Sabtu, 23 September 23

Peran ProDEM Mengisi Ruang Kosong Demokrasi

Demokratisasi yang tumbuh pascatumbangnya kekuasaan rezim Orde Baru (Orba) tidak serta merta memperkuat posisi tawar rakyat ketika berhadapan dengan kekuasaan Negara. Bahkan berubahnya konstruksi kekuasaan, terbukti belum mampu menyelesaikan persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi masyarakat.

Demikian dikatakan Sekretaris Jenderal Jaringan Nasional Aktivis Pro Demokrasi (ProDEM), Satyo Purwanto kepada indeksberita.com di Jakarta, Selasa (18/10).

ProDEM, himpunan aktivis lintas aliran dan linta generasi khususnya dari angkatan 1980-an dan 1990-an yang digagas oleh aktivis Universitas Nasional (UNAS) almarhum Amir Husen Daulay, untuk ke-6 kalinya akan menggelar Kongres yang akan digelar di Taman Wiladatika, kawasan Cibubur, Jakarta pada 28-30 Oktober 2016 mendatang.

“Kongres nanti adalah ruang organisasi paling legitimate untuk membawa ProDEM ke semangat awal sebagai organisasi perlawanan yang cair dan dinamis,” tandas aktivis yang akrab disapa Komeng, ini.

Komeng menambahkan, semangat awal yang menjadi basis pembentukan ProDEM, membuat organisasi ini tetap dan akan selalu relevan di tengah konstruksi kekuasaan apapun, termasuk di ranah rezim kekuasaan saat ini yang nota bene lahir dari proses demokrasi.`

“Betul bahwa dibanding sebelumnya kini wajah, bentuk, dan ukuran kekuasaan sudah berubah. Namun, persoalan yang dihadapi masyarakat belum juga beranjak dari apa yang sudah sejak lama diperjuangkan ProDEM,” urai Komeng.

Ia mengakui, wajah kekuasan yang berubah membuat perjuangan ProDEM saat ini dan di masa mendatang jauh lebih berat.

Menurutnya, pemaknaan demokrasi yang masih sebatas prosedural turut menyumbang terhadap sosok dan watak kekuasaan yang dihasilkannya. Hal itu, juga mendorong sejauh mana bentuk dan kualitas hubungan antara kekuasaan dengan masyarakatnya.

“Ironis, bahwa hiruk pikuk demokrasi justru menyisakan semacam ‘ruang kosong’ dimana Negara harus dikatakan masih gagal memenuhi kepentingan rakyatnya secara maksimal,” ujarnya.

Di sisi lain, Komeng menilai aktor-aktor formal demokrasi, dalam hal ini partai politik (parpol) cenderung menempatkan kepentingan rakyat dalam bingkai prosedur demokrasi, bukan sebagai substansi demokrasi.

“Selama ini kita melihat tidak ada advokasi yang cukup terutama oleh parpol terkait kepentingan rakyat, termasuk oleh mereka yang menempatkan posisinya sebagai oposisi,” ujarnya.

Konteks untuk mengisi “ruang kosong” itulah, menurut Komeng, yang akan menjadi batu pijak memperkuat posisi dan peran ProDEM ke depan. Alat ukurnya adalah nilai-nilai keadilan, demokrasi, dan kesejahteraan.

“Kita masih menghadapi persoalan ketidakadilan ekonomi, lemahnya posisi masyarakat, penegakkan hukum yang lemah, serta sejumlah sengkarut persoalan di semua lini kehidupan masyarakat. Kita selalu yakin bahwa nilai-nilai perjuangan Prodem selalu relevan untuk mengatasi persoalan-persoalan itu,” tambahnya.

Oleh karena itu, lanjut Komeng, ProDEM secara organisatoris akan akan tetap berhadapan dengan kekuasaan yang ada di semua tingkatan, selama kinerja dan watak kekuasaan tersebut tidak sejalan dengan nilai-nilai perjuangan ProDEM.

“Marwah perjuangan ProDEM secara organisasi tidak menyisakan ruang kompromi dengan kekuasaan secara personal, maupun dengan kepentingan personal-personal dalam internal organisasi, sekalipun mereka dekat atau jadi bagian dari kekuasaan itu,” tandas Komeng.

Sementara itu, Rosiana Simanjuntak selaku Ketua Panitia Pelaksana Kongres ProDEM ke-VI 2016 mengatakan, pelaksanaan kongres nanti merupakan amanat Kongres V ProDEM sebelumnya di Bandung.

Menurut Rosi, sejauh ini persiapan teknis Kongres sudah 80% untuk mengakomodir kepentingan ratusan peserta kongres yang akan hadir dari berbagai daerah di seluruh Indonesia.

“Kongres ini diharapkan jadi momentum untuk memperkuat jejaring aktivis ProDEM yang telah terbangun sejak masa rezim otoriter Orde Baru,” tandas Rosi.

- Advertisement -
Berita Terbaru
Berita Terkait