Suatu saat saya menulis status di Facebook, bunyinya begini “Bapak Saya Almarhum pernah Risau (bukan Risma-Sandiaga Uno, lho. Waktu itu belum ada). Pasalnya, umur sudah mendekati kepala 4 tapi belum menikah juga. Maka saya mau dijodohkan dengan beberapa orang tapi saya menolak, sampai-sampai Almarhum bilang, “Jangan sampai kamu pilih-pilih tebu, ya?”
Terus terang, saya tidak tahu makna di balik kata “pilih-pilih tebu”. Saat Pak Jokowi memilih Mendiknas yang belum apa-apa sudah bikin heboh itu saya kembali berpikir, jangan-jangan Pak Jokowi pilih-pilih tebu? Saya nggak tahu juga, lha wong saya juga nggak tahu arti sebenarnya dari pilih-pilih tebu itu apa je? Maka dalam status saya mencolek sahabat saya Tri Agus Susanto Siswowihardjo (TASS) dan Iwan Asnawi.
TASS pun berkomentar, Pilih pilih tebu. Dikira dapat batang tebu ndak tahunya malah ampasnya. Batang yang sudah diperas. Istilah pilih pilih tebu mirip tebang pilih. Ini keliru. Harusnya pilih tebang. Dipilih dulu baru ditebang. Mirip panjat pinang yang katanya juga keliru. Harusnya pinang panjat. Dipinang dulu baru dipanjat. Moga tambah bingung, hehehe.
Namanya juga status guyon, biar nggak stres. Tapi bila dibikin lebih serius bisa juga sih. Sejak peradaban dicatat dalam buku sejarah, meskipun itu sejarah palsu yang ditulis oleh para pemenang, berapa kali sekelompok orang merasa salah dalam mengambil keputusan?
Memang, belum tentu “Salah pilih” itu berakhir tangis dan air-mata. Ada kalanya, meminjam istilah filsuf Universitas Indonesia (UI) yang hanya ngetop di lingkungannya sendiri, Rocky Gerung, pilihan yang salah itu disebut tersesat di jalan yang benar.
Dalam melihat kebenaran memang kadang tergantung dari sudut mana melihatnya. Apalagi yang melihat itu orang buta, baik buta akhlak maupun buta ilmu pengetahuan. Itulah gunanya ilmu pengetahuan (dan tentu saja kepribadian, hehe).
Saat Prabowo Subianto yang mengklaim membawa Walikota Solo Joko Widodo ke bu Mega untuk dipasangkan dengan Basuki Tjahaja Purnama menjadi calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta dan ternyata menang, mungkin Prabowo secara pribadi merasa pilih-pilih tebu, karena ternyata orang yang dipilihnya menjadi pesaing yang menggagalkannya menjadi Presiden.
Tapi secara kepartaian, terpilihnya Jokowi-Ahok sebenarnya bisa dibilang tersesat di jalan yang benar. Karena jumlah kursi Gerindra dan PDI Perjuangan tentunya, di DPRD DKI Jakarta melonjak pesat. Dari 5 menjadi 15 untuk Gerindra dan dari 11 menjadi 28 untuk PDI Perjuangan.
Gejala yang ibarat bakwan masih fresh dari penggorengan adalah keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit). Sebagaimana dituliskan di sejumlah berita, sebagian warga Inggris yang memilih Brexit menyesal setelah tahu resiko keputusannya
Begitu pun di Amerika Serikat saat Partai Republik melalui konvensi yang panjang memajukan Donald Trump sebagai penantang Hillary Clinton untuk menggantikan posisi Obama.
Ternyata Trump bermulut ember. Apa saja dikomentarinya, termasuk menghina veteran perang yang kebetulan Muslim yang membuat marah para veteran perang lainnya yang biasanya berafiliasi ke Partai Republik.
Kini, secara terang-terangan sejumlah politisi beken di partai Republik, sebut saja Richard Hana menyeberang ke kubu Demokrat, mendukung Hillary Clinton. Mereka merasakan, warga Partai Republik di negeri Paman Sam telah pilih-pilih tebu.
Memang, masih tersisa waktu bagi Trump untuk merebut kembali simpati pemilih. Segala kemungkinan bisa saja terjadi. Namun apapun hasilnya, Trump adalah calon presiden yang secara resmi telah dipilih Partai Republik untuk melawan calon dari Partai Demokrat.
Kembali ke Indonesia.Isu yang masih kebul-kebul adalah Tax Amnesty. Bahkan masih menjadi bahan obrolan sekarang ini. Pertanyaannya, apakah Pak Jokowi telah melakukan pilih-pilih tebu saat mengajukan UU Tax Amnesty ke DPR. Sudah itu uang yang belum pasti masuk, kalau pun masuk sebenarnya uang haram, hehe, sudah tercatat dalam target pemasukan APBN 2016.
Sekarang setelah hampir sebulan Tax Amnesty (yang hanya berlaku satu tahun) diberlakukan, berapa target pemasukan yang sudah didapat? Masih sangat jauh ketel dari kompor. Terlebih secara moral, kalau pun target pemasukan sudah dicapai, ya mosok sih Pembangunan digerakkan oleh uang haram?
Mungkin saja orang-orang di sekitar Pak Jokowi beranggapan, cari yang haram saja susah apalagi yang halal? Kalau yang itu saya nggak mau ikut-ikut. Takut kecipratan dosa. Kalau kecipratan rejekinya sih nggak apa-apa, hehe
Dan terakhir kali tentang Mendiknas Muhadjir Effendi yang baru diangkat jadi Menteri melempar berita heboh tentang Full Day School (FDS). Sebagaimana diberitakan, wacana itu menuai kecaman dari segala penjuru.
Saya tahu, konsep FDS sudah berjalan di sekolah-sekolah Islam Terpadu di lingkungan Muhammadiyah, tapi apakah FDS bisa cocok juga diterapkan di tempat yang setting sosialnya berbeda-beda.
Apakah kali ini juga Pak Jokowi pilih-pilih tebu? Terus terang saya tidak tahu, karena menurut Filsafat Ilmu Jujun S. Suryasoemantri, meskipun saya bukan Ilmuwan tapi saya membiasakan diri untuk tahu di tidak tahunya. Hehehehe.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.