Tanggal 9 April (1966) selaku dikenang sebagai hari berpulangnya Sutan Sjahrir, tokoh besar yang namanya senantiasa melintasi zaman dan generasi. Kehidupan Sjahrir ibarat sebuah buku tebal dan klasik, selalu ada sisi menarik yang tak ada habis-habisnya untuk dibahas, meski sudah meninggal lebih dari setengah abad lalu.
Salah satu sisi menarik adalah hubungan Sjahrir dengan Kota Solo, sebuah kota yang dikenal romantis sejak dulu. Selain sebagai pusat budaya Jawa, Solo juga dikenal sebagai kota yang sangat bergejolak, baik di masa Perang Kemerdekaan maupun masa Orde Baru. Pertemuan Sjahrir dan Solo, ibarat pertemuan dua entitas yang sama besar.
Dalam beberapa tahun terakhir, Solo kembali menjadi viral, terkait sosok Presiden Jokowi, yang kebetulan berasal dari Solo. Sekadar perbandingan, ketika SBY menjadi Presiden dua periode (2004-2014), tidak menjadikan kota kelahirannya (Pacitan) viral, seperti Solo pada saat ini. Pacitan tetap saja dikenang sebagai kota kecil di pantai selatan Jawa (Timur), yang perkembangannya begitu-begitu saja.
Dalam karir politik Sjahrir, Solo menjadi penting, pertama karena Peristiwa 3 Juli (1946). Saat terjadi penculikan atas dirinya, Sjahrir kebetulan sedang berada di Solo. Pelakunya diperkirakan dari kelompok yang berafiliasi pada Tan Malaka. Begitulah, meski sama-sama berasal dari ranah minang, antara Sjahrir dan Tan Malaka, sejak awal sudah tidak cocok dalam garis perjuangan.
Peristiwa ini menjadi terkenal, karena dianggap sebagai upaya kudeta pertama dalam republik yang baru merdeka, dengan segala aspek kontroversialnya, tetap menjadi misteri sampai sekarang. Peristiwa 3 Juli adalah salah satu peristiwa besar di Solo di awal kemerdekaan, selain konflik antar satuan bersenjata yang demikian kompleks pada pertengahan 1948, sebagai “pemanasan” menuju Peristiwa Madiun 1948.
Solo juga penting bagi Sjahrir, tidak saja dalam urusan politik, namun Sjahrir sebagai lelaki biasa. Benar, sisi humanis Sjahrir berjejak di Kota Solo. Sejak lama Solo terkenal dengan gadis-gadisnya yang berparas ayu, sehingga ada sebutan khas: puteri Solo. Karena itu pula, Sjahrir sempat memiliki kekaguman khusus pada gadis Solo. Setidaknya ada dua orang, yakni Gusti Nurul dan Siti Wahyunah (Poppy), nama yang disebut terakhir ini kemudian dinikahi oleh Sjahrir.
Gusti Nurul adalah figur legendaris, puteri dari penguasa Pura Mangkunegaran pada dekade 1930-an. Kecantikannya dikenal di seluruh negeri, sehingga sempat juga mencuri perhatian Sjahrir, yang saat itu sudah menjadi Perdana Menteri. Kakak Gusti Nurul saat itu menjadi penguasa baru Pura Mangkunegaran (Mangku Negara VIII), sehingga masuk dalam lingkaran elite di Solo dan Yogya, dua kota utama yang masih dikuasai RI, saat Jakarta dalam status kota pendudukan (Belanda).
Sehingga terjalinlah komunikasi antara Sjahrir dan Gusti Nurul. Meski pada akhirnya, hubungan keduanya tidak berlanjut, namun tidak mengurangi arti penting Kota Solo dalam kehidupan pribadi Sutan Sjahrir. Sebagaimana diketahui, Gusti Nurul akhirnya menikah dengan kerabatnya sendiri, yakni RM Soerjosoerarso, seorang perwira kavaleri lulusan KMA Breda, yang sempat menjadi Komandan Pussenkav (Pusat Kesenjataan Kavaleri, yang pertama) dan Gubernur AMN Magelang, juga yang pertama.
Wanita kedua adalah Siti Wahyunah (Poppy), putri dari dokter Saleh Mangundiningrat, dokter pribadi Sunan Paku Buwono X. Sebagai dokter pribadi keluarga raja, tentu saja menjadikan dokter Saleh masuk golongan elite di Solo. Rumah pribadinya di Solo, kini dikenal sebagai Balai Soedjatmoko, di salah satu ruas di Jalan Slamet Riyadi. Soedjatmoko sendiri adalah anak dokter Saleh yang lain (adik dari Poppy), yang kemudian dikenal sebagai intelektual terkemuka di tanah air.
Puteri dokter Saleh yang lain adalah Ibu Miriam Budiarjo, yang dikenal sebagai pelopor pendidikan tinggi ilmu politik di tanah air, dengan ikut mendirikan Fisip UI pada awal tahun 1960-an. Sementara Poppy sebagai puteri tertua, sejak awal kemerdekaan memang sudah membantu Sjahrir, dengan menjadi sekretaris Sjahrir selaku PM (1945-1947). Sjahrir dan Poppy kemudian menikah di Kairo, pada awal 1950-an.
Poppy pula yang mendampingi hari-hari berat Sjahrir, mulai saat ditahan oleh rezim Soekarno, hingga meninggal di Zurich (Swiss), kota yang jauh dari negeri yang sangat dicintai dan dulu ikut dia perjuangkan pula, menuju gerbang kemerdekaan. Benar, kisah ditahannya Sjahrir, serangan stroke, dan akhirnya meninggal di negeri orang, adalah sebuah ironi. Dan yang mengalami ironi bukan hanya Sjahrir, pada fase berikutnya, Soekarno sendirizdv yang memperoleh “giliran” ironi berikutnya.
Satu lagi tokoh dari Kota Solo yang bisa dihubungkan dengan Sjahrir adalah Overste (Letkol) Slamet Riyadi, yang kini namanya diabadikan sebagai nama poros jalan yang membelah kota tersebut. Mungkin banyak yang belum tahu, bahwa ternyata Slamet Riyadi adalah pengagum Sjahrir. Di masa pendudukan Jepang, kelompok Sjahrir acapkali mengadakan diskusi di daerah Matraman (Jakarta Timur), pada salah satu rumah di jalan, yang kini juga diberi nama Jalan Slamet Riyadi.
Slamet Riyadi adalah perwira tempur yang cerdas, sehingga dari dirinya pulalah, sempat lahir gagasan pembentukan Pasukan Komando, yang kini dikenal sebagai Kopassus. Selain dikenal jago di medan tempur, Slamet Riyadi juga dikenal sebagai sosok humanis, salah satunya karena pengaruh Sutan Sjahrir.
Walakin, ketika monumen Slamet Riyadi di ujung jalan yang mengabadikan namanya, dia digambarkan dengan citra sangat militeristik, jelas menimbulkan tanda tanya. Salah satu yang mungkin menjadi penyebabnya adalah, monumen itu dibangun tanpa dukungan riset yang memadai, sehingga akhirnya Slamet Riyadi digambarkan seperti itu.
Penulis : Aris Santoso, pengamat TNI terutama TNI AD, saat menjadi editor buku
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.