadono Salim, pendiri imperium Salim Group) atau Bob Hasan, Soeharto sangat memanjakan. Mereka diberi kelonggaran bisnis yang luar biasa, hingga bisa masuk jajaran konglomerat. Om Liem adalah sahabat lama Soeharto sejak dirinya masih berdinas di Kodam Diponegoro pada era 1950-an. Sementara Bob Hasan adalah anak angkat Jenderal Gatot Soebroto, sesepuh rumpun Diponegoro. Figur Gatot Soebroto sangat dihormati oleh Soeharto, dan itu terlihat pada cara bagaimana Soeharto memanjakan Bob Hasan di masa lalu.
Seperti bunyi diktum lama “tidak ada kawan atau lawan abadi dalam politik”, berhasil memberi gambaran yang pas pada Soeharto. Bagaimana seseorang mengingkari persahabatan demi ambisi kekuasaan.
Soeharto memiliki cara yang unik dalam mengingkari persahabatan, yakni dengan sedikit memberi sentuhan nilai kejawen, sesuai dengan latar belakang Soeharto, yang dekat tradisi kebatinan. Nilai dimaksud tercermin dalam ungkapan (Jawa) “tega larane, ra tega patine”. Kira-kira maknanya adalah: terhadap seorang teman, kita mungkin masih tega menyakitinya, namun ketika teman itu sedang menghadapi bencana (apalagi sampai mengancam nyawanya), kita akan merasa iba pula.
Sebagai penghayat kejawen yang kental, tentu Soeharto sangat paham atas narasi ini. Nilai inilah yang dipraktikkan Soeharto secara “selektif” terhadap dua orang sahabatnya: Letkol Untung dan Kolonel Latief. Bagian tega larane (tega menyakiti), Soeharto terapkan pada Letkol Untung. Sementara ra tega patine (masih ada rasa iba) diberlakukan pada Kolonel Latief. Itu sebabnya Untung kemudian dieksekusi (mati), sementara Kolonel Latief sedikit terselamatkan, berupa vonis seumur hidup.
Memang logis juga bila Untung kemudian dieksekusi, karena posisinya yang sangat menentukan dalam gerakan tahun 1965 itu, setidaknya dibanding peran Kolonel Latief. Bagaimana alasan yang lebih detail, mengapa Soeharto bertindak “diskriminatif” seperti itu, hanya Soeharto sendiri yang tahu.
Demikian juga saat menjadi ayah, Soeharto begitu memanjakan anaknya, terutama terhadap Mas Tommy, yang kebetulan wajah dan posturnya paling mirip Soeharto. Apa pun yang diminta Tommy selalu dipenuhi Soeharto, seperti monopoli bisnis cengkeh, jasa penerbangan, otomotif, tambang, properti dan seterusnya.
Bisa jadi ini bisa dihubungkan dengan masa kecil Soeharto, yang hidupnya harus ngenger (menjadi anak angkat) pada kerabat, sehingga dirinya senantiasa merindukan figur ayah. Ketika dirinya menjadi ayah, dia kemudian mencurahkan kasih sayang pada anak-anaknya, seolah anaknya tidak boleh disentuh sedikit pun oleh orang lain.
Karena persoalan anak ini pula, menjadi pangkal perseteruan antara Soeharto dan Benny Moerdani. Pada suatu kali, ketika masih menjadi Pangab atau Menhan, Benny sempat memberi masukan pada Soeharto terkait bisnis anak-anak Soeharto, yang dinilai Benny sudah berlebihan. Tampaknya Soeharto kurang berkenan, dan ini berdampak pada karir politik Benny, yang secara perlahan tersingkir dari lingkaran kekuasaan.
Pada fase ini kita menemukan paradoksal pada karakter Soeharto. Dia begitu menyayangi anak-anaknya, namun kekuasaannya dimulai dengan menghilangkan ribuan ayah pada genosida pasca-Peristiwa 1965. Apakah Soeharto tidak berpikir, bahwa tindakan genosida tersebut telah mengakibatkan sejumlah besar anak negeri ini harus kehilangan figur ayah, seperti yang dialami Soeharto saat masih kecil.
Demikian juga saat berkuasa, Soeharto dengan mudahnya memisahkan antara ayah dan anak, seperti kasus penyair Wiji Tukul, yang jejaknya hilang entah kemana. Belum lagi ayah-ayah yang dipenjarakan, tanpa proses pengadilan, yang kemudian diasingkan ke Pulau Buru, atau penjara yang lain. Dimanakah nurani Soeharto sebagai ayah, dan juga sebagai sahabat? Kelak waktu yang akan menjawabnya.
Penulis : Aris Santoso, pengamat militer terutama TNI-AD, saat ini bekerja sebagai editor buku paruh waktu