Dalam setiap pilpres, termasuk dalam Pilpres tahun ini, selalu dimunculkan narasi konflik lama berlarut antara Luhut B Panjaitan (lulusan terbaik Akmil 1970) dan Prabowo Subianto (Akmil 1974). Dikisahkan, konflik keduanya seolah sudah terjadi sejak mereka masih sama-sama aktif di Korps Baret Merah dulu, pada dekade 1980-an.
Seperti pada Pilpres 2009 misalnya, saat Prabowo berpasangan dengan Megawati, di tengah ramainya saat kampanye, tiba-tiba terbit biografi Letjen (Purn) Sintong Panjaitan (Akmil 1963). Tak pelak lagi, bila kemudian muncul anggapan, bahwa penerbitan biografi ini, salah satunya memang diniatkan demi menghambat laju Prabowo. Mengingat ada satu bagian dalam biografi itu yang jelas-jelas mendiskreditkan Prabowo, dengan narasumbernya adalah Luhut.
Namun sejak Prabowo masuk kabinet, konflik dirinya dengan Luhut menjadi cerita masa lalu. Lihat saja saat menjelang diperkenalkan oleh Presiden Jokowi di tangga Istana Merdeka baru-baru ini, Prabowo dan Luhut berjalan beriringan, keduanya terlihat berbincang akrab. Begitu juga saat sesi foto, entah sudah diatur atau tidak, Luhut dan Prabowo juga berdiri berdampingan, padahal bila dilihat dari postur badan, seharusnya Prabowo berdiri di tangga di belakang Luhut.
Ibarat pepatah lama, seperti yang sering diungkapkan mantan Menkopolhukam Jenderal TNI (Purn) Wiranto (Akmil 1968) bila terkait isu HAM : “Lupakan masa lalu, kita tatap masa depan yang lebih baik”. Kira-kira begitulah yang kini terjadi pada Prabowo dan Luhut, hubungan mereka sudah mencair kembali, seolah mengulang hari-hari penuh kebersamaan saat masih aktif di Cijantung (Markas Kopassus) dulu.
Rekonsiliasi antara Luhut dan Prabowo yang terkesan super cepat, selain karena alasan pragmatisme, juga mungkin karena ada irisan ideologis di antara mereka. Benar, latar belakang keluarga Luhut dan Prabowo, sama-sama terafiliasi pada PSI (Partai Sosialis Indonesia), dengan figur sentralnya adalah Sutan Sjahrir. Selain Prabowo dan Luhut, satu nama lagi yang memiliki latar belakang PSI adalah Nadiem Makarim (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan).
Adik perempuan Luhut Panjaitan (Kartini Panjaitan, antropolog) menikah dengan ekonom terkenal Sjahrir (almarhum). Sjahrir sendiri dianggap sebagai pemegang tongkat estafet kepemimpinan PSI, pasca-kepergian Sutan Sjahrir (meninggal April 1966), dan kebetulan memiliki nama yang mirip. Demikian juga dengan Prabowo, ayah dan kakeknya sejak lama dikenal sebagai tokoh terkemuka PSI. Dalam perjalanan politiknya kelak, kita bisa melihat, bagaimana Prabowo juga melibatkan anak-anak tokoh PSI yang lain.
Salah satu nama yang bisa disebut adalah Maher Algadri, teman sebaya Prabowo, putera dari Hamid Algadri (tokoh PSI). Dalam lingkungan PSI, Hamid Algadri segenerasi dengan Sumitro (Pak Cum), ayah Prabowo. Maher adalah seorang konglomerat (pendiri Grup Kodel), yang sejak lama dikenal sebagai penyandang dana kegiatan Partai Gerindra. Maher sendiri adalah paman Nadiem Makarim dari pihak ibu. Kakak sulung Maher adalah Atika Algadrie, yang kemudian menikah dengan Nono Anwar Makarim.
Salah satu paman Nadiem dari pihak ayah, yakni Mayjen (Purn) Zacky Anwar Makarim (Akmil 1971), adalah perwira Baret Merah terkenal di masa Orde Baru, yang periode aktifnya (sebagai militer) berbarengan dengan Luhut dan Prabowo. Secara singkat bisa dikatakan, Nadiem seolah sintesis antara tradisi PSI dan Baret Merah
Keberadaan Luhut, Prabowo dan Nadiem, kiranya bisa memberi warna “ideologis” pada kabinet sekarang. Setidaknya bisa memberi keseimbangan pada ideologi Marhaenisme yang pernah coba dikembangkan oleh Megawati dan elemen PDIP lainnya.
Pada periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi, ajaran penting Bung Karno, seperti Marhaenisme dan Trisakti, berusaha didengungkan kembali, setidaknya pada awal-awal periode pertama pemerintahan Jokowi. Kini, saat ada kepastian Jokowi akan memasuki periode kedua, nasib ajaran tersebut tidak jelas lagi nasibnya.
Sepragmatis apapun kabinet sekarang, dia akan menjadi saksi soal persinggungan antara tradisi PSI (sosialisme) dan Marhaenisme. Meskipun sama-sama dianggap “kiri” namun dalam praktik di lapangan, PSI dan PNI (pendahulu PDIP) selalu bersaing sejak dulu. Bisa jadi harapan soal adanya dinamika ideologis dalam kabinet sekarang, merupakan harapan yang berlebihan, bahkan mungkin hanya sebuah omong kosong.
Label ideologis pada kabinet sekarang, khususnya pada marhaenisme dan sosialisme, walau bagaimanapun tetap ada maknanya, setidaknya sebagai pelipur lara. Sebab tanpa warna ideologis, kabinet sekarang memang terkesan datar. Mungkinkan ini sebuah takdir belaka, bahwa Luhut, Prabwo, dan Nadiem, dipertemukan dalam kabinet sekarang.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.