Rabu, 22 Maret 23

Posisi Mentor dalam Gerakan Mahasiswa

Berpulangnya Arief Budiman baru-baru ini, mengingatkan kita tentang arti penting mentor dalam aktivisme mahasiswa. Benar, bagi aktivis gerakan mahasiswa generasi 1980-an dan 1990-an, Arief Budiman adalah mentor yang selalu dikenang. Dalam pandangan penulis sendiri, sebagai bagian dari aktivis mahasiswa 1980-an, Arief Budiman (AB) sebenarnya hanyalah salah satu mentor, masih ada mentor lain yang tak kurang pula kontribusinya.

Salah satu fungsi mentor adalah memberi arahan dan wawasan pada aktivis mahasiswa yang baru muncul, mengingat pada umumnya para mentor juga seorang mantan aktivis dari generasi sebelumnya. Perlu diluruskan makna arahan di atas, bahwa itu bukanlah perintah, karena hubungan antara mentor dengan aktivis mahasiswa, ibarat hubungan antara kakak dan adik, bukan atasan dan bawahan.

Kehadiran mentor tetap diperlukan, mengingat berdasarkan pengalaman selama ini, aktivis mahasiswa yang tanpa pendamping, biasanya jadi misleading, misalnya menjadi terlalu radikal, hingga cenderung anarki. Posisi mentor ini mengingatkan kita pada prinsip pendidikan dari Ki Hajar Dewantra “tut wuri handayani”. Jadi mentor ini memang sekadar pendamping, bukan pemimpin. Namun memang ada mentor yang figurnya demikian kuat, sehingga seolah-olah dia adalah seorang pemimpin, seperti Rachman Tolleng (meninggal 2019). Tolleng sendiri tentu risih bila disebut pemimpin, meskipun panggilan akrabnya adalah “Boss”.

Biasanya mentor ada pada tiap kota, khususnya pada kota-kota yang terdapat kampus terkenal, dan memiliki riwayat pergerakan mahasiswa, seperti Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Di Jakarta ada nama (Mas) Kartjono (meninggal 1998), (Mas) Mulyana W Kusumah (meninggal 2013), dan (Bang) Hariman Siregar. Saya sendiri lebih banyak berhubungan dengan Mas Mul (Mulyana W Kusumah), yang pada tahun 1980-an itu menjadi salah satu pengurus YLBHI, yang kantornya di Jl Diponegoro (Jakarta Pusat), menyatu dengan kantor LBH Jakarta. Kantor tersebut menjadi tempat pertemuan aktivis generasi 1980-an, khususnya mahasiswa Jakarta dan Bandung.

Soal siapa Hariman Siregar, tentu tidak perlu dijelaskan lagi siapa dia. Dengan nama besarnya, kantor atau klinik Hariman di daerah Cikini menjadi tempat persinggahan aktivis mahasiswa, dari segala penjuru dan lintas generasi. Dalam ingatan saya, terkait generasi 1980-an, kelompok aktivis yang paling intensif berhubungan dengan Hariman adalah mereka yang kemudian dikenal sebagai Komunitas Pijar, dengan motor utamanya adalah Amir Husin Daulay (meninggal 2013) dan Nuku Sulaiman (meninggal 2003).

Kemudian di Bandung ada Bang Peter Nelwan, mantan aktivis Malari 1974, yang kemudian mengajar di Fakultas Psikologi Unpad. Sehingga wajar, bila aktivis 1980-an di Bandung, banyak juga yang berasal dari Fakultas Psikologi Unpad, salah satu yang bisa disebut adalah Bambang Harri (meninggal 2008). Bambang Harri berpembawaan pendiam dan rendah hari, padahal kontribusinya demikian besar. Karena karakter seperti itulah, dia sangat pas ketika diposisikan sebagai mentor bagi aktivis mahasiswa generasi berikutnya.

Saya kira mentor yang paling eksentrik adalah Didi Sutomo, karena pilihan tempatnya bermukim yang jauh dari pusat gerakan mahasiswa, yakni di Delanggu, Klaten. Karena lokasinya itulah, para mahasiswa generasi 1980-an, menyebutnya sebagai Mas Dedi Delanggu. Mas Dedi saat itu termasuk sosok mentor kharismatik, sehingga banyak aktivis dengan spektrum ideologis berbeda, selalu menyempatkan diri singgah ke Delanggu. Karena tempatnya yang jauh di pelosok, aktivis yang berasal dari jauh, selalu diajaknya makan, dan terkadang diberi sekadar uang transpor untuk kembali ke kota asal.

Nama-nama yang disebut di atas umumnya “veteran” dari Malari 1974, sementara ada juga mentor yang sebelumnya adalah aktivis Gerakan Mahasiswa 1978. Beberapa nama yang bisa disebut adalah Heri Akhmadi (mantan Ketua Dewan Mahasiswa ITB), S Indro Tjahjono (mantan Ketua DM ITB juga), dan Darwin Jamal (eks F-MIPA Unpad). Dari segi jarak waktu, dari Generasi 1978 ke generasi 1980-an, memang terbilang dekat, hanya sekitar empat tahun. Kedekatan soal waktu ini berpengaruh pada kedekatan emosional, hubungan antara mentor dan aktivis 1980-an, demikian akrab, seolah tidak ada jarak, karena usianya hampir sebaya. Beda misalnya bila kita berhadapan dengan Mas Dedi Delanggu atau AB, kita masih ada rasa tidak enak hati bila terlalu banyak bergurau.

Kebetulan saya cukup akrab berkawan dengan Indro dan Darwin, ya begitulah, bila bertemu lebih banyak bergurau, kita serius bila ada diskusi formal. Saya memberi catatan khusus pada Darwin, yang menjadi mentor bagi sejumlah aktivis di Bogor. Darwin sendiri rupanya berlatar belakang keluarga mapan, karena rumah orang tuanya berada tak jauh dari Istana Bogor (Jl Kapten Muslihat).

Darwin perlu mendampingi aktivis asal Bogor, karena pada saat itu, sedang terjadi keterputusan pada tradisi gerakan mahasiswa, khususnya di kampus IPB. Mahasiswa IPB agak kesulitan bila ingin menjadi aktivis, karena sistem kurikulumnya yang demikian padat dan ketat. Selain itu ada trauma pada Peristiwa 1965, ketika Rektor IPB saat itu (Pak Sajogyo), beserta sejumlah tokoh gerakan mahasiswanya, dicap kiri oleh rezim Orde Baru. Sehingga aktivis 1980-an di Bogor, lebih banyak diisi mahasiswa Universitas Pakuan.

Posisi AB di Salatiga juga unik. Sebelum kedatangan AB pada awal 1980-an, kampus UKSW boleh dikata adem ayem, seperti kampus negeri di Jateng lainnya, seperti Undip (Semarang), UNS (Solo), dan Unsoed (Purwokerto). AB bisa masuk dalam Angkatan 66, khususnya dalam pemikiran kesenian, artinya AB memang sudah terkenal, sebelum bergabung ke UKSW.

Keberadaan AB di Salatiga, menjadikan aktivisme di kampus UKSW menjadi hidup dan semarak. Selain itu ruang kerja AB di UKSW yang selalu terbuka bagi aktivis mahasiswa dari kota lain, menjadikan ruang kerja AB menjadi persinggahan banyak aktivis, baik sekadar ngobrol, atau sesekali diskusi yang agak teoritis. Singkatnya, keberadaan AB di Salatiga, bisa menciptakan sinergi antara aktivis Salatiga dengan aktivis kota lain.

Orde Baru adalah rezim yang represif, khususnya terhadap gerakan mahasiswa. Artinya, keberadaan para mentor tersebut tentu saja masuk dalam pantauan aparat intelijen, dan umumnya mentor tersebut sudah paham kalau dirinya diawasi. Salah satu kuncinya harus waspada, dalam arti menjaga ucapan, agar tidak dipelintir oleh instrumen negara.

Mentor seperti Mas Mulyana atau AB, sudah sampai bosan “diteror” aparat intelijen, seolah menjadi santapan sehari-hari. Keduanya pernah dituduh berusaya menyebarkan marxisme ke generasi muda, sungguh tuduhan yang sangat tidak berdasar. Tuduhan tersebut sekadar jalan pintas penguasa untuk membungkam sikap kritis aktivis mahasiswa, termasuk para mentornya.

Kini waktu telah menjawabnya, para mentor itu hanyalah manusia biasa, seperti dengan orang kebanyakan di negeri ini. Mereka seolah dianggap berbeda, hanya karena paranoia rezim Orde Baru. Sebagian mentor tersebut kini telah tiada, namun jasa dan nama baiknya akan selalu dikenang. Mereka adalah kakak generasi yang selalu terbuka atas berbagai pertanyaan dan diskusi dari adik-adiknya.

 

Penulis Aris Santoso, aktivis 80 an, saat ini dikenal sebagai pengamat TNI dan editor buku paruh waktu

- Advertisement -
Berita Terbaru
Berita Terkait