Perdebatan tentang siapa yang akan menjadi Kapolri sedang ramai dibicarakan publik. Informasi terakhir yang beredar, peluang Wakapolri Komjen Budi Gunawan (BG, Akpol 1983) sebagai Kapolri semakin besar. Kubu BG sudah cukup bersabar, karena seharusnya dia sudah menjadi Kapolri pada awal tahun lalu (2015). Hanya karena memperoleh perlawanan yang sangat keras dari publik (civil society movement), promosi bagi BG ditunda hingga hari ini. Selain pada dasarnya Presiden Jokowi sendiri juga kurang berkenan dengan figur BG, mengingat BG dikenal dekat dengan Megawati.
Sementara resistensi civil society terhadap BG tetap seperti dulu. Hingga muncul kekhawatiran apabila tetap “dipaksakan” mengangkat BG, kegaduhan politik akan terjadi. Oleh karenanya opsi memperpanjang masa jabatan Jenderal Badrodin Haiti (Akpol 1982) akan dihidupkan kembali.
Dua Opsi
Aspirasi yang muncul dari kalangan civil society untuk kandidat Kapolri adalah nama Komjen Dwi Priyatno (kini Irwasum Mabes Polri, Akpol 1982). Di mata masyarakat madani (termasuk sebagian anggota Kompolnas), score bagi Dwi Priyatno terbilang tinggi dibanding kandidat lainnya, karena dia relatif bersih (dari kasus korupsi).
Persoalannya dia sekelas dengan Jenderal Badrodin Haiti (Akpol 1982), artinya kalau Dwi Priyatno yang dicalonkan, para pendukung BG akan berargumen, tidak ada regenerasi di tubuh polri. Argumen tentang perlunya alih generasi, sebagai salah satu cara untuk membuka jalan bagi BG. Sekaligus menutup peluang Dwi Priyatno.
Bila berpegang pada prinsip alih generasi, ada nama lain yang sebenarnya bisa dimunculkan yaitu Komjen Putut Eko Bayuseno (Kabaharkam Mabes Polri, Akpol 1984). Hanya karena latar belakang Komjen Putut yang pernah menjadi ADC (ajudan) Presiden SBY periode 2004-2009, peluangnya menjadi berat.
Ini berdasarkan pengalaman sebelumnya, semua kolega Putut sesama ADC Presiden SBY pada periode yang sama. Dengan berbagai alasan, pada akhirnya tidak bisa menjadi orang nomor satu di matra masing-masing. Mereka adalah Letjen M Munir (kini Sekjen Wantanas, Akmil 1983), Laksdya Didit Herdiawan (Kasum TNI, AAL 1983), dan Marsdya Bagus Puruhito (Wagub Lemhanas, AAU 1984). Nama-nama ini (bila dikehendaki pimpinan di atasnya), sebenarnya masih ada peluang menjadi Kepala Staf di matra masing-masing, namun tampaknya itu sulit terjadi.
Bila nama Dwi Priyatno dan Putut Eko sudah tidak masuk nominasi lagi. Maka kini yang tersisa tinggal dua opsi. Pertama, tetap mempromosikan BG dengan segala resiko politiknya di kemudian hari. Kedua, memperpanjang masa jabatan Badrodin Haiti.
Dari pengamatan, tampaknya Jokowi cenderung memilih opsi kedua. Tinggal kini yang perlu dipikirkan adalah, mencari argumentasi pembenaran perpanjangan masa jababatan bagi Badrodin. Argumentasi diperlukan untuk menenangkan situasi, karena kubu atau pendukung BG siap bermain “keras” pula, dalam hal ini PDIP. Argumentasi harus logis dan bisa diterima (khususnya) bagi pendukung BG, agar perpanjangan masa dinas Badrodin berjalan mulus.
Panglima TNI Baru
Sebagai “kompensasi” ditangguhkannya promosi BG, maka Jokowi akan mengangkat Marsekal Agus Supriatna (kini KSAU, AAU 1983) sebagai Panglima TNI menggantikan Jenderal Gatot Nurmantyo. Pengangkatan Agus bisa disebut sebagai “kompensasi” mengingat dulunya Agus juga di-endorse oleh Megawati. Bagi Jokowi siapa pun yang menjadi Panglima TNI tidak masalah, karena TNI sepenuhnya dikendalikan Menkopolhukam Luhut Panjaitan. Ini berdasarkan asumsi Jokowi sangat percaya, dan sangat mengandalkan Luhut Panjaitan.
Panglima TNI perlu diberikan kepada matra udara (KSAU), sesuai prinsip bergiliran. Memang sudah seharusnya diberikan KSAU, sebab saat Gatot diangkat menjadi Panglima TNI setahun lalu, dia sudah melewati “jatah” (giliran) matra udara. Dari segi usia Agus Supriatna, tahun depan sudah 58 tahun, artinya sudah dekat pensiun. Dengan kata lain Agus Supriatna hanya sebentar saja menjadi Panglima TNI, dan Panglima TNI berikutnya akan dikembalikan lagi pada matra darat.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.