Setelah sekian waktu terjadi silang kata antar banyak pihak tentang pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) sebagaimana tertuang di Perppu No 2 tahun 2020. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pemerintah, dan penyelenggara pemilu akhirnya sepakat bahwa Pilkada akan dilaksanakan pada Rabu, 9 Desember 2020.
Selanjutnya, operasionalnya akan diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Kesepakatan itu disertai dengan catatan mengikuti protokol kesehatan dan penambahan dana Pilkada terkait wabah Covid-19 (Corona).
Sementara itu, sebagian organisasi dan individu pegiat kepemiluan, sampai saat ini lebih bersepakat mendorong Pilkada diundur pelaksanaanya ke tahun 2021 dengan sejumlah pertimbangan.
Argumen utamanya, melaksanakan Pilkada di Desember 2020 terlalu berisiko. Alasannya lainnya, Pilkada di Desember rawan politik uang (money politics), menguntungkan calon petahana atau incumbent, serta berpotensi menurunkan partisipasi warga.
Alasan-alasan yang digunakan untuk mendukung argumentasi di atas, menurut saya sangat lemah
Pertama, mengundurkan Pilkada ke tahun 2021, juga belum menjamin berkurangnya risiko. Hingga saat ini belum ada satu pun lembaga kesehatan nasional maupun internasional yang bisa memastikan pandemi Corona akan berakhir pada tahun 2021 itu.
Suka atau tidak, pada 2020 atau 2021, semua pihak tetap akan didorong untuk melaksanakan kegiatan publik dengan memperhatikan protokol kesehatan
Kedua, bahwa partisipasi pemilih akan berkurang bila Pilkada berlangsung di Desember 2020, ini pun debatable. Tapi pengalaman di Korea Selatan yang pemilunya dilakukan saat puncak pandemi menunjukkan angka partisipasi lebih tinggi dari pemilu sebelumnya.
Kita di Indonesia, juga punya pengalaman tentang partisipasi tinggi di masa darurat bencana. Di Palu, misalnya, saat pemilihan presiden (Pilpres) 2019 lalu masih pada fase penyembuhan karena gempa bumi. Saat itu, di Palu situasi masih berantakan, dan warga masih trauma dengan bencana. Tapi partisipasi warga yang mengunakan hak pilih bisa mencapai 86%.
Partisipasi warga ke tempat pemungutan suara (TPS), pada akhirnya juga akan ditentukan sejauh mana kualitas calon, kontestasi yang ketat, dan banyak faktor lain.
Alasan ketiga, bahwa Pilkada di Desember akan menguntungkan incumbent. Banyak survei SMRC menunjukkan incumbent akan dinilai dari kinerjanya selama berkuasa. Semakin baik kinerjanya maka makin berpotensi menang. Begitu pula sebaliknya.
Lalu apa yang salah kalau warga pada akhirnya memilih incumbent yang kinerjanya baik? Tokh, salah satu tujuan Pilkada atau pemilu adalah untuk mengevaluasi kepimpinan politik yang ada
Hal yang banyak diperdebatkan antara lain karena saat ini incumbent bisa mengunakan bantuan sosial (bansos) untuk memobilisasi pemilih. Kita harus memahami bansos, apapun mereknya, sudah ada jauh sebelum ada virus Corona mewabah. Tambahan penerima bantuan setelah ada wabah Corona terjadi tidak begitu besar dari penerima sebelumnya.
Alih-alih, bansos hari ini justru bisa menjadi ‘ancaman’ tersendiri bagi incumbent. Sebab di survei SMRC pada awal Mei menujukkan ada 49% warga yang mengatakan bansos tidak tepat sasaran. Situasi ini bisa saja dikapitalisasi untuk menjatuhkan incumbent oleh para pesaingnya. Apakah cara itu sehat? Bagi saya itu sehat saja dalam sebuah kampanye, sepanjang ada bukti untuk menyatakan itu.
Mengenai politik uang, menurut saya akan jauh lebih menurun karena pertemuan langsung antara calon dan pemilihnya makin berkurang. Semakin pertemuan langsung berkurang, maka politik uang akan terminimalisir, misalnya: uang duduk, uang saku, dan sebagainya akan semakin berkurang
Adapun tentang alasan kinerja penyelenggara pemilu tidak akan maksimal, juga masih perlu pembuktian. Selain tidak ada dasarnya, KPU juga belum bekerja. Seharusnya kita mendorong penyelenggara membuat aturan sebaik mungkin di situasi kenormalan baru (new-normal) yang akan mulai diberlakukan dalam waktu dekat. Tentu saya masih meyakini pelaksana pemilu punya cara menyiasati situasi seperti itu.
Kita bisa belajar dari pengalama guru dan dosen, yang tak banyak a-i-u-e-o bisa menyelenggarakan pendidikan online. Juga bisa belajar dari relawan desa yang dikelola Kemendes, dan pendamping PKH yang bisa melakukan verifikasi door to door.
Sampai hari ini, tak ada kabar mereka terpapar virus saat melakukan verifikasi. Jika kedua institusi itu bisa melakukan, saya juga meyakini penyelenggara (KPU dan Bawaslu) bisa melakukan hal yang sama.
Topik lain yang dipersoalkan adalah masalah kampanye dari peserta Pilkada yang tidak akan maksimal. Urusan ini, terkait pemahaman saja. Kebanyakan para calon Pilkada memahami kampanye itu identik dengan pengumpulan massa, pesta, dan pawai.
Mengumpulkan massa dalam jumlah ribuan, itu juga tidak efektif dan dampaknya terlalu kecil. Karena mereka yang datang berkerumun di tengah lapangan sudah pasti pendukung calon itu sendiri.
Banyak ruang kampanye yang bisa dimaksimalkan peserta Pilkada. Misalnya, media sosial yang penggunanya saat ini berkisar 60% dari total populasi pemilih. Selain itu juga ada media massa mainstream seperti koran, TV, dan radio.
Kampanye online memakai zoom meeting juga bisa dilakukan. Sebab pemilik HP di Indonesia berkisar 80% dari total populasi. Selain itu, para peserta pemilu bisa membentuk tim melakukan kampanye door to door tanpa harus mengumpulkan massa yang efeknya juga kecil.
Pada akhirnya cara berpikir saja, kalau merasa semua harus normal, selamanya tidak akan pernah kembali lagi seperti sebelumnya.
Hari ini kita menuju ke situasi new normal, yang tentu membutuhkan revolusi berpikir dari sebelumnya. Dan karena itu, saya mendukung pilkada di Desember 2020. Tentu dengan syarat semua pihak harus mengikuti protokol kesehatan.
Anton Miharjo, bekerja di Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC)