Begitulah kalau tokoh berkharisma, selalu menarik perhatian publik. Salah satu tokoh dimaksud adalah Prabowo Subianto, yang kini poster bergambar wajahnya mulai diperdagangkan para pengasong, khususnya di Jakarta dan Bandung. Bila poster Presiden atau Wapres diedarkan pengasong, adalah hal yang jamak, namun ini poster seorang menteri. Dan yang penulis lihat di lapangan, untuk level menteri hanya poster Prabowo yang diedarkan pengasong, menteri lain tidak ada, atau mungkin belum.
Mungkin karena latar belakang keluarga dan sejarah hidupnya yang berliku, segala kegiatan tentang Prabowo menarik untuk diamati. Seperti saat rapat pertama Prabowo (selaku Menhan) pada Senin pagi (11/11) di Komisi I DPR RI, yang memperoleh liputan luas dari media. Rasanya tidak berlebihan bila saya katakan, bahwa Prabowo kini telah muncul menjadi media darling yang baru.
Bagi orang yang sedikit paham soal atmosfer di Senayan, kabarnya Komisi I dan Komisi III selalu menjadi ajang perebutan para anggota DPR yang terhormat. Karena pada dua komisi itulah, menjadi tempat untuk membahas isu-isu yang paling politis dan krusial negeri ini, dan karenanya selalu menjadi komisi yang selalu diliput media. Anggota DPR RI ingin masuk Komisi I, sebagai jalan pintas untuk menjadi terkenal.
Kini Komisi I memperoleh tandem yang seimbang, yakni dalam diri Prabowo. Sejak lama Komisi I (juga Komisi III), selalu memunculkan tokoh-tokoh yang kemudian menjadi viral. Komisi III misalnya, di masa lalu ada yang bernama Ruhut Sitompul (Partai Golkar merangkap Partai Demokrat), kemudian kini salah satu “bintangnya” adalah Arteria Dahlan (Fraksi PDIP), yang selalu minta dihormati. Kini bintang Komisi I ada pada diri Meutya Hafid (Ketua Komisi) dan Nurul Arifin, yang keduanya berasal dari Fraksi Partai Golkar. Kini mereka semua telah menjadi public figure.
Dalam sidang Senin lalu itu, terlihat Effendi sekadar “numpang keren” pada Prabowo. Kita bisa sama-sama melihat, Effendi yang sudah lima periode (mungkin lebih) menjadi anggota DPR, terlihat biasa-biasa saja ketika berhadapan dengan Prabowo, demikian pula dengan Adian Napitulu (dari PDIP juga). Dalam interaksi sosial memang ada kiat yang mengatakan, kalau kita ingin terlihat kuat dan menjadi terkenal, kita harus berani melawan orang kuat dan terkenal, meskipun perlawanan itu sekadar basa-basi. Begitulah trik yang sedang dimainkan Effendi dan Adian, dan entah besok siapa lagi.
Kita melihat debat sengit antara Prabowo dengan Effedi Simbolon (Fraksi PDIP), yang berakhir dengan kesimpulan, bahwa Prabowo tak mau ditekan. Baru kali ini kita melihat, ada seorang pejabat negara, ketika berhadapan dengan anggota DPR, secara lantang berani mengatakan: saya tidak mau ditekan. Watak asli Prabowo mulai muncul.
Melalui Prabowo pula, kita bisa melihat betapa kekuasaan dan rivalitas adalah sesuatu yang fana. Ini sehubungan dengan isu yang sedang santer di langit politik Jakarta, bahwa pada Pilpres 2024 nanti Prabowo akan maju lagi sebagai Capres, dengan Cawapresnya adalah Puan Maharani.
Semua orang bisa paham, betapa pragmatisnya Megawati. Prabowo, tokoh yang sejak lima tahun terakhir seolah dimusuhinya habis-habis, bila perlu mengerahkan segenap pendukungnya (buzzer), kini menjadi sandaran anaknya untuk meraih kekuasaan.
Jalan Prabowo menuju kekuasaan tampaknya semakin lempang. Itu sudah dimulai sejak hari-hari pertama menjadi Menhan, ketika Prabowo menggunakan mobil pribadinya sebagai kendaraan dinas. Ini adalah gaya khas Prabowo sejak aktif di pasukan dulu, yakni kecenderungan berperilaku sebagai filantropis. Berbeda dengan pejabat pada umumnya, yang menjadi pejabat untuk menggapai kesejahteraan, sementara Prabowo memang sudah sejahtera sejak masa kanak-kanak.
Mungkinkah Prabowo sedang bermetamorfosis dari seorang politisi menjadi negarawan, sebagaimana pernah ditunjukkan ayahnya (Sumitro Djojohadikusumo) dan kakeknya (RM Margono Djojohadikusumo) di masa lalu. Tentu pola pikir seorang negarawan berbeda dengan politisi, sebab negarawan akan berpikir menurut pertimbangan soliditas bangsa dan kohesi sosial. Seorang negarawan senantiasa mengedepankan jalan kearifan dalam mengambil keputusan, walaupun dirinya memiliki kekuasaan mutlak. Hal terakhir ini sudah ditunjukkan Prabowo secara gamblang, ketika dia tidak mau ditekan anggota DPR RI, dan dia tidak mau ambil gaji selaku Menhan.
Kharisma Prabowo mulai memberi efek ganda, selain menjadikan kabinet sekarang (Kabinet Indonesia Maju) terlihat bersemangat, wajah Prabowo bisa memberi rejeki bagi masyarakat bawah, dalam hal ini para pengasong. Tidak semua tokoh memiliki kharisma, oleh karena itu Prabowo harus lebih hati-hati dalam bertindak, jangan sampai ada pihak lain yang sekadar menumpang pada nama besarnya.
