Arab Spring nyaris hanya Tunisia yang berhasil. Negara-negara di kawasan Timur Tengah lainnya gagal. Timur Tengah tampaknya perlu melihat Indonesia sebagai model menuju transformasi demokratik. Melalui eksperimen demokrasi dan pembangunan ekonomi, Indonesia berhasil melakukan transisi politik keluar dari cengkeraman otoritarianisme dan melembagakan demokrasi.
Begitulah sebagian kesimpulan Seminar Nasional “Peranan Indonesia dalam Upaya Perdamaian di Timur Tengah”, (Kamis, 14/4), di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kegiatan ini kerjasama antara UIN Suka dengan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI). Sejumlah bintang, maksudnya pakar Timur Tengah, tampil dalam empat sesi, sejak jam 09.00 sampai jam 17.00.
Mereka yang menjadi pembicara antara lain Dr. Siti Mutiah Setiawati, MA. (Pascasarjana UGM), Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin (UIN Suka, Komisi HAM OKI), Prof. Noorhaidi Hasan, MA., M.Phil., Ph.D.(UIN Suka), Trias Kuncahyono (wartawan Kompas), St. Sunardi (dosen Universitas Sanata Dharma), Zuhairi Misrawi (alumnus Universitas Al Azhar Kairo), Duta Besar Nurul Aulis (Direktur Timur Tengah, Direktorat Jenderal Asia Pasicik dan Afrika Kemlu RI). Salah satu dari empat moderator adalah Dr. Musdah Mulia. Tampak beberapa anggota AIPI antara lai Sangkot Marzuki, Toety Heraty N, Thamrin Amal Tamagola, Taufik Abdullah.
Trias Kuncahyono mengatakan Arab Spiring paling kurang menghasilkan tiga hal. Pertama, mayoritas negara-negara di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, tidak berubah atau hanya sedikit berubah. Mulai dari Saudi Arabia hingga Yordania, elite penguasa menyesuaikan strategi mereka agar bisa tetap bertahan, berkuasa dan menghadapi para penentang. Kategori kedua hasil Arab Sping menunjukkan sebuah kontes yang relatif berimbang antar massa rakyat menuntut perubahan dan rezim yang berkuasa. Tetapi, hal itu menyebabkan pecahnya perang saudara. Libya dan Suriah dapat dimasukkan ke dalam kategori, demikian pula Yaman. Kategori ketiga, ada negara-negara yang dapat dikatakan mengalami transisi yang relatif mulus setelah pergantian rezim. Misalnya, Tunisia dan Mesir (meskipun transisi di Mesir tidak begitu aman bila dibandingkan dengan Tunisia, Mesir lebih banyak mengalami kekerasan dibanding Tunisia)
Menurut Zuhairi Misrawi, ada tiga penyebab konflik di Timur Tengah, yaitu akidah, kapital, dan kabilah. Akidah artinya keyakinan atau agama. Kapital artinya di sana ada perdagangan minyak dan senjata, sementara kabilah adalah kepala –kepala suku yang masih berkuasa di beberapa negara kawasan Timur Tengah. “Yang terjadi di Timur Tengah adalah konflik antar kabilah memperebutkan kapital dan akidah dipakai untuk pembenaran konflik itu,” kata Zuhairi.
Zuhairi menjelaskan bahwa sebenarnya orang-orang Arab tidak alergi dengan demokrasi, Mereka dapat menerima demokrasi dengan baik, bahkan menjadikan demokrasi sebagai sistem yang memungkinkan transformasi sosial, politik, dan ekonomi. “Namun tantangan yang harus dihadapi, yaitu tampilnya kaum Islamis dalam panggung demokrasi. Bangkitnya kaum Islamis akan memberikan dampak yang besar secara global,” tambah Zuhairi.
Sementara itu Dubes Nurul Aulia menjelaskan Catur Cita Politik Luar Negeri RI untuk Timur Tengah. Pertama Peaceful, Kedua Prosperoes, Ketiga Democratic, dan Keempat Bebas senjata nuklir dan senjata pemusnah masal.
Untuk mewujudkan Catur Cita di Timur Tengah ada dua hal. Posisi Indonesia atas konflik-konflik yaitu mendorong penyelesaian konflik, menghindari tindakan militer untuk menyelesaikan konflik; termasuk dalam voting di PBB dan badan dunia lainnya; Melindungi WNI. Kedua, Dukungan pada Palestina: Sponsor/co sponsor setiap resolusi yang membela Palestina di forum multirateral (PBB, OKI, GNB); Tuan rumah CEIRPP 2015; Tuan rumah KTT Luar Biasa ke-5 OKI mengenai Palestina dan Al-Quds Al-Sharif 2016; Dubes Makarim Wibisono sebagai special repporteur. RI juga aktif meredakan ketegangan hubungan tak harmonis antara Arab Saudi dengan Iran.