Perokok adalah Pahlawan Kesehatan?

0
225
Perokok (ilustrasi)

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menilai penggunaan Pajak Rokok sebagai penambal defisit BPJS Kesehatan tidak tepat. Yang menarik dari pernyataan Fahri adalah argumen yang melatarbelakangi. Alih-alih memberi pendasaran kebijakan dan regulasi fiskal yang menghambat sehingga menimbulkan problem hukum dan fiskal, Fahri justru khawatir jika penggunaan pajak rokok sebagai sumber pembiayaan akan dipahami sebagai memuliakan perokok. Lugasnya, jangan sampai perokok malah merasa menjadi pahlawan.

Saya kebetulan mengamati kebijakan fiskal termasuk cukai cukup intensif, dan kebetulan pula saya tidak merokok. Maka saya merasa cukup absah untuk mengelaborasi kekhawatiran Fahri Hamzah. Pernyataan itu sungguh mengusik saya, benarkah para perokok itu pahlawan kesehatan? Atau lebih spesifik, apakah mereka minta disebut pahlawan?

Lalu kenapa rokok dikenai cukai? Sudah menjadi kesepakatan umum bahwa merokok dapat merugikan kesehatan. Di mana-mana dilakukan pembatasan dan pengendalian, mulai dari tempat merokok, iklan promosi, peringatan bahaya di bungkus, hingga pengenaan cukai atas rokok. Cukai dikenakan karena rokok dikategorikan barang yang konsumsinya harus dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, dan pemakaiannya menimbulkan dampak negatif. Dengan kata lain merokok berarti menciptakan risiko kesehatan bagi diri sendiri, juga orang lain sebagai perokok pasif.

Jangan ditanya komentar para perokok. Mereka dapat memberi aneka penjelasan kenapa merokok dan dapat menikmatinya. Ada yang alasannya praktis hingga ideologis. Misalnya menjadi “teman” menyendiri, memberi sensasi psikis tertentu, membantu mengoptimalkan daya kreatif melalui imajinasi, hingga alasan keberpihakan pada petani tembakau dan melanggengkan warisan leluhur. Semua alasan itu sah dan tak perlu diperdebatkan.

Sekadar memberi ilustrasi. Dalam sebatang rokok terdapat 71% hak pemerintah (cukai, PPH, Pajak Rokok), dan sisanya menjadi hak industri. Pemerintah sudah mengatur alokasi penggunaan pendapatan dari rokok ini, terakhir dipakai untuk menambal defisit BPJS. Jika pungutan cukai ditujukan untuk mengurangi eksternalitas negatif, bukankah dengan kata lain pungutan ini digunakan untuk kampanye dan edukasi tentang bahaya merokok, dan membiayai pengobatan warga yang terpapar penyakit akibat rokok?

Meski kita belum punya hitungan yang akurat tentang berapa biaya kesehatan yang ditimbulkan oleh rokok, kini kita memahami matematika rokok, yaitu:
Pendapatan negara=Biaya kesehatan (preventif+kuratif).

Dengan kata lain, tak ada alasan sama sekali bagi para perokok untuk menganggap dirinya pahlawan yang menyelamatkan BPJS. Alasannya, dirinya sendiri berpotensi terpapar sakit atau menyebabkan orang lain sakit, sehingga menciptakan beban yang harus dibiayai negara. Bahkan matematika rokok menjadi goyah ketika biaya melebihi pendapatan.

Jadi baik secara normatif maupun praktis, tidak ada cukup alasan bagi para perokok untuk disebut pahlawan. Namun satu hal, saya juga tak menemukan bahwa mereka ingin disebut pahlawan. Mereka juga bukan orang yang mengonsumsi barang terlarang, tapi barang yang dibatasi. Sepanjang mampu, tentu mereka boleh mengonsumsi. Bahkan di beberapa negara sudah dikembangkan hasil tembakau yang “less harmful” atau lebih rendah dampak buruknya. Justru Indonesia harus mulai memikirkan insentif untuk penemuan-penemuan baru ini.

Kembali ke perokok. Menurut saya, kebijakan yang ada sudah cukup untuk “menghukum” mereka. Justru tugas kita membangun masyarakat yang sehat dan bahagia. Menciptakan masyarakat yang sehat berarti menghilangkan penyebab mereka tidak sehat. Selain rokok, terdapat beberapa barang yang di negara lain sudah dikategorikan tidak ramah bagi kesehatan, misalnya minuman berpemanis dan minuman bersoda, atau emisi karbon. Beberapa negara juga memasukkan coklat dan makanan cepat saji sebagai barang yang konsumsinya harus dibatasi.

Di titik inilah kita justru menjadikan para perokok sebagai pahlawan. Karena banyak penyakit mematikan disebabkan oleh barang konsumsi selain rokok, tapi mereka yang seolah jadi penanggung beban utama. Dalam matematika rokok, jika biaya kesehatan untuk rokok lebih rendah dibanding pendapatan negara dari rokok, klaim itu menjadi sah. Di sinilah Pemerintah dan DPR harus berperan agar bangsa ini mendapat bonus ganda (double dividend): masyarakat sehat dan mendapat penerimaan untuk pembiayaan kesehatan.

Kembali ke Fahri yang sebenarnya pendapatnya agak sulit diseriusi. Ketimbang sibuk mencari-cari bahan mengkritik yang kadang terkesan lebay, lebih baik melakukan otokritik pada peran DPR dan mendorong Pemerintah untuk lebih serius membangun kebijakan pengendalian barang-barang berisiko tinggi itu. Ayolah, jangan kalah kreatif dan imajinatif ketimbang para perokok. Buktikan, meski tanpa fantasi kepulan asap dan sensasi nikotin, Anda tetap dapat berpikir.

Akhir kata, benar belaka yang ditanyakan Bang Haji Rhoma Irama,”Kenapa eh kenapa, yang enak itu haram?” Ya, di mana ada nikmat dan kemungkinan ada mala, di situ ada cukai. Jikapun para perokok hari-hari ini menganggap dirinya pahlawan, jangan-jangan itu satu-satunya hiburan yang tersisa bagi mereka. Semoga kita terus berjuang untuk mewujudkan nikmat tanpa cukai: hidup sehat dan bahagia. Untuk menjadi sehat cukup rajin berolah raga, supaya bahagia cukup kita ikut girang bila orang lain senang. Atau kita hendak menambah satu objek cukai baru: nyinyir tak bertepi!

 

Yustinus Prastowo

Penulis adalah Yustinus Prastowo, dikenal sebagai seorang penulis dan pengamat pajak, sekaligus Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA)