Ketua Tim Advokasi Lintas Generasi (TALI), Sabar Daniel Hutahaean, mengaku miris denganĀ sejumlah putusan hakim dan upaya-upaya hukum yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam perkara tindak pidana korupsi. Beberapa putusan itu bahkan dinilainya janggal.
Daniel mencontohkan kejanggalan itu, antara lain, dalam kasus suap dana Bantuan Sosial (Bansos) di Sumatera Utara, yang melibatkan pengacara senior OC Kaligis dan tiga Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan.
Dalam perkara ini OC Kaligis awalnya dihukum 5.5 Tahun penjara. Namun, setelah Jaksa KPK mengajukan Banding, OC Kaligis divonis lebih tinggi dengan 8 tahun, dan pada tingkat Kasasi hukumannya bertambah jadi 10 tahun.
“Sementara, dalam perkara yang sama pihak yang menerima suap yakni tiga Hakim PTUN ‘yang mulia’ Tripeni Irianto dan dua hakim PTUN Medan Amir Fauzi dan Dermawan Ginting hanya diganjar vonis rata-rata dibawah 5 tahun penjara,” kata Daniel dalam keterangan kepada indeksberita.com di Jakarta, Jumat (12/8/2016).
Ia menambahkan, pihaknya menilai kasus ini janggal baik pada sidang di tingkat pertama, banding, hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA). Kejanggalan itu, menurutnya, terlihat dalam vonis antara OC Kaligis sebagai pemberi suap dan Trio Hakim PTUN Medan Tripeni dan kawan-kawan selaku penerima suap.
Seharusnya, lanjut Daniel, pemberi dan penerima suap diberi hukuman yang sama beratnya sesuai dengan UU Tipikor yang berlaku.
“Kita ketahui, secara moral pengacara sudah dalam kondisi tertekan dalam menangani sebuah perkara dimana dia dibebankan untuk membela klien dengan segala macam upaya dan dalam konteks ini pengacara yang kurang iman, berfikiran sempit, dangkal dan pragmatis menghalalkan segala cara termasuk didalamnya menyuap,” ungkap Daniel.
“Hal ini berbeda dengan posisi hakim yang tidak memihak pada siapapun. Dimana hakim hanya memihak pada Tuhan dan Hukum. Terlebih seorang hakim mendapatkan atribut sebagai wakil Tuhan,” ujarnya.
Daniel menambahkan, dalam perkara ini pihaknya tidak melihat rasa keadilan dan persamaan kedudukan di muka hukum telah ditegakkan.
Dia bahkan menduga, kejanggalan putusan itu dilatari oleh semangat dan solidaritas korps sesama hakim yang berlebihan dan tidak patut.
“Kami menilai putusan Artidjo Alkotsar tidak memberikan rasa keadilan dan persamaan dimuka hukum. Tim Advokasi Lintas Generasi menduga ada upaya saling melindungi diantara korps merah-hitam dalam perkara suap ini. Kami berharap hal ini tidak boleh terjadi lagi demi menjaga marwah hukum yang berlaku di Indonesia,” pungkas Daniel.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.