Teman telah pergi satu demi satu. Kini satu lagi pemikir cum aktivis dari FH-UII Yogya telah berpulang, yakni AE Priyono. Saat adik kelasnya di FH UII, M Yamin meninggal dunia (Maret 2019), Mas AE (begitu panggilan akrabnya) menulis catatan kenangan di akun medsos pribadinya. Begitu pula saat aktivis Yogya yang lain berpulang, yakni Agus Edi Santoso (Agus Lenon, IAIN Suka) pada Januari lalu, kembali Mas AE menuliskan kenangannya.
Kini “giliran” sahabat-sahabat Mas AE yang menuliskan kenangan tentang almarhum. Bagi saya sendiri, bagaimana asal mula perkenalan dengan Mas AE, agak sedikit kabur. Seperti umumnya terjadi pada penulis, kita biasanya telah mengenal tulisannya, sebelum kita sempat kenal dengan penulisnya secara langsung, atau bahkan kita kita tidak pernah mengenalnya sama sekali selamanya. Kira-kira begitulah proses perkenalan saya dengan Mas AE.
Nama Mas AE pertama kali saya lihat, bila sedang membuka-buka buku terbitan LPES, sebuah lembaga penelitian yang (dulu) berkantor di daerah Slipi (Jakarta Barat), yang identik dengan jurnal Prisma, bacaan wajib para mahasiswa yang mengambil bidang ilmu sosial dan humaniora. Saat masih kuliah, saya sendiri cukup sering membeli buku terbitan LP3ES, selain karena temanya menarik, harganya juga terjangkau bagi mahasiswa, yang biasanya dananya terbatas. Salah satu cara LP3ES bisa menekan harga, adalah dengan menggunakan kertas kualitas sedang (kertas koran), bagi buku-buku yang diproduksinya.
Pada beberapa buku terbitan LP3ES itulah, nama Mas AE saya temukan, baik sebagai editor maupun penerjemah. Rupanya setelah lulus dari FH UII, Mas AE bergabung di LP3ES. Tak lama kemudian, sekitar tahun 1993, saya dengar Mas AE pindah ke harian Republika sebagai redaktur opini. Bagi saya ini sebuah akses, bila saya hendak menulis opini ke harian tersebut.
Mulai awal 1990-an, saya mulai merintis ikhtiar sebagai pengamat militer, khususnya Angkatan Darat. Untuk memperoleh pengakuan dari publik, saya harus sering-sering menulis tema yang relevan, dan salah satu media yang saya incar adalah Republika, selain pembacanya lumayan banyak, balas jasanya bagi penulis juga terbilang baik. Menjelang Hari ABRI (sekarang TNI) tahun 1994, saya sudah menyiapkan tulisan soal mulai tampilnya generasi baru TNI di lapis pimpinan, saya sebut nama-nama (dengan pangkat saat itu) Kol Inf Prabowo Subianto dan Kol Inf Ryamizard, beserta latar belakang keluarga keduanya.
Singkat kata tulisan tersebut saya kirim ke Republika, dengan sedikit kata pengantar yang saya tujukan pada Mas AE (selaku redaktur opini), yang intinya memohon, agar tulisan tersebut dimuat. Karena bila tulisan tersebut tidak dimuat, hilang sudah momentum, berarti saya harus menunggu Hari TNI tahun berikutnya.
Setelah saya tunggu-tunggu, akhirnya muncul juga tulisan tersebut di Republika, edisi 4 Oktober 1994. Tentu saya merasa senang, dan semakin bersemangat melanjutkan riset (secara mandiri) tentang TNI. Suatu ketika, tanpa sengaja saya berjumpa dengan Mas AE pada sebuah acara, rasanya itulah pertama kali saya jumpa dengan Mas AE. Pada kesempatan itu saya mengucapkan trima kasih atas dimuatnya opini dimaksud.
Beliau menjawab dengan ramah, hanya kalimat berikutnya membuat saya terkaget. Kira-kira Mas AE bilang begini: gara-gara tulisan anda, saya dipindahkan ke bagian litbang. Saya spontan bertanya: lho kenapa Mas.
Mas AE bilang, gara-gara pemuatan tulisan itu, Republika mendapat teguran (lisan) dari Letjen Syarwan Hamid, yang saat itu merupakan Kassospol (Kepala Staf Sosial Politik) ABRI, badan atau lembaga di Mabes ABRI yang menjalankan fungsi sosial-politik ABRI. Bila kita ingat konteks zaman itu, Orde Baru baru saja menunjukkan watak kerasnya dengan membredel tiga media pada 21 Juni 1994: majalah Tempo, majalah Editor, dan tabloid Detik.
Wajar, bila media sangat berhati-hati, kalau tidak boleh disebut paranoia, dalam memuat tulisan. Sebab bila dibredel, urusan bisa panjang. Selain terputus ikatan dengan pembaca setia, nasib karyawan juga berat, yang berarti kehilangan sumber nafkah. Kemudian saya minta maaf pada Mas AE, bila tulisan saya telah menyusahkannya. Namun Mas AE dengan bijak berkata, tidak masalah dan itu sudah risiko tugas.
Ada hikmahnya juga, dengan cara seperti itu, terjalin hubungan yang lebih dekat dengan Mas AE. Kemudian kita kembali pada kesibukkan masing-masing, hingga tiba masa Reformasi 1998. Euforia di masa reformasi, telah menarik sejumlah lembaga donor di luar (khususnya Eropa), untuk mensponsori penelitian fenomena tersebut.
Pasca-Reformasi saya bergabung di Komunitas Utan Kayu (KUK), yang kebetulan juga “kecipratan” proyek penelitian terkait tema tersebut. Disebut KUK, karena memang berkantor di Jalan Utan Kayu (Jakarta Timur), sebuah lembaga yang didirikan sebagai bentuk respons (atau perlawanan) atas dibredelnya tiga media di atas. Saya sendiri memandang KUK sebagai “Pasar Malam”, karena begitu beragamnya latar belakang orang bergabung, ada seniman, peneliti, kurator karya seni, penulis, jurnalis, dan seterusnya. Termasuk beragam pula dalam kualitas dan karakter. Namun yang Namun yang penting dicatat di tempat inilah saya kembali bertemu dengan Mas AE.
Kita bisa sekantor karena ada proyek penelitian berdurasi panjang terkait isu reformasi dan konsolidasi demokrasi, dimana Mas AE diposisikan sebagai peneliti utama. Meski sudah sekantor (beda divisi dan ruangan), karena kesibukkan masing-masing pula, kita menjadi jarang ngobrol. Dan lagi karena pembawaan Mas AE yang cenderung serius (terutama saat bekerja) dan pendiam, beda dengan saya yang suka cengengesan.
Namun sesekali kita sempatkan pula ngopi sore di kedai kopi kantor. Saat ngopi sore itulah, baru saya tahu, ternyata Mas AE memiliki selera humor juga. Saat ngopi sore itu pula, saya menghindari obrolan seputar pekerjaan kantor, tentu kita semua sudah lelah, kita ingin obrolan yang ringan untuk refreshing. Pada saat itulah saya melemparkan obrolan soal Kota Temanggung, kampung halaman Mas AE.
Dengan ceria Mas AE cerita soal seputar Temanggung, seperti kopi lokalnya yang nikmat, dan produk tembakaunya yang juga mendunia. Tembakau yang dimaksud Mas AE, adalah tembakau yang dihasilkan petani daerah Parakan, sebuah kecamatan di antara Temanggung dan Wonosobo, yang diapit Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro.
Seperti biasa terjadi pada profesi lain di masyarakat kita, peneliti atau penulis, sesekali juga nyambi atau cari proyek sampingan, untuk mencari sekadar tambahan penghasilan. Karena kalau hanya mengandalkan pada penelitian (pokok) dari kantor, rasanya tidak cukup, terlebih bagi Mas AE yang sudah berkeluarga dengan beberapa anak.
Begitulah kiat peneliti, termasuk Mas AE dan saya. Bila ada penelitian sampingan, yang kira-kira membutuhkan data terkait militer, Mas AE selalu mengajak saya. Dan atas bantuan itu, meskipun tidak seberapa, Mas AE memberi saya “amplop”, yang lumayan juga untuk ngopi-ngopi berikutnya.
Waktu berjalan demikian cepat. Kantor kami di Utan Kayu sudah sejak lama “senyap”. Kemudian kita melanjutkan kehidupan dengan ikhtiar masing-masing, sesekali kita masih saling kontak, sekadar berkirim kabar. Hingga akhirnya saya mendengar Mas AE sakit lumayan gawat, dan akhirnya pergi untuk selamanya (12 April 2020). Selamat jalan Mas AE, semoga mas menemukan kedamaian abadi di tempat yang baru.
(Aris Santoso, sahabat almarhum)
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.