Komunitas purnawirawan TNI sedang menjadi sorotan. Manuver sejumlah purnawirawan terkait isu Pilpres 2019, baik secara kelompok atau pribadi, sempat menimbulkan kekhawatiran publik, seolah komunitas purnawirawan juga “terbelah”, sesuai afialiasi siapa capres yang mereka dukung.
Mengingat selama ini, TNI (aktif) selalu memegang teguh prinsip “NKRI Harga Mati”, kemudian menjadi pertanyaan publik, apakah bila sudah pensiun, mereka konsisten memegang komitmen itu. Penulis termasuk orang yang yakin bahwa purnawirawan, masih memegang teguh komitmen “NKRI Harga Mati”.
Apa yang kita lihat baru-baru ini, kiranya hanya sekadar riak-riak kecil, yang secara alamiah akan segera berlalu, bersamaan dengan berakhirnya riuh-rendah terkait pilres. Masih banyak agenda besar bangsa yang membutuhkan kontribusi purnawirawan, baik secara gagasan, maupun tindakan konkret di lapangan.
Kohesi sosial terancam
Kita baru saja memperingati 21 tahun reformasi, dua dekade reformasi seharusnya menjadikan rakyat Indonesia sejahtera, bukan hanya pada aspek ekonomi, tapi juga aspek spiritual, yaitu rukun dan damai. Meminjam istilah Bung Karno dulu saat pidato kelahiran Pancasiala (1 Juni 1945), bahwa Kemerdekaan merupakan jembatan emas menuju kesejahteraan. Demikian juga Reformasi 1998, yang bisa dibaca sebagai jembatan emas “jilid dua”.
Namun kenyataan sekarang, sejatinya masih jauh dari harapan. Presiden Jokowi sudah bekerja keras meningkatkan kesejahteraan rakyat, salah satunya melalui proyek infrastruktur secara masif. Namun harus diakui masih ada ganjalan pada aspek spiritual. Ini bisa terjadi karena masih maraknya permainan politik identitas.
Menguatnya kelompok-kelompok radikal (intoleran) merupakan ancaman serius bagi kohesi sosial, kedamaian, bahkan NKRI. Ruang dan lembaga demokrasi kini dimanfaatkan kelompok tersebut untuk memperkuat diri, utamanya melalui platform media sosial. Kelompok masyarakat yang masih tertinggal dalam hal pendidikan dan wawasan, mudah sekali dihasut serta dimanipulasi.
Rayat kecil menjadi mudah dipengaruhi juga karena faktor kemiskinan. Soal kesenjangan sosial adalah riil di depan mata. Masih ada kenyataan, soal ketimpangan kesejahteraan. Saat ini ada 1 persen orang terkaya di Indonesia yang memiliki kekayaan setara dengan 45 persen total kekayaan nasional. Adanya fenomena demonstran bayaran pada aksi massa 21-22 Mei lalu, tak lepas dari adanya realitas kemiskinan tersebut.
Para purnawirawan dengan segala pengalaman dan kompetensi yang dimiliki bisa mengisi ruang-ruang partisipasi. Periode kedua pemerintahan Jokowi masih membutuhkan peran aktif purnawirawan, karena mereka termasuk kelompok yang sudah terbiasa mengelola isu pluralisme.
Menjaga NKRI
Menetralisir sekelompok kecil masyarakat yang ingin mengubah konsensus nasional, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, adalah ruang yang kiranya bisa diisi komunitas purnawirawan. Berdasar survei SMRC tahun 2017, terdapat 79,3 persen responden menyatakan bahwa NKRI adalah yang terbaik bagi Indonesia, namun masih ada 9,2 persen responden setuju apabila NKRI diganti menjadi negara khilafah atau negara Islam.
Survei tersebut mendapati sebagian kalangan milenial atau generasi kelahiran akhir 1980-an dan awal 1990-an menyetujui konsep khilafah sebagai bentuk negara. Survei dilakukan terhadap 4.200 responden yang terdiri dari 1.800 mahasiswa dan 2.400 pelajar SMA di seluruh Indonesia. Berdasar survei yang sama, mayoritas milenial memang memilih NKRI sebagai bentuk negara. Namun, masih ada 17,8 persen mahasiswa dan 18,4 persen pelajar yang setuju khilafah sebagai bentuk negara ideal.
Demikian juga survei terhadap 1.200 kalangan profesional. Sebanyak 15,5 persen dari kalangan ini menyepakati Islam sebagai ideologi Indonesia. Survei tersebut memperlihatkan bahwa ideologi Islam transnasional sangat dominan memengaruhi sikap dan pandangan sebagian kecil masyarakat terhadap Pancasila dan NKRI sebagai ideologi dan bentuk negara. Sekelompok masyarakat itu adalah Al-Ikhwanu al-Muslimun (IM) yang sejak 1980-an masuk ke Indonesia dan berkembang di kampus-kampus negeri serta berkeinginan mendirikan negara Islam. Selain IM, terdapat pula Hizbut Tahrir (HT) yang masuk Indonesia pada kurun waktu yang hampir sama, berkembang di kampus-kampus negeri, dan juga bercita-cita mendirikan khilafah.
Ketika kampanye pemilu sedang memanas beberapa bulan lalu, tak jarang kita melihat sebagian purnawirawan itu juga larut dalam narasi politik identitas, yang biasa diolah politisi sipil. Mungkinkah sebagian purnawirawan sudah terpapar ideologi radikal? Ini yang perlu kita cegah dan jaga bersama.
Alih-alih menetralisir, sebagian purnawirawan justru terbawa arus politik primordial seperti. Sehingga publik bertanya-tanya, bagaimana nasib semboyan “NKRI Harga Mati”, yang sejatinya tetap menjadi komitmen bersama, meski tidak lagi aktif di militer. Aspirasi yang dilontarkan masing-masing kubu pendukung capres demikian kerasnya, hingga kebersamaan mereka dahulu sebagai kolega satu korps di TNI seolah menjadi hangus.
Dalam suasana lebaran dan peringatan Hari Lahir Pancasila, kiranya bisa menjadi momentum konsolidasi korps purnawirawan. Kita telah memasuki fase yang lebih maju, yakni periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi. Lupakan konten pilpres yang sudah berlalu.
Gotong royong
Pada pidato hari lahir Pancasila (1 Juni 1945), Bung Karno mengintrodusir (kembali) istilah “gotong royong”, sebuah prinsip atau nilai yang lahir dari tradisi bangsa. Dalam pidato yang sama, Bung Karno menyatakan, bahwa gotong royong merupakan substansi pokok (intisari) Pancasila.
Berdasarkan ujaran Bapak Bangsa tersebut, kita menjadi paham betapa nilai gotong royong memiliki posisi tersendiri, utamanya dalam ikhtiar menuju kesejahteraan rakyat. Memang konteks pidato BK tersebut, saat bangsa kita masih dalam belenggu kolonialisme, namun gotong royong selalu aktual di setiap zaman. Nilai gotong royong semakin relevan ketika kesenjangan sosial masih banyak terjadi pada masyarakat kita.
Semangat gotong royong bisa menjadi landasan untuk rekonsiliasi bagi komunitas purnawirawan yang selama ini “terbelah” sesuai afiliasi dukungan capres.
Sesepuh TNI Letjen Purn Sayidiman Suryohadiprojo (terakhir Gubernur Lemhanas), dalam bukunya yang baru terbit: Masyarakat Pancasila (2019), antara lain berpesan, Pancasila harus terus dirawat sebagai dasar negara dan cara hidup rakyat Indonesia. “Kini juga muncul cara hidup bangsa yang tak sesuai dengan Pancasila. Membangun masyarakat Pancasila adalah membangun masyarakat Indonesia, yang kehidupannya diliputi gotong royong,” demikian Sayidiman.
Pesan dari Pak Sayidiman soal gotong royong, kemudian dalam suasana merayakan lebaran, ketika setiap insan saling maaf-memaafkan, merupakan momentum bagi rekonsiliasi dan konsolidasi komunitas purnawirawan. Benar, dari segi usia dan stamina bisa jadi memang surut, tapi tidak pernah surut dalam menjaga Pancasila dan komitmen NKRI Harga Mati.
Penulis : Taufan Hunneman, Sekretaris Jenderal Forum Nasional Bhinneka Tunggal Ika, dan mantan aktivis 1998
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.