Pertemuan antara mantan Presiden SBY dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, di rumah SBY di Cikeas (Bogor) minggu lalu, menarik untuk diamati. Pertemuan Cikeas ini menandakan betapa cairnya hubungan antara elite politik di Jakarta. Pasang-surut hubungan Partai Demokrat dan Partai Gerindra selama ini, coba dihangatkan dengan sajian nasi goreng, yang kemudian menjadi viral.
Ada anggapan bahwa pertemuan itu rintisan menuju koalisi bagi Pilpres 2019. Tapi saya tidak terlalu yakin, bahwa sudah ada kesepakatan pada malam itu. Mengingat secara kimiawi mereka sudah sulit bersama sejak taruna di Akmil Magelang dahulu.
Bersaing sejak taruna
Prabowo seorang taruna dengan latar belakang keluarga elite, sementara SBY dari keluarga perwira pertama TNI (setara danramil). Kecemerlangan prestasi SBY saat taruna, menghantarkannya dirinya menjadi menantu Letjen TNI Sarwo Edhi (Gubernur Akmil saat itu), hingga mendorong SBY masuk dalam lingkaran elite nasional. SBY dan Prabowo masuk Akmil secara bersamaan (1970), namun tahun kelulusan berbeda, SBY lulus tahun 1973, sementara Prabowo “tertunda” satu tahun (1974).
Sejak taruna mereka sudah bersaing dalam prestasi, dan terus berlanjut saat berdinas di TNI AD. SBY banyak berdinas di Baret Hiju (Kostrad), sementara Prabowo di Baret Merah (Kopassus). Mereka dibesarkan dan membangun reputasinya di kesatuan masing-masing, hanya Prabowo sedikit lebih lengkap, mengingat Prabowo juga sempat berdinas di Kostrad, yakni sebagai Danyon 328/Kujang II dan Kepala Staf Brigif Linud 17/Kujang I.
Hal itu juga berdampak pada jaringan Prabowo yang lebih luas, dia bisa dekat pada keluarga besar Kopassus dan Kostrad, juga dekat dengan dua angkatan di Akmil, masing-masing lulusan Akmil 1973 dan Akmil 1974.
Seperti pada Pilpres 2009 lalu, terjadi persaingan antara Angkatan 1973 dan Angkatan 1974. Salah satu fenomena yang menarik, dalam tim sukses cawapres Prabowo (lulusan Akmil 1974), tidak ada figur purnawirawan yang berasal dari Angkatan 1973. Purnawirawan Angkatan 1973 umumnya berkumpul di kubu pasangan SBY-Boediono. Juga pada Pilpres 2014, pascakekalahan Prabowo (bersama Hatta Rajasa), SBY (Demokrat) langsung meninggalkan Prabowo.
SBY dan Prabowo juga akan sulit membangun sebuah koalisi yang solid, sebab karakter keduanya mirip, sama-sama selalu ingin memimpin, sama-sama tidak mau “dinomorduakan”. Lalu bagaimana bisa membangun kerja sama jangka panjang, bila salah satunya tidak ada yang mengalah.
Salah satu pernyataan “keras” yang dilontarkan SBY dalam pertemuan malam itu adalah power must not go unchecked (kekuasaan harus tidak bisa dibiarkan tak terkendali). Memang SBY tidak menyebut secara langsung siapa yang dimaksud, namun publik juga paham, bahwa yang dimaksud adalah rezim Jokowi. Itu bisa dilihat ketika Jokowi merespons pernyataan SBY tersebut, bahwa tidak ada bukti pendukung bila pemerintahannya menjalankan kekuasaan absolut.
Bisa jadi ungkapan itu justru sindiran bagi Prabowo, yang pernah menjadi bagian erat dari rezim Orde Baru, yaitu Soeharto. Selain itu, bila melihat perilaku politik Prabowo selama ini, Prabowo ada kecenderungan untuk bersikap otoriter.
Cawapres Unggulan
Sempat beredar kabar, kubu SBY menawarkan Agus Harimurti sebagai Cawapres (bagi) Prabowo. Namun berita itu terlalu spekulatif, kalau kubu SBY mengirim Agus, artinya kubu SBY siap untuk kalah, bukan siap untuk menang. Kalau Agus yang dipasang, menang atau kalah, kubu SBY tetap beruntung, karena nothing to lose.
Tentu Prabowo juga tidak akan mau berpasangan dengan figur “politisi hijau” seperti Agus, yang sama sekali belum berpengalaman dalam arena politik Indonesia yang berdarah-darah. Prabowo tentu masih berambisi, mengingat besok mungkin pertarunganya terakhir, namun dia masih ragu dalam kekuatan.
Untuk figur cawapres, baik bagi Jokowi maupun yang lain (seperti Prabowo), saya sendiri memiliki pandangan, salah satu cawapres unggulan adalah figur Jenderal Pol Tito Karnavian, yang hari-hari ini sedang sibuk mengungkap kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan. Kasus Novel benar-benar pertaruhan bagi Tito.Kasus Novel Baswedan mendapat perhatian publik yang luar biasa, setelah Novel mengeluarkan statemen bahwa ada seorang jenderal polisi yang terlibat dalam penyerangan terhadap dirinya.
Yang ditunggu publik adalah keberanian Tito untuk mengungkap kasus ini. Apabila Tito berhasil mengungkap kasus ini, adalah prestasi luar biasa bagi Tito, seolah mengulang prestasi dia dulu saat menangkap Tomy Soeharto. Keberhasilan Tito bisa meng-endorse dia masuk dalam nominasi cawapres. Karena usai Hari Bhayangkara (1 Juli) tempo hari, Tito mengungkapkan, bahwa dia tidak ingin menjadi Kapolri selama lima tahun, dia ingin mundur sebelum periodenya habis.
Usia Tito masih muda, dengan kapasitas intelektual yang sangat mumpuni. Sungguh sayang bila bangsa ini tidak memanfaatkan kecerdasaan orang seperti Tito, selepas menjabat Kapolri nanti.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.