Rabu, 29 Maret 23

Republik KW Super

Istilah KW Super pertama saya dengar saat mengantar Istri saya berbelanja tas dan dompet di pasar Senen. Kala itu istri saya memang berjualan tas-tas dan dompet bermerek dengan harga terjangkau. Nah, di saat istri saya memilih-milih tas, saya bincang-bincang dengan pemilik kios. “Mau yang KW Super, KW 1 atau KW 2?” tanya si pemilik kios.

Dari sana saya tahu, kalau KW Super itu kualitasnya mendekati yang asli. Presisi design, ukuran dan berat nyaris sama. Bahan yang digunakan pun mirip dengan yang asli. Harganya pun tentu saja lebih mahal ketimbang KW 1 dan KW 2. Untuk KW 1 biasanya bahan yang digunakan berbeda, sedangkan KW 2 hanya memirip-miripkan namun presisinya jauh menyimpang. Logonya saja yang mirip.

Pemalsuan merk-merk terkenal untuk tas, dompet, fashion dan pernik-pernik asesoris yang digandrungi baik laki-laki maupun perempuan Indonesia memang tidak begitu bermasalah, kecuali memang pemalsuan itu dilaporkan oleh pemilik merk. Tapi paling tidak, pemalsuan itu tidak mengancam keselamatan seseorang, seperti misal pemalsuan obat-obatan serta tidak pula menimbulkan gejolak ekonomi karena memang segmen pasarnya berbeda.

Bahkan saya menilai pemalsuan merk-merk terkenal untuk fashion dan gaya hidup lebih bernuansa keadilan. Bagaimana tidak? Bangsa Indonesia sebenarnya sanggup membuat apa saja. Sepatu-sepatu bermerk seperti Adidas, Nike, Puma dan lainnya dibuatnya di Serang, Tangerang, Bekasi, Sidoarjo dan Batam. Namun nilai tambah yang didapat Indonesia hanya upah buruh, pajak dan sedikit keuntungan bagi pemilik pabrik yang terikat kontrak dengan pemilik merk.

Berapa pemilik merk membeli sepatu-sepatu buatan pabrik di Indonesia. Hanya 13 dolar AS per pasang. Sudah itu pemilik merk menjual kembali sepatu-sepatu yang diproduksi di Indonesia dengan harga 50 hingga 60 dolar AS per pasang. Bayangkan berapa persen keuntungan pemilik merk yang mungkin hanya bermodalkan design dan promosi. Atau jangan-jangan justru promosi gaya itu yang mahal karena harus membiayai sejumlah event olahraga dan gaya hidup?

Namun dengan skill yang dimiliki pengrajin Indonesia barang-barang yang terkait dengan busana dan asesorisnya dengan mudah dipalsukan. Mata rantai ekonomi yang dihidupinya, termasuk istri saya yang pernah membuka kios tas dan dompet di Palembang, cukup banyak. Termasuk tentu saja pegawai-pegawai kios grosir di Pasar Senen yang jumlahnya ribuan.

Di sisi konsumen yang keranjingan busana dan asesoris bermerk namun daya belinya pas-pasan bisa memiliki dompet Hermes dengan harga hanya Rp 150 ribu, bukan Rp 15 juta seperti yang saya lihat di Plaza Indonesia. Singkat cerita banyak yang dibahagiakan oleh hadirnya busana dan asesoris palsu. Yang tidak bahagia tentu saja ada juga, terutama ibu-ibu sosialita kelas atas yang gaya hidup ekslusifnya disaingi ibu-ibu arisan tingkat RT.

Namun ada pemalsuan yang sesungguhnya tidak bisa ditolerir karena jelas tidak membahagiakan siapapun selain pelakunya. Terutama pemalsuan barang-barang yang mengancam keselamatan hidup seseorang. Sebut saja pemalsuan obat-obatan atau vaksin yang belakangan ini dibongkar oleh Bareskrim Mabes Polri.

Apapun alasannya, pemalsuan yang membahayakan keselamatan hidup orang banyak sama sekali tidak bisa ditolerir.Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mestinya lebih intropeksi diri, bukan justru membela habis-habisan profesi kedokteran dengan membangun opini seolah-olah ada konspirasi besar untuk mengkriminalkan para dokter.

Apapun profesi, tanpa adanya kode etik dan pengawasan yang kuat dari lembaga yang menaunginya, sangat rentan penyimpangan. Oleh karenanya di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diatur oleh standar operasional prosedur (SOP) yang ketat sehingga meminimalisir terjadinya penyimpangan. Begitu pun dengan profesi wartawan, lawyer, apoteker, dan seterusnya.

Sebut saja dalam hal distribusi obat-obatan. Di sana memang diatur hanya obat-obatan tertentu yang hanya bisa diperoleh lewat resep dokter. Selebihnya bisa dijual bebas seperti kita menjual keripik di warung-warung. Resikonya tentu saja menyulitkan badan pengawasan mengawasi peredaran obat palsu. Pemilik merk pun enggan mengawasi sendiri barang-barangnya di pasar, karena bila terbongkar citra produknya pun ikut tercemar.

Alhatsil, pernah saya sakit gigi dan membeli obat sakit gigi yang sebelumnya dikenal ampuh. Tapi setelah saya beli di warung tetangga tidak ada efeknya sama sekali. Begitu pun saat saya diare atau bersin-bersin, saya beli obat dengan merk yang sebelumnya saya yakini manjur, ternyata juga tidak berpengaruh.

Sejak itu saya tidak pernah membeli obat ke warung. Saya membeli obatnya ke apotik-apotik yang saya yakini menjual obat-obatan asli. Toh harganya juga untuk obat-obatan kelas Rakyat tidak jauh berbeda. Dan benar juga dugaan saya, suatu ketika Mabes Polri diberitakan menggulung komplotan pengedar obat-obatan palsu di Jakarta Barat.

Setelah heboh vaksin palsu, belakangan ini publik dihebohkan oleh penemuan kartu BPJS palsu. Beredarnya BPJS palsu tentu saja sangat merepotkan sejumlah pihak, terutama Rumah Sakit, untuk mengklarifikasi keaslian kartu-kartu BPJS setiap pasien yang berobat. Terlebih kualitas kartu BPJS palsu presisinya tidak jauh berbeda dengan kartu BPJS yang asli, atau istilah pemilik grosir di Pasar Senen KW Super.

Tapi omong-omong, apa sih yang tidak dipalsukan di Republik ini. Dari ijasah, alamat seperti lagunya Ayu Ting Ting, semua dipalsukan. Dari beberapa yang palsu itu, seperti kartu BPJS, e-KTP, presisinya sudah tidak bisa dibedakan lagi dengan yang asli.
Kalau begini caranya, tidak salah bila orang-orang menyebut negara kita sebagai Republik KW Super. Meskipun tidak semua KW merugikan, malah ada juga yang membehagiakan seperti pemilik dompet Hermes Rp 150-an ribu atau pemilik sepatu adidas seharga Rp 200-an ribu.

- Advertisement -
Berita Terbaru
Berita Terkait