Pemerintah melalui Menteri Kordinator Bidang Kemaritiman (Menkomaritim), Luhut Binsar Panjaitan memutuskan untuk melanjutkan kembali pembangunan reklamasi Pulau G.
Keputusan tersebut dengan dalih bahwa proyek reklamasi tidak menimbulkan dampak lingkugan maupun hukum yang membahayakan.
Namun, keputusan tersebut ditentang oleh sejumlah kalangan mahasiswa maupun nelyan, menurut mereka, keputusan tersebut tidak sejalan dengan semangat pembangunan pemerintahan Jokowi-JK yang tertuang didalam Nawacita yaitu “Membangun Indonesia dari Pinggiran”.
“Hal ini nampaknya tidak sejalan dengan rencana pemerintah yang akan melanjutkan pembangunan reklamasi pulau G,” ujar Ketua BEM UI, Arya Adiansyah di Jakarta, Selsa (13/9).
Menurutnya, daerah Jakarta Utara yang awalnya akan dijadikan hutan lindung dan hutan wisata (Rencana Umum Tata Ruang 1985-2005) nulai tergerus alih fungsi lahan menjadi kawasan pemukiman, wisata dan industri lain.
“Akibatnya, pemukiman air laut Jakarta meningkat 0.8 cm pertahun dan merusak sistem tata air yang nenyebabkan krisis air bersih,” paparnya.
Selain itu, lanjut Arya, pembangunan daerah pesisir juga telah menggusur enam kampung nelayan. Menurtnya, rencana dilanjutkannya reklamasi justrubakan memperparah keadaan, apalagi dengan dibangunnya “Giant Sea Wall”.
“Dari segi ekonomi lingkungan, hal ini justru merusak ekologi pesisir dan memperberat persoalan limbah kawasan pantai Jakarta,” tambahnya.
Kemudian paradoks pembangunan Jakarta, sambung Arya, dengan pesatnya pembangunan di ibukota yang massif dan tidak diikuti daerah lain berpotensi meningkatkan laju urbanisasi.
“Untuk mengatasi hal tersebut, kami merekomendasikan mengganti proyek reklamasi dengan penanaman bakau, melakukan penataan ruang hijau dan melakukan manajemen air yang baik dari hulu,” tukasnya.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.