Peneliti Setara Institute Halili Hasan mengatakan, larangan penggunaan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dalam berbagai hajatan politik di Indonesia merupakan cara dan bentuk berpolitik secara berkualitas.
Selain itu, menurut Hasan, hal tersebut juga dapat menjadi alat mitigasi bagi perpecahan masyarakat yang beragam dan sudah diikat dengan Pancasila.
“Bentuk kampanye SARA adalah menggunakan isu SARA sebagai cara untuk menghimpun dukungan politik atau menundukkan lawan politik dalam sebuah kontestasi,” kata Hasan dalam siaran pers yang diterima indeksberita.com di Jakarta, Rabu (12/10).
Terkait polemik terkait pernyataan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), Halili mengatakan bahwa apa yang disampaikan Ahok dalam pertemuan dengan warga Kepulauan Seribu, sama sekali bukanlah bentuk penggunaan isu SARA untuk kampanye.
Menurutnya, hal itu juga bukanlah bentuk penodaan terhadap agama.
Hasan khawatir, tekanan berlebihan terhadap isu ini memberikan preseden buruk bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Cara inilah yang menurutnya selama ini terus dipelihara oleh elit-elit politik tertentu untuk mempertahankan hegemoni politik atas umat.
Oleh karena itu, sambung Hasan, Setara Institute berkepentingan untuk mengingatkan bahwa Indonesia bukan negara agama.
“Secara Konstitusi dan etis tidak ada larangan untuk memilih pejabat publik hanya karena berbeda agama dan keyakinan. Setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama,” paparnya.
Lebih lanjut dikatakan Hasan, pihaknya meminta pejabat negara dan semua pihak untuk berkomitmen menjaga kesatuan dan keberagaman Indonesia, serta menegakkan Konstitusi.
Ditambahkannya, Setara Institute yakin bahwa masyarakat memiliki rasionalitas politik yang berbasis pada bukti capaian, kinerja, dan visi pembangunan para calon untuk menentukan pilihannya.
“Jikapun tidak akan memilih calon yang berbeda keyakinan, bukan karena keyakinan dan agamanya, tetapi karena visi yang tidak menjanjikan,” pungkasnya.