Angin kencang memukul-mukul jas dan dasiku. Aku kedinginan. Langkahku cepat bergegas menuju tempat pertemuan. Aku berpacu dengan bis dan kereta api kota, taksi, sepeda dan pejalan kaki.
Tidak ada tabrakan. Tidak ada klakson. Tidak ada hiruk pikuk. Kenapa semua bisa berdamai? Kenapa bis, taksi dan sepeda bisa berdampingan dan bersahabat di jalan yang sama?
Dari Storgatan ke Karl Johans Gate aku termangu-mangu memandang rumah dan toko. Cat mengelopak seperti menjelaskan usia dan derita. Betapa angin dan hujan mendera mereka sepanjang jaman.
Betapa dingin. Ah, aku pun ingin segera sampai ke tujuan. Aku ingin segera bertamu ke kamar yang bertuliskan ‘Gentlemen’.
(Oslo, 1995, Todung Mulya Lubis)
Saya mengenal Bang Todung Mulya Lubis pada akhir 1980an atau awal 1990an di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Kemudian lebih mengenal TML ketika sama-sama aktif di Forum Demokrasi atau Fordem (bukan forum dekat Marsilam), yang didirikan lintas tokoh seperti Gus Dur, Rachman Tolleng, Marsilam Simanjuntak dan tokoh lainnya. Sebagai aktivis muda organisasi yang kritis terhadap orde baru saat itu, saya sering rapat dan berdiskusi dengan TML.
Lama tak jumpa TML setelah pertemuan Fordem “cukup heboh” di Hotel Indra Menteng, menjelang Soeharto lengser, 21 Mei 1998. Pada 15 Januari 2008, telpon seluler saya berdering.
“Hallo Tass, ini bang Todung. Kamu lagi aksi di Bundaran HI ya?” kata seseorang di seberang sana yang ternyata TML.
“Nggak bang. Masak hari kekalahan diperingati,” jawab saya bercanda.
“Gini Tass, kita ketemu yuk di Grand Hyatt,” ajak bang Todung.
“Ada apa ya bang,” kata saya tak mengerti tentang agenda pertemuan itu.
“Sudahlah Tass, saya tahu kamu di belakang aksi-aksi KOMBET. Ayo kita ketemu ngopi-ngopi….” ajak TML.
Singkat kata, saya bersama Nova Kurniawan, Ketua KOMBET (Komite Masyarakat Anti Bahan Pengawet), dan Endi Martono, penasehat hukum KOMBET, bertemu TML sehari kemudian di Grand Hyatt Hotel Jakarta. TML bersama seorang pengacara muda, saya lupa namanya. Mereka mengaku mewakili sebuah korporasi multinasional besar D yang memproduksi minuman M. Produk M termasuk salah satu yang terkena dampak atas temuan bahan pengawet oleh peneliti di tiga laboratorium independen yang diinisiasi KOMBET.
Bang Todung bicara cukup santai. Mungkin karena sudah saling mengenal. Namun si pengacara muda agak sedikit songong.
“Sudahlah kalian tak perlu meneruskan aksi-aksi kalian. Nanti bisa kami tuntut…” ancam pengacara muda itu.
Mendengar ancaman itu, Nova Kurniawan balik menggertak, “Soeharto saja kami lawan apalagi perusahaan asing ….”
Kemarin (20/2), bang Todung bersama 16 orang lainnya, dilantik menjadi duta besar. Saya tentu senang mendengar berita ini. Satu lagi orang yang saya kenal menjadi dubes. Aktivis Hak Asasi Manusia senior ini akan menjadi dubes untuk Norwegia merangkap Islandia berkedudukan di Oslo. Kira-kira akan seperti apa wajah KBRI kita di Oslo di bawah profesor hukum itu?
Presiden Joko Widodo saat melantik 33 Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (LBBP) untuk negara sahabat dan organisasi internasional, termasuk Dubes Mesir Helmy Fauzy, pada 25 Februari 2016, berpesan dua hal.
Pertama, meningkatkan hubungan Indonesia dengan negara sahabat, dan kedua meningkatkan investasi, perdagangan, plus wisatawan. Pendek kata, duta besar pada era Jokowi tak sekadar diplomat, tetapi juga marketing.
Apa sebenarnya tugas seorang dubes? Menurut Konvensi Wina, tugas dubes adalah:
1) Mewakili negara pengirim di negara penerima,
2) Melindungi kepentingan negara pengirim dan warga negaranya di negara penerima dalam batas-batas yang diijinkan oleh Hukum Internasional,
3) Mengadakan persetujuan dengan pemerintah negara penerima,
4) Memberikan keterangan tentang kondisi dan perkembangan negara penerima sesuai dengan undang-undang dan melaporkan kepada pemerintah negara pengirim,
5) Memelihara hubungan persahabatan antar kedua negara.
Menurut Wijono Projodikoro, ada tiga tugas yang harus diemban oleh dubes yaitu :
1) Melaksanakan Perundingan (negotiation),
2) Meneropong keadaan (observation),
3) Memberi perlindungan (protection).
Jabatan dubes pada era Orde Baru umumnya jatuh kepada para pensiunan militer, birokrat berpengalaman, dan tentu saja pejabat karier dari Departemen Luar Negeri. Dan salah satu tugasnya adalah mengawasi para aktivis di luar negeri. Dubes zaman now tentu sudah berubah. Dubes bisa berasal dari mana saja termasuk aktivis, akademisi, wartawan, pengusaha, bahkan dari partai politik. Meskipun demikian, presiden selalu memilih seorang dubes yang tepat untuk negara sahabat, The right person to the right country. Orang yang tepat untuk negara yang tepat.
Seperti ditulis Makarim Wibisono dalam buku “Mr. Ambassador: Dari Wartawan Foto Menjadi Duta Besar” diplomasi adalah seni berunding dalam mencapai tujuan politik luar negeri. Politik luar negeri di satu pihak adalah mengenai hal-hal yang menyangkut what to do, di pihak lain diplomasi adalah menyangkut hal-hal yang bertalian dengan how to do. Oleh karena itu banyak orang percaya diplomasi bukan ilmu pengetahuan atau science sehingga sulit dipelajari secara akademik.
Saya yakin Bang Todung adalah Dubes Zaman Now. Pengalaman di dunia hukum dan HAM tampaknya akan membantu saat mewakili RI di Oslo, negara paling demokratis sedunia yang komitmen terhadap HAM dan lingkungan hidup sangat tinggi. Selain itu, TML juga mempunyai jiwa seni yang bisa dipakai untuk diplomasi.
Seingat saya, saat Bang Todung berulang tahun ke 50, meluncurkan sebuah buku Kumpulan Puisi “Sudah Masanya Kita Membaca Puisi Kembali” di Hotel Dharmawangsa Jakarta Selatan, 1999.
Tentu saja ada dubes lain yang darah seninya lebih kental yaitu Sri Astari Rasjid, dubes RI untuk Bulgaria, Albania, dan Macedonia. Tapi puisi berjudul Oslo (1995) di atas menunjukkan bang Todung berjiwa seni. Penuh humor pula. Kini bang TML jika “kebelet pipis” bisa di toilet KBRI Oslo. Diplomasi itu seni. Diplomat yang berjiwa seni mungkin kinerjanya akan lebih berwarna. Selamat bertugas Bang Todung!! Salam dari Jogja (sayang saya tak ikut syukuran di nDalem Natan Royal, Jogja)
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.