Sekelompok pemuda, sebagian besar sarjana, membentuk komunitas petani sayur hidroponik. Komunitas itu dibangun karena keprihatinan atas mahalnya harga sayur di Tulungagung. Harga sayur di Tulung Agung Mahal karena harus didatangkan dari Kota Batu.
Hasil dari upaya mereka menakjubkan, sayur mrk dihargai tinggi dan selalu habis terjual. Bahkan konsumen seperti indent (menunggu), dengan memberi nama mereka di tumbuhan sayur yang belum dipanen.
Kelompok tani (Poktan) ini, juga melempar produk sayuran tersebut ke supermarket, walau belum bisa maksimal, karena keterbatasan produksi. Tetapi dengan mengisi pasar modern, tujuan minimal untuk menunjukkan eksistensi produk tersebut, tercapai. Keterbatasan produksi itu juga yang juga mengakibatkan permintaan dari Kediri dan Jombang ditolak, karena sayur sudah terbeli di tempat produksi yaitu di halaman rumah para aktivis hidroponik tersebut.
Dari satu komunitas, dalam setahun saat ini sudah berkembang menjadi 259 komunitas yang terhubung dan berkomunikasi melalui media sosial FB, WA, maupun telegram. Mereka juga sekali-sekali kopdar (jumpa darat).
Bertempat di Ds Sobontoro Tulungagung, Poktan Hidroponik Tulungagung (KHTA), hari Jumat (3/3/2017), mengundang Eva Sundari. Tujuan mereka untuk berdiskusi mengenai pengembangan industri sayur hidroponik yang sudah mereka geluti.
“Kami ingin mempunyai green house yang besar, untuk meningkatkan produksi. Green house ini nantinya juga bisa menjadi pusat untuk memfasilitasi pengetahuan, alat produksi, termasuk untuk pemasaran produk dari para anggota,” ujar Yudi, Ketua KHTA.
Dalam diskusi itu, Eva Sundari menyarankan agar Green House ini kelak bisa menjadi pusat rekreasi, dan edukasi, dan berbadan hukum koperasi. Masih menurut Eva, semua informasi mengenai pertanian hidroponik, dari A sampai Z, bisa tersaji, termasuk untuk rekreasi petik sayur dan beli alat, bahan dan bibit untuk menanam.
“Bikin koperasi karena syarat-syaratnya sudah ada, yaitu watak gotong royong, jumlah anggota, dan kesamaan tujuan dari para anggota. Terbentuknya organisasi adalah modal untuk memperjuangkan kepentingan anggota,” saran Eva Sundari.
“Karena perspektifnya edukasi, maka jangan teknis, semua harus diakarkan dan dimuarakan pada kemandirian ekonomi, khususnya kedaulatan pangan,” imbuh Eva Sundari mengingatkan.
Dari diskusi, salah satu anggota melakukan hal yang sama di Lombok dan NTT yaitu membentuk komunitas petani sayur hidroponik karena situasi yang sama yaitu kebutuhan sayur harus diimpor dari daerah lain. Respon kelompok muda di sana  juga positif yaitu membentuk komunitas-konunitas sebagaimana di Tulungagung dan berproduksi walau skala yang juga terbatas.
Sebelum mengakhiri diskusi, kelompok sudah mendapat komitmen dari kepala dinas koperasi dan umkm Tulungagung, Partono yang menyanggupi untuk memberikan bantuan teknis untuk pembentukan koperasi. Eva Sundari akan mengupayakan bantuan konsultan untuk mendampingi pembuatan business plan (rencana kerja) dari koperasi petani sayur hidroponik tersebut.