Jumat, 24 Maret 23

Politik Ember Bocor

“Bocor, bocor,” teriak seorang perempuan tengah baya dari tempat tidurnya. Lem perekat pun bertindak. Dalam sekejap tetesan air yang merembes ke tembok dapat diatasi. Si Nyonya rumah bertampang bule itu kembali tidur lelap.

Namanya saja iklan. Kalau tidak manjur siapa mau beli? Setidaknya dengan tayangan berdurasi 30 detik pemasang iklan berharap merk yang ditawarkan dihafal penonton televisi. “Dont wory be happy,” sapa sebuah iklan jasa asuransi.

Kalau sebelumnya iklan hanya menyangkut produk berupa barang atau jasa yang dibutuhkan masyarakat, kini, sejak diberlakukannya Pilkada langsung pada 2004 lalu, kalau bisa menangis, pohon-pohon di sepanjang jalan nasional, provinsi, kabupaten, maupun jalan lingkungan yang menghubungkan antar kelurahan, pasti air matanya sudah tumpah menggenangi trotoar.

Kalau bisa berdoa mungkin pohon-pohon itu sudah berdoa, “Ya Tuhan, jauhkan aku dari hajatan Pilkada, Pileg, Pilpres dan apapun namanya yang membuat orang-orang narsis dan bohong.”

Terlebih sejak Pemilu 2009 Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan Caleg PDI Perjuangan asal Surabaya agar memberlakukan sistem suara terbanyak. Jumlah calon-calon pembohong yang narsis melonjak di se-antero negeri.

Saya kadang tertawa ngakak melihat poster-poster yang bertebaran itu. Ada yang berkopiah dan baju koko supaya terlihat santun. Ada pula yang nyleneh mengenakan baju Superman. Padahal itu sudah disindir oleh grup musik yang menamakan dirinya Superman is Dead.

Belum jadi saja sudah menyiksa pohon, bagaimana kalau jadi? “Kalau sudah duduk lupa berdiri,” begitu sindir sebuah iklan produk furniture yang sekarang tidak lagi tayang di televisi.

Ada pula tebak-tebakan yang muncul di kalangan masyarakat umum, apa bedanya Pilkabe dan Pilkada? Katanya Pilkabe itu kalau lupa jadi, sedangkan Pilkada kalau jadi lupa.”

Itulah kraetivitas humor masyarakat untuk merespon isu Pilkada yang kadang saat kampanye ndakik-ndakik katakan tidak pada korupsi, setelah itu bintang iklannya satu per satu mengenakan seragam oranye bertuliskan KPK.

“Katakan tidak pada(hal) Korupsi,” begitu meme plesetan yang beredar di media sosial yang secara efektif menghukum partai yang bersangkutan, dari 154 anggota DPR-RI pada Pemilu 2009 menyisakan 81 kursi pada Pemilu 2014.

Demokrasi prosedural yang dikeluhkan banyak kalangan terlalu liberal, atau bahasa orde barunya kebablasan, ternyata lebih memungkinkan bagi masyarakat menghukum individu atau parpol yang kebangetan bohongnya.

Dalam sejarah 4 kali Pemilu bebas paska reformasi, semua Parpol pemenang pernah mendapatkan hukuman dari pemilihnya. Partai Golkar yang berjaya sepanjang Pemilu Orde Baru rontok di Pemilu 1999. Begitu pun dengan PDI-P rontok di Pemilu 2004 dan Partai Demokrat rontok di Pemilu 2014.

Begitu pula dengan partai-partai menengah yang paling tidak pernah mengikuti lebih dari 2 kali Pemilu seperti PKB, PAN, PKS dan PPP. Setiap Pemilu jumlah kursinya kadang naik dan kadang turun di angka 35-70 kursi.

Toh demikian, meskipun Undang-undang sudah membolehkan calon perseorangan mengikuti hajatan Pilkada, namun Partai Politik tetap menjadi magnitude bagi calon-calon kepala daerah.

Merujuk hasil survey Pilkada langsung 2015, dari 257 hajatan Pilkada di 32 Provinsi, calon independen hanya memangkan 14,4 persen wilayah, selebihnya 85,6 persen dimenangkan oleh Partai Politik. Bahkan tidak satupun calon persorangan yang memenangkan Pilkada Provinsi.

Kendati memiliki peran besar dalam penyelenggaran bernegara, sayangnya partai politik baru menjalankan fungsinya sebagai tunggangan bagi siapapun calon kepala daerah untuk menggapai kekuasaan. Fungsi lainnya, sebut saja agregrasi kepentingan pemilihnya, nyaris tidak dijalankan.

Partai Politik seperti autis terhadap kepentingan, baik pemilih maupun calon-calon pemilih yang diharapkan memilih pada Pemilu mendatang. Kalau pun ada iklan yang muncul adalah bahasa-bahasa normatif yang nyaris seragam antara partai politik yang satu dengan yang lainnya.

Kalau pun ada sedikit pembeda mungkin pada branding yang coba dilekatkan, seperti partai wong cilik, partai dakwah, dan yang tidaka jelas lagi ada yang menyebut nasionalisme-relijius. Tapi dari semuanya nyaris tidak ada yang benar-benar mengartikulasikan kepentingan pemilihnya.

Dulu, ketika era Orde Baru, kami sering berdemonstrasi ke gedung DPR. Biasanya yang menerima kalau dari PDI Om Sabam Sirait, kalau dari PPP itu ada Aisyah Amini, atau Fraksi ABRI dengan bu Rukmini vokalisnya. Karena hanya dua partai dan Fraksi ABRI itu saja yang mau menemui demonstran.

DPR era Orde Baru fungsi kemasyarakatannya memang hanya sebatas menampung aspirasi. Seperti ember. Dan kami memaklumi itu. “King Kong kok Dilawan,” begitu judul pleidoi terpidana politik (Alm) Nuku Soleman.

Tapi bagaimana dengan DPR sekarang yang katanya dipilih rakyat? Dari sejumlah aduan masyarakat, sebut saja soal Reklamasi Teluk Benoa, reklamasi teluk Jakarta, PLTU Batang, pabrik semen di kawasan Gunung Kendeng, dan lainnya, memang aspirasi masyarakat seolah-olah ditampung, namun dalam waktu yang bersamaan langsung ditumpahkan.

Artinya, pejabat tinggi negara era reformasi sekarang ini, kebanyakan (tentu tidak semua) menjalankan praktek politik ember-bocor. Kecuali memang, mungkin, ada dana aspirasi yang mengalir ke kantong pribadinya.

marlin1

Marlin Dinamikanto
Penyair Fesbuker

 

- Advertisement -
Berita Terbaru
Berita Terkait