Generasi baru yang kini lebih populer disebut Generasi Y atau generasi milenial (mereka yang lahir di era 1990-an), hari ini sedang menjadi primadona dalam percaturan politik di Tanah Air. Jumlah mereka yang besar, telah menjadi incaran kubu 01 (Jokowi) dan 02 (Prabowo) dalam kontestasi Pilpres baru-baru ini. Setelah Pemilu (termasuk Pilpres) berlalu, harapan terhadap generasi milenial masih berlanjut, ketika Presiden Jokowi secara terbuka menyatakan, akan mengangkat seorang figur dari generasi milenial sebagai salah seorang menteri dalam kabinet mendatang.
Jalan yang ditempuh Jokowi sedikit berbeda dengan elite partai politik pada umumnya. Bila elite partai politik cenderung konservatif, Jokowi sudah konkrit. Sejatinya publik belum pernah melihat, bagaimana peta jalan parpol dalam upaya mendekati generasi milenial. Yang kita kita lihat baru sebatas pernyataan verbal, lalu bagaimana operasionalnya di lapangan, selama ini masih samar-samar.
Saya sendiri khawatir, bahwa sebenarnya parpol belum memiliki skema soal bagaimana mendekati kaum belia tersebut, kecuali memang pada partai yang mereka bangun sendiri, yakni PSI.
Asumsi yang Menyesatkan
Bila kita perhatikan, para elite parpol terlalu optimis dalam merebut hati generasi milenial. Tanpa memahami aspirasi kaum milenial, sebagus apa pun janji para elite partai, janji tersebut hanya akan lewat begitu saja. Optimisme elite parpol hanya berdasarkan asumsi “senior dan yunior”. Maksudnya, kalangan generasi milenial sebagai yunior secara otomatis akan mengikuti kehendak para senior.
Para senior adalah mereka yang lahir dari dekade 1940-an sampai 1970-an, generasi yang paling sibuk berebut kekuasaan hari-hari ini. Asumsi bahwa yunior akan secara otomatis mengikuti kehendak senior, sejatinya sudah usang. Model seperti itu hanya pas ketika ormas kemahasiswaan sedang berjaya, seperti HMI, GMNI, AMPI, dan seterusnya.
Sebuah fenomena yang pernah terjadi di masa lalu, kira-kira sampai dekade 1980-an. Kini era kejayaan ormas kemahasiswaan (atau pemuda) sudah lewat, generasi milenial memilih mencari jalan sendiri dalam mengaktualisasikan dirinya.
Bila masing-masing kubu masih mengandalkan pendekatan senior ke yunior, istilah yang paling tepat bagi mereka adalah ahistoris. Semangat hidup yang kini sedang dijalani generasi milenial, sesuai dengan konsep yang pernah disampaikan Indonesianist terkemuka Ben Anderson (almarhum).
Menurut Ben, revolusi Indonesia tahun 1945-1948, digerakkan oleh mereka yang berusia antara 18 sampai 25 tahun. Kalau kita percaya pada tesis Ben Anderson tersebut, sebenarnya di zaman apapun, lebih khusus lagi di masa sekarang, tidak ada tempat bagi aspirasi konservatif.
Namun sayang, dinamika dan kreativitas membuncah yang lahir dari generasi milenial, acapkali tidak bisa dimengerti elite pengusa. Menjadikan generasi milenial sekadar lumbung suara, perilaku konservatif generasi tua telah mencapai titik nadir.
Kesenjangan Gagasan
Kaum tua seolah lupa sejarah, bahwa selalu ada kesenjangan — lebih tepat lagi ketegangan – antargenerasi di negeri ini. Salah satu yang paling gamblang, adalah ketegangan antara Generasi 1966 yang sangat pro rezim Orde Baru, berhadapan dengan generasi Malari (1974), yang mulai bersikap kritis terhadap Orde Baru. Generasi Malari telah menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya untuk terus melawan rezim Orde Baru, hingga Soeharto benar-benar turun pada Mei 1998. Bila generasi 1966 saja sudah diabaikan, bisa kita bayangkan bagaimana kondisi generasi yang lebih lampau, yaitu Generasi 1945, tentu citranya lebih suram lagi. Bila generasi milenial masih bersedia mengingat Generasi 45, itu lebih karena rasa belas kasihan, bukan karena performa Generasi 45.
Bagaimana tidak, Generasi 45 selalu membanggakan semangat nasionalismenya, ironisnya semangat nasionalisme itu mereka hanguskan sendiri, melalui serangkaian tindak korupsi, penindasan rakyat, pelanggaran HAM, dan seterusnya, saat Generasi 45 mencapai puncak kekuasaannya, dengan Soeharto sebagai representasinya. Tradisi kekuasaan yang dulu dikembangkan Generasi 45, sampai kini masih meninggalkan jejak kuat. Seperti yang pernah dikatakan tokoh Gerakan Malari 1974 Hariman Siregar, bahwa demokrasi hari ini adalah demokrasi yang sudah dibajak dengan uang, dibajak dengan orang kaya dan menciptakan dengan prosedur yang sangat mahal.
Semisal untuk menjadi caleg DPR harus memberi mahar pada partai pengusung, demikian juga bila ingin maju dalam pilkada, para calon harus menyediakan dana dalam jumlah besar. Dana kampanye pilpres tentu lebih besar lagi, sangat fantastis, di luar imajinasi rakyat kebanyakan. Itu sebabnya perilaku koruptif terus berlangsung, karena politisi memerlukan dana yang besar
Ekspresi Generasi Milenial
Salah satu cara menangkap aspirasi politik generasi milenial adalah dengan melakukan observasi langsung, dalam hal ini pada dua komunitas, sebagai contoh kasus. Pertama, generasi milenial yang tergabung dalam Aksi Kamisan, yakni mereka yang rutin mengadakan aksi damai di depan Istana Merdeka setiap hari Kamis (sore). Kedua, adalah komunitas Rumah Rode di Yogyakarta, yang beranggotakan sekumpulan mahasiswa dari berbagai kampus swasta, dengan motornya adalah mereka yang kuliah di UII (Universitas Islam Indonesia).
Tentu ada banyak komunitas dan kantong generasi milenial lain, dengan segala beragam ide-ide kreatifnya, dua komunitas di atas hanyalah sekadar contoh. Setidaknya dua komunitas tersebut bisa dijadikan jendela dalam memahami aspirasi dan konfigurasi generasi milenial. Dari observasi lapangan, salah satu temuan menarik adalah, mereka tidak terlalu peduli dengan segala kebisingan terkait Pilpres 2019.
Mereka bukannya tidak tertarik pada politik dan kekuasaan, namun mereka memiliki peta jalan sendiri untuk mengekspresikan aspirasi mereka. Keterlibatan dalam aksi Kamisan, merupakan salah satu bentuk ekspresi mereka membela korban pelanggaran HAM. Ketika elite di Istana tidak pernah merespons aksi Kamisan, padahal aksi itu hanya sepelemparan batu jaraknya dari Istana, bisa kita tebak bagaimana pandangan generasi milenial terhadap kekuasaan. Wajar bila mereka kemudian bersikap dingin terhadap kekuasaan. Mereka sudah bisa membaca, bahwa aksi Kamisan suatu saat akan menjadi salah satu media dalam kampanye capres, baik kubu petahana maupun penantang. Namun ikhtiar tersebut percuma saja, politisasi aksi Kamisan adalah kesia-siaan.
Sementara komunitas Rode sangat menyesalkan ormas kemahasiswaan dan pemuda yang sekadar menjadi kepanjangan tangan dari para senior atau parpol yang menjadi afiliasinya. Dalam pandangan Rode, suara generasi milenial adalah simbol kedaulatan. Idealnya generasi milenial bisa menggunakan suaranya secara kritis, tidak sekadar mengikuti kemana angin bertiup. Meskipun angin itu digerakkan para senior.
Sekadar tambahan informasi, Komunitas Rode didirikan oleh sejumlah aktivis generasi 1980-an dari kampus UII. Sejak lahir komunitas ini memang kritis terhadap kekuasaan, bahkan pada dua level kekuasaan. Pertama, kritis terhadap Orde Baru, sebagai alasan utama pendirian komunitas ini tahun 1988 dulu. Kedua, kritis terhadap ormas kemahasiswaan, khususnya HMI, mengingat para pendahulu Rode adalah “sempalan” HMI, ketika HMI dianggap semakin dekat dengan kekuasaan (rezim Orde Baru). Sikap kritis dua level ini masih dipertahankan sampai hari ini.

Penulis: Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer (khususnya TNI AD). Kini bekerja sebagai editor paruh waktu.