Udara sejuk kawasan Puncak, Cisarua, Kabupaten Bogor, tak hanya menarik minat wisatawan untuk datang. Kawasan ini sudah sejak lama juga menjadi ‘kampung halaman’ imigran gelap, teruatama yang berasal dari sejumlah negara di Timur Tengah.
Pendatang asal Timur Tengah (Timteng) ini banyak berada di Kampung Warung Kaleng, Desa Tugu Utara maupun Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua. Data Imigrasi Bogor, tahun 2015 lalu, jumlah imigran gelap di Puncak sekitar 500 orang. Kini, pada tahun 2016, disinyalir sudah mencapai 1000 jiwa.
Imigran di kawasan Puncak cukup meresahkan. Meski keberadaan mereka dilindungi PBB melalui UNHCR, namun perilaku negatif mereka kerap memicu konflik dengan warga setempat. Kecemburuan sosial memang kerap kali terjadi. Pemicunya, selain ditengarai kerap membuat onar dan membuka usaha tak berizin serta doyan kawin kontrak, sebagian wanita pendatang gelap pencari suaka di Puncak juga terjun ke dunia Pekerja Seks Komersial (PSK).
“Sudah seringkali para pendatang itu terlibat cek-cok dengan warga, malah sempat terjadi perkelahian. Penyebabnya, banyak. Tapi, yang pasti, ketidaksamaan budaya membuat warga kerap merasa gerap. Seperti kebiasaan mereka bernyanyi saat melam sehingga mengganggu warga,” ujar Hamid (35), warga Citeko kepada indeksberita.com, Rabu (3/8/2016).
Penelusuran media online ini, para imigran itu banyak yang menyewa rumah warga. Belakangan, kehadiran imigran asal Timur Tengah di kawasan Puncak Cisarua, Kabupaten Bogor ini seringkali dianggap sebagai pembawa persoalan terhadap lingkungan warga karena jumlah mereka nyaris sebanding dengan penduduk asli. Hal itu juga terlihat di Warung Kaleng yang kerap disebut warga ‘Kota Arab’.
“Seringkali terjadi keributan. Tidak hanya dengan pribumi, tapi juga dengan sesama pendatang. Beberapa waktu lalu, dua kubu imigran asal Afganistan dan Pakistan bentrok di hotel kawasan Cisarua, warga pun marah. Penyebabnya, sepele, soal perempuan,” ujar Rony Kusmawan (32), pedagang kuliner di Warung Kelang.
Budaya dan gaya hidup memang membuat imigran asal Timur Tengah ini sulit berbaur dengan pribumi. Kesan glamour, juga acap membuat ada jarak dengan warga. Masih menurut Rony, sejumlah wanita imigran yang menjajakan diri sebagai PSK dikenalinya mematok tarip tinggi, sementara beberapa pria menjual minuman keras ke setiap hotel
“Yang laki-laki menjual minuman keras, yang peremuan jadi PSK. Gaya hidupnya mewah. Hal itu yang membuat tidak bisa nyambung dengan warga setempat,” tuturnya.
Tidak hanya di Cisarua, ratusan imigran gelap di Puncak juga banyak tersebar di kawasan Megamendung, Cipayung, dan Ciawi. Keberadaan mereka di Puncak ternyata bukan tanpa alasan. Para imigran gelap ini berada di daerah tersebut untuk mencari suaka. Tapi bukan di Indonesia, melainkan di negara tetangga, Australia. Para imigran gelap itu sebagian besar dari Afganistan. Kebanyakan dari mereka mengaku tidak ingin kembali ke negara asalnya, karena tak mau diwajibkan berperang.
Antisipasi merebaknya imigran gelap, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia melalui Kantor Imigrasi di wilayah Bogor sudah membentuk Tim Pengawasan Orang Asing (Timpora). Tujuannya, untuk lebih mengawasi keberadaan warga negara asing yang masuk ke wilayah Indonesia.
“Pembentukan Timpora bertujuan untuk mendapatkan data permasalahan yang aktual dan perkembangan terhadap keberadaan orang asing yang ada di wilayah. Kebijakan regulasi bebas visa bagi 169 negara yang diterapkan Pemerintah Pusat harus diimbangi dengan kewaspadaan petugas mulai dari pusat hingga wilayah terendah di kecamatan dan kelurahan,” kata Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Bogor Herman Lukman. (eko)