Melihat gelagat sejumlah pengurus DPP PDI Perjuangan yang ingin menggandengkan kembali pasangan Basuki Tjahaja Purnama – Djarot Syaiful Hidayat, saya jadi ingat sejenis pantun dalam bahasa Jawa yang bunyinya, “Theklek cemplung kalen timbang golek luwung balen.”
Pantun Jawa atau yang lebih dikenal dengan istilah Parikan itu kalau diterjemahkan secara bebas ke bahasa Indonesia berarti “bakiak hanyut ke kali ketimbang nyari lebih baik rujuk kembali.” Terlebih elektabilitas Basuki Tjahaja Purnama masih sebenderang namanya.
Memang, semua masih wacana. Termasuk keinginan mengusung kembali pasangan Basuki – Djarot yang keduanya terlihat akur selama 3 tahun memimpin Jakarta. Namun ditampilkannya pasangan Basuki – Djarot pada opsi pertama dari ketiga opsi yang sedang digodok DPP PDI Perjuangan membuat sejumlah Parpol pasang kuda-kuda.
Sebut saja Partai Gerindra yang semula bersama PKS, PPP, Demokrat, PKB dan PAN merapat ke PDI Perjuangan mulai merintis wacana baru. Sandiaga Uno kabarnya mulai dipasangkan dengan Sekda DKI Jakarta Saifullah yang juga sudah mendaftar ke sejumlah Parpol sebagai calon Gubernur.
Begitu PDI Perjuangan memutuskan kembali menduetkan Basuki-Djarot, sangat mungkin terjadi pasangan Sandiaga-Saefullah, singkat saja Sasa, akan didaftarkan minimal oleh Gerindra dan PKS ke KPUD Jakarta. Parpol-parpol lainnya akan ikut sebagai gerbongnya PDI Perjuangan atau gerbongnya Gerindra-PAN.
Kalau skenario ini yang terjadi, maka Sasa sebagai penantang akan berhadapan dengan Miwon, alias Sami Mawon. Bagaimana nggak sami mawon (sama saja) karena yang dihadapi pasangan yang sama: Basuki-Djarot. Tentu akan terjadi perang bumbu penyedap yang dikemas dalam racikan isu oleh masing-masing tim suksesnya.
Secara garis besar, Sasa selaku penantang akan menyudutkan Miwon tentang blunder dan kegagalan. Sebut saja tentang proyek reklamasi yang menggusur perkampungan nelayan, tentang pembelian lahan RS Sumber Waras yang disebutnya tidak waras, tentang Ahok yang disorder personality, tentang rendahnya serapan anggaran, disamping juga isu Pribumi Vs Asing Aseng dan Oseng-oseng yang diharapkan menyengat ke penciuman warga.
Sedangkan Miwon tentu saja akan blablabla tentang keberhasilannya menggagalkan rencana korupsi, membangun daerah aliran sungai lebih tertata dan airnya lebih jernih, banjir meskipun masih ada tapi cepat surut, gaji pegawai rendahan seperti tukang sapu jalan yang melonjak, dan sejumlah cerita sukses lainnya.
Singkat cerita akan terjadi perang seru antara Sasa Vs Miwon yang tidak kalah legendaris dengan perangnya Pepsi lawan Coca Cola. Jagad Maya dan Jagad Nyata akan diwarnai polemik yang kadang bersumber berita hoax yang tidak jelas juntrungannya.
Padahal semua itu hanya bunyi-bunyian saja. Tujuannya adalah bagaimana menjaring minat orang terhadap sesuatu yang diiklankan. Tapi karena yang diiklankan adalah calon pemimpin maka Kitab Suci pun dibawa-bawa. Ujung-ujungnya dibawa perasaan (bape)r pula.
Bagus juga sih, Pilkada diwarnai bunyi-bunyian. Kapan lagi tukang spanduk menang banyak kalau tidak ada Pilkada? Kapan lagi tukang sablon tersenyum lebar sambil menggelantungkan ribuan kaos di jemurannya kalau Pilkada sepi macam jaman Orde Baru?
Tapi tidak baik pula kalau “perang iklan” itu ditanggapi dengan baper sehingga putus hubungan silaturahim dengan tetangga sebelah. Pilkada dianggap sebagai yang prinsip dan ideologis. Padahal pesertanya tidak peduli itu selain mengejar jabatan.
Apa kalau sakit atau ada keluarga yang meninggal dunia minta tolongnya ke Basuki, Djarot, Sandiaga atau Saefullah? Tetap saja larinya ke tetangga terdekat juga. Sakit hati sesaat boleh, tapi kalau sakit hatinya sampai memanjang itu namanya sakit jiwa.
Sangat tidak masuk akal kiranya, saat pasangan yang kalah dan pasangan yang menang sudahcipika cipiki, bahkan dalam jeda waktu yang tidak lama setelah penetapan pemenang oleh KPU, namun dalam waktu yang lama masing-masing pendukungnya malah tidak bertegur sapa.
Gambaran di atas sengaja saya ungkap, sebab potensi terbelahnya masyarakat seperti pada Pilpres 2014 lalu kembali menguat. Di sebuah pesantren Jawa Barat, sebagaimana cerita yang saya dengar, antara paman dan keponakan, hingga kini tidak bertegur sapa hanya karena paman pilih Prabowo dan keponakan pilih Jokowi.
Kok bisa? La iyalah. Diantara empat kesadaran yang diungkap Paulo Freire, yaitu kesadaran intransitif yang intinya menerima nasib, kesadaran semi intransitif yang intinya tahu ditindas tapi takut melawan, kesadaran naif yang rajin berpolemik tapi kosong pengetahun, dan kesadaran kritis yang bisa menerima atau menolak karena tahu hukum sebab akibat. Cilakanya, kebanyakan diantara kita baru di tingkat kesadaran naif.
Apalagi sejak sekolah tidak dibiasakan methode hadap-masalah, melainkan hanya menyimpan hafalan yang akan dikeluarkan saat dibutuhkan. Maka jangan salahkan rumput yang bergoyang kalau mereka dengan mudah menjadi korban hoax.
Ciri yang tak kalah penting lagi, sebagaimana tercermin di tulisan media sosial, umumnya dalam cara memandang pemimpin, seratus persen malaikat atau sebaliknya seratus persen setan. Sebab mereka dengan mudah menjadi korban pengagungan (glorifikasi) atau penjelekan (demonisasi).
Itulah yang disebut Freire sebagai kesadaran naif. Tapi bukan naif dalam bahasa Gunungkidulan yang artinya tukang menikahkan orang ya?
Marlin Dinamikanto, Peneliti Senior di Yayasan Kalimasdha
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.