Jakarta – Blok Masela sebaiknya menjadi momentum membumikan Nawacita Ketiga, bukan lahan pejabat berburu rente dan panggung pertunjukan sikap nasionalisme yang ringkih. Demikian dikatakan Nazaruddin Ibrahim, Ketua Bidang Otonomi Daerah dan Daerah Perbatasan Sekretariat Nasional (Seknas) Jokowi, menanggapi pro-kontra Blok Masela dalam rilis pers yang diterima indeksberita.com, di Jakarta, Senin (21/3/2016).
Lebih lanjut Nazar menuturkan, terkait ruang publik yang disediakan oleh presiden untuk “mendiskusikan” pendekatan terbaik pengelolaan sumber daya alam (SDA) khususnya Blok Masela, pro-kontra bukanlah sebuah “kegaduhan” melainkan media pencerahan dan bagian penguatan partisipasi publik.
“Pro kontra adalah sebuah dialektika untuk memberikan kecerdasan dan kesolidan berbangsa, menjelaskan hal-hal substantif yang selama ini dimanipulatif,” ujarnya.
Terkait program Nawacita pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, Nazar menilai pengembangan Blok Masela bisa menjadi tonggak bagaimana pengelolaan SDA (minyak dan gas bumi) yang berkeadilan.
“Sejak lama daerah-daerah pinggiran dan pulau terluar kehilangan sentuhan ke-Indonesiaannya. Negara harus hadir di ufuk timur,” tegasnya.
Menurut Nazar, pengelolaan cadangan gas alam yang sangat besar harus diletakkan dalam kerangka membumikan Nawacita dengan meletakkan kepentingan nasional sebagai landasan utama, dan Rakyat (Maluku) sebagai penikmat pertama dari kekayaan alamnya.
Dia menambahkan, saatnya sekarang anak bangsa memegang kendali pengelolaan SDA guna membangun kemandirian energi berdasarkan kepentingan nasional, pemerataan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
“Nawacita ketiga, membangun Indonesia dari pinggiran akan memancarkan cahaya ke-Indonesiaan khususnya dari ufuk timur yang telah lama redup,” ujarnya.
Menurut Nazar, visi prigram seperti itu tidak terlihat dipahami oleh sejumlah pejabat terutama Amien Sunaryadi (AS) selaku Kepala SKK Migas maupun oleh Menteri Energindan Sumber Daya Mineral (SDM) Sudirman Said (SS).
Nazar bahkan menilai, logika Kepala SKK Migas dan Menteri ESDM keliru dan ceroboh. Pertama, “old mind-set”. AS dan SS hanya sekedar berburu pendapatan (foreign exchange), keruk dan jual untuk mendapat devisa.
“Tidak ada mindset pengembangan Indonesia Bagian Timur sebagai “accelerator dan hub” dalam pengembangan sektor ekonomi yang mempunyai nilai tambah tinggi (industri petro kimia) dan mensinergikan potensi lokal lainnya yang berbasis kelautan,” ujar Nazar.
Kedua, AS dan SS tidak transparan dalam informasi cadangan gas, berdasarkan Perkiraan Cadangan Terbukti Ditempat (GIIP): 27,6 TCF dan Perkiraan Cadangan Terambil (RF; 70%): 19,32 TCF, dengan prakiraan alokasi produksi gas 300 juta kaki kubik untuk industri petro kimia dan 4.5 mtpa LNG.
“Produksi ini dapat menyuplai industri petro kimia dan kilang LNG selama lebih dari 50 tahun, apalagi bila dihitung “cadangan harapan” dapat mensuplai lebih dari 70 tahun,” tambahnya.
Demikian juga, adanya kekhawatiran bahwa pipanisasi gas melalui jalur dasar laut ke pulau Selaru sejauh 90 km dengan kedalaman 1500 m dan kelandaian dasar laut 2-3% tidak aman, menurut Nazaruddin sangat mengada-ada dan membonsai anak bangsa untuk melahirkan “maha karya” di bidangnya.
“Ingat, penggunaan piping technology” telah dipakai untuk mengalirkan gas oleh banyak negara. Di Eropa, misalnya, ada pipa gas bawah laut Nyhama di Norwegia ke Easington Inggris sejauh 1.166 Km dengan kedalaman 3.000 m yang mengalirkan gas 2,500 juta kaki kubik/hari. Juga ada Blue Stream dari Rusia – Turki sejauh 400 Km dengan kedalaman 2.200m yang mengalirkan gas 1.550 juta kaki kubik/hari,” pungkas Nazar.