Sleman – Surat Keterangan Kesehatan Hewan (SKKH) adalah cara termudah bagi masyarakat awam untuk mengecek kesehatan hewan korban sebelum dibeli. Jika peternak atau penjual belum meng-SKKH-kan hewan korban mereka, maka keadaan pun mengharuskan masyakarat untuk mengecek kesehatan hewan berdasarkan kriteria sehat atau ciri-cirinya.
Sebagai salah satu dokter hewan yang bertugas di Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan) Pakem, Felicitas Kristianti, membeberkan bahwa untuk Kecamatan Pakem sendiri, peternak yang mendaftarkan SKKH hewan korban diperkirakan dibawah 20%. Angka tersebut diperolehnya dari kegiatan pengecekan hewan korban pada kelompok ternak Pakem, dua bulan menjelang Idhul Adha.
“Waktu kita mengecek dan bertanya ke kelompok ternak, hewan mana yang mau diproyeksi untuk korban, kita pasti tanya, sudah atau belum memiliki SKKH. Sebagian besar menjawab belum. Padahal kan bikin SKKH geratis,” ujar Kristianti saat ditemui di kantornya, Puskeswan Pakem, Pakem Gede, Jumat (9/9).
Kristianti berpendapat bahwa peternak yang belum mendaftarkan SKKH pada hewan korban tidaklah lain karena merasa bahwa SKKH belum terlalu penting. Ia pun menyayangkan hal tersebut, karena pendaftaran SKKH bagi setiap hewan dapat dibilang mudah.
Dijabarkan oleh Kristianti, berikut prosedur pendaftaran SKKH:
1. Pengecekan hewan dari puskeswan;
2. Puskeswan mengeluarkan surat rekomendasi ke Badan Pengendalian Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) setempat bila hewan yang diperiksa 100% sehat;
3. Bila mengidap penyakit, hewan menjalani proses pengobatan sampai kesehatan pulih, baru direkomendasikan;
4. Dari Kesmavet pemerintah daerah setempat, SKKH siap diambil.
“Mungkin dikira seribet ngurus KTP atau SIM. Paling tidak sehari jadi di Kesmavet”, ujar Kristiati.
Ia kembali menambahkan bahwa kurangnya kesadaran dari peternak setempat dikarenakan belum adanya contoh terburuk dari dampak yang diakibatkan dari ternak korban yang mengidap penyakit, meskipun sosialisasi sudah beberapa kali dilakukan. Ia pun memberikan contoh kasus saat masyarakat digemparkan oleh flu burung (avian influenza).
“Waktu Avian Influenza, kita sudah bilangin sampai mulut kita berbuih. Mereka tidak percaya selama ada diantara mereka (peternak) yang mengidap AI karena makan daging ayam. Mungkin yang bikin mereka yakin karena bertahun-tahun memiliki hewan korban belum dapat peyakit semerikan itu (antraks/ rabies)” ungkapnya.
Kristianti menyarankan agar masyarakat meninggalkan saja para peternak atau penjual hewan kurban yang belum mendaftarkan SKKH pada hewan korban mereka. Hal ini ditakutkan jika pengawasan dari pemerintah meleset dan terdapat beberapa dari hewan korban yang masih mengidap penyakit namun tetap dijual.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.