…harus diakui, ada lembaga survei yang tak memiliki kompetensi, dan lebih buruk lagi, tak mempunyai integritas. Institusi survei ini biasanya membuat survei untuk memberi kepuasan pemesan dan diumumkan ke publik.
Salah satu fenomena dalam politik kita lima tahun terakhir ini adalah munculnya lembaga survei, sekaligus produk perhitungan cepat (quick count) pada Pemilu 2004 dan Pilkada-pilkada setelah itu. Jumlah lembaga survei di Indonesia memang baru belasan, tak sebanyak di negara demokrasi baru seperti Philippina atau Korea Selatan yang jumlahnya puluhan bahkan ratusan. Sebagai pemain baru, banyak pihak belum memahami peran lembaga survei, termasuk penyelenggara pemilu, dan sebagian ketua partai politik.
Komisi Pemilihan Umum mengimbau kepada seluruh lembaga survei yang terdaftar di KPU untuk menjaga integritasnya. Imbauan itu termasuk untuk menjaga kualitas hasil penelitian dalam pilkada serentak 2017. “Mereka tidak boleh memihak, manipulatif, dan kerjanya harus berdasarkan fakta lapangan,” kata Komisioner KPU, Arief Budiman, (Kompas, 10/10/16). Menurut Arief, lembaga survei diatur dalam Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2015 tentang Peran Lembaga Survei untuk Pendidikan Politik. KPU saat ini tidak memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi kepada lembaga survei yang tidak menjaga integritasnya. KPU hanya berwenang memantau lembaga survei yang sudah terdaftar. Lembaga yang sudah terdaftar harus mempubilkasikan lembaga, sumber dana, hingga metodologi termasuk hasil surveinya kepada masyarakat.
Kehadiran lembaga survei adalah keharusan bagi negara demokrasi. Studi tentang pendapat umum di Amerika Serikat (AS) telah mengalami perkembangan pesat sejak 1950-an, terutama untuk mengetahui sikap dan preferensi politik masyarakat umum. Pada era 1970-an, metode ini kian populer untuk mengetahui bagaimana pengaruh kebijakan publik terhadap pendapat umum atau sebaliknya, bagaimana pendapat umum memengaruhi kebijakan publik. Di AS misalnya ada lembaga-lembaga yang sangat terkenal seperti Gallup Poll, Harris Poll, Roper, Crosley Poll, Pew Research Center, dan Rasmussen.
Fenomena perhitungan cepat yang dilakukan lembaga survei pada Pemilu 2004 membuka mata kita tentang salah satu pemain baru dalam demokrasi. Hadirnya sekitar 13 lembaga survei – belum termasuk litbang media – cukup meramaikan dan menambah bobot demokrasi di tanah air. Betapa tidak, kini hampir tiap bulan kita dapat mengetahui opini masyarakat mengenai isu-isu yang menyangkut ekonomi, politik, dan sosial.
Lembaga survei silih berganti mengadakan konperensi pers, mengumumkan hasil survei tentang berbagai isu, termasuk yang paling ‘seksi’ yaitu soal partai politik atau calon presiden pilihan masyarakat. Namun, seperti pers yang muncul bak jamur di musim reformasi, lembaga survei juga sama. Akan ada seleksi alam, dan hanya yang kompeten dan punya integritas yang akan bertahan.
Persoalan yang muncul kemudian adalah adanya suara-suara ketidakpuasan dari tokoh partai politik atau calon presiden yang menurut survei popularitasnya tak pernah naik. Mereka kesal, lalu menuduh ada lembaga survei bayaran, yang hasilnya bisa dipesan. Memang harus diakui, ada lembaga survei yang tak memiliki kompetensi, dan lebih buruk lagi, tak mempunyai integritas. Institusi survei yang terakhir ini biasanya membuat survei untuk memberi kepuasan pemesan, dan diumumkan ke publik.
Menurut Hasan Hasbi dari Cirus Surveyors Group, hasil survei dapat menjadi pintu masuk untuk bisnis yang lebih besar, yaitu konsultan politik. Selalu ada godaan untuk menghibur klien, (Kompas, 16/1/09). Jika pers telah lama diakui sebagai pilar keempat demokrasi, menurut M Qodari (Indo Barometer), lembaga survei adalah pilar kelima demokrasi.
Survey opini publik membantu mendekatkan keputusan-keputusan publik dengan aspirasi publik, dan elit mengetahui keputusan-keputusan yang kurang populer tetapi harus dibuat sehingga perlu dijelaskan kepada publik secara luas. Dengan demikian, pemerintah demokratis akan menjadi semakin legitimate, stabil, bertanggungjawab dan efektif. Survei opini publik menjadi ‘barometer’ aspirasi masyarakat, dan pembuat kebijakan. Tidak perlu menunggu pemilu lima tahun lagi atau referendum untuk mengetahui pendapat masyarakat.
Selain munculnya lembaga pengumpul jajak pendapat, marak pula kehadiran konsultan politik. Seorang konsultan politik adalah seorang profesional kampanye yang terlibat dalam pemberian nasihat dan jasa-jasa kepada para kontestan pemilu, baik berupa jajak pendapat, produksi, dan penciptaan media. Di sinilah kadang konflik kepentingan terjadi, bisa seorang pollster sekaligus konsultan politik.
Fenomena konsultan politik seperti di AS ini juga telah merambah ke tanah air, terutama sejak diterapkannya sistem pemilihan presiden secara langsung pada 2004. Setelah itu, sejak 2005 ketika pemilihan kepala daerah juga dilakukan secara langsung, ‘industri’ tim sukses dan survei ini kian marak.
Konsultan politik harus bersikap profesional dan bersikap jujur tentang aneka kelemahan dari survei yang dilakukan atau dilakukan pihak lain. Mereka juga harus mau bersikap jujur untuk memberitahukan siapa yang mensponsorisurvei dan jajak pendapat yang mereka lakukan. Di AS misalnya, salah satu kode etik yang disepakati melalui Asosiasi Amerika untuk Penelitian Pendapat Publik (American Association for Public Opinion Reserarch) telah mencantumkan keharusan bagi lembaga yang melakukan penelitian pendapat publik. Konsultan politik yang profesional adalah yang mampu mengantarkan kliennya ke tujuan dengan cara-cara yang cerdas, bermartabat, dan efisien.
Dalam beberapa tahun terakhir ini banyak survei politik dilakukan lembaga survei yang sudah dikenal masyarakat seperti Lembaga Survei Indonesia (LSI), Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Populi Center, Indo Barometer, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Cirus Surveyors Group, Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Reform Institute, Paskalis UI, Lembaga Riset Informasi, dan lain-lain.
Uniknya, kedua LSI dan Indo Barometer dahulu berasal dari satu institusi yang sama di bawah Denny JA, yaitu Lembaga Survei Indonesia. Dalam perjalanannya, Syaiful Mujani mengundurkan diri dari LSI dan membentuk LSI baru dengan nama yang sama yaitu Lembaga Survei Indonesia, sedangkan Denny JA dan M. Qodari tetap di LSI dengan nama baru Lingkaran Survei Indonesia, baru kemudian M. Qodari pecah kongsi dengan Denny J.A dan kemudian membentuk Indo Barometer.
LSI Syaiful Mujani dan Indo Barometer M Qodari tampaknya memilih di jalur yang memisahkan antara pollster dengan konsultan politik. Hal itu diyakini akan lebih menghasilkan survei yang akurat, kredibel, dan independen. Sementara Denny J.A berpendapat lain. Sah-sah saja bila lembaga survei bergerak sekaligus konsultan politik partai, kandidat presiden atau berbagai kandidat dalam pilkada. Di AS pun, ujar Denny JA, sejak 1970-an konsultan politik yang sekaligus melakukan survei tumbuh bak jamur di musim hujan, yang berdampak negatif bagi fungsi mesin partai karena digantikan para konsultan politik profesional.
Demi profesionalitas, maka integritas dan kompetensi sebuah lembaga survei harus diutamakan. Independensi juga sangat penting. Karena itu, memisahkan antara pekerjaan pollster dengan konsultan politik adalah sebuah keharusan.
Saat ini ada dua asosiasi lembaga survei di Indonesia, yakni Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (Aropi) dan Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepsi). Aropi dan Persepsi harus bertindak transparan kepada publik, menyampaikan siapa saja anggotanya. Kedua asosiasi tersebut sebaiknya mengumumkan siapa saja anggota mereka. Biarkan publik yang menilai mana lembaga yang bisa dipercaya dan mana yang tidak bisa dipercaya.
Transparansi lembaga survei akan mencegah perselingkuhan antara pollster dan konsultan politik. Kode etik profesi – seperti profesi wartawan, dokter, dan pengacara harus ditegakkan. Kita berharap menjelang Pilkada 2017, lembaga survei sebagai pilar kelima demokrasi makin kompeten, kredibel, independen, dan mempunyai integritas.
Tri Agus S. Siswowiharjo