Ribuan umat Budha dari berbagai daerah di Indonesia memadati pelataran Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah pada Minggu 19 Mei 2019. Kehadiran mereka adalah untuk mengikuti prosesi detik-detik Waisak 2019 Masehi atau 2563 BE, yang jatuh pada pukul 14: 11 WIB hari ini.
Untuk diketahui, pemukulan Gong sebanyak 3 kali dan pemercikan air berkah serta membacakan Paritta Jayanto adalah tanda dari detik-detik Waisak. Tuntunan meditasi Waisak oleh Biksu Wongsin Labhiko Mahathera dan pada saat meditasi suasana hening. Selesainya meditasi ditandai dengan pemukulan gong satu kali.
Sebagaimana dilansir dari Antara, dalam renungan Waisak, Biksu Tadisa Paramita Mahasthavira menyampaikan banyak umat manusia hanya tertarik dan tertuju pada dimensi di luar dirinya dan juga memuja keluar tidak memahami hati, tidak bisa introspeksi, tidak bisa koreksi diri, dan tidak pahami hati.
Biksu Tadisa menuturkan, umumnya umat awam karena tidak paham hati dan tidak menampakkan kesejatian diri sehingga banyak manusia hatinya telantar, gelap, kotor, sakit dan merajalelanya panca skanda.
“Akibatnya hati kita menjadi bingung, berlaku buruk, kebiasaan buruk, karakter buruk, dan nasib pun jadi buruk. Imbasnya interaksi hubungan dengan keluarga dan masyarakat jadi buruk, karena hati tidak dikendalikan maka hati mudah tergoda, terjerat dan terbius oleh kondisi di luar,” katanya.
Menurutnya, bila hatinya gelap maka penalaran dan logikanya tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Hal itu memudahkannya untuk terpancing, diseret dan dibius oleh ajaran-ajaran radikal atau ilmu-ilmu jahat akibatnya mereka menjadi kacau, bingung, linglung lalu gelap mata melakukan aksi kejahatan dan mencelakakan banyak orang.
Sementara itu, Menteri Agama Lukman Hakim menyatakan bahwa perbedaan bukanlah hal yang mesti dijauhi. Akan tetapi menurut Lukman, perbedaan justru menjadi sumber kekuatan selagi dikemas dalam Bhineka Tunggal Ika.
“Kita menghargai kebangsaan kita dengan kebhinekaan kita. Perbedaan bukanlah kelemahan melainkan kekuatan,” tegas Lukman, Sabtu (18/5/2019).
Lebih lanjut Lukman menuturkan bahwa demokrasi terbukti mampu mengelola keberagaman di Indonesia. Keberagaman menurutnya juga sebagai intrepretasi dalam kehidupan umat beragama yang dalam konteks demokrasi merupakan upaya untuk membangun semangat kebersamaan.
“Oleh karena itu, perhatian pada kehidupan beragama dan berdemokrasi menjadi sangat penting,” imbuhnya.
Dalam momentum Waisak 2563 BE ini, Menteri Lukman mengajak semua umat beragama untuk melakukan evaluasi diri sekaligus menyucikan diri untuk melakukan perubahan. Menurut Lukman, evaluasi diri ada di semua agama. Pada agama Buddha, evaluasi datang pada momentum Waisak sedangkan pada agama Islam, ada pada Ramadan.
“Buddha mengajarkan kepada umatnya agar tiada berhenti berlatih dhamma untuk mencapai suatu kondisi batin yang tidak tergoyahkan oleh apapun permasalahan yang datang kepadanya,” tuturnya.
Prosesi Waisak 2563 BE kali ini dimulai dengan kirab atau berjalan kaki sepanjang 4 kilometer dari Candi Mendut melewati Candi Pawon. Dalam barisan Kirab paling depan adalah mobil hias yang membawa api dharma dari Mrapen Kabupaten Grobogan diikuti mobil pembawa air berkah dari Umbul Jumprit Temanggung, serta perahu relik Sang Buddha.
Kemudian diikuti pejalan kaki pembawa bendera Merah Putih dan bendera Walubi (Perwakilan Umat Buddha Indonesia). Nampak dalam kirab tersebut para remaja yang mengenakan berbagai pakaian adat di Tanah Air, pembawa hasil bumi, dan terakhir rombongan umat Buddha dari berbagai daerah di Indonesia.
Terkait Kirab itu sendiri, Bante Kamsai Sumano Mahathera mengatakan bahwa dengan berjalan kaki itu merupakan jalan semadi. Ia menuturkan meditasi ada yang berupa duduk diam (semadi duduk), ada yang berdiri, jalan, dan ada pula semadi tidur.
“Kirab ini menuju ke kesadaran dan diri bijak. Kita mau tanam pohon kebijaksanaan dengan berjalan, dengan konsentrasi supaya tahu capek, tahu enak, bagaimana rasanya itu,” katanya.