Saat Anda naik kendaraan umum atau menunggu penerbangan di bandara, coba perhatikan orang-orang di sekeliling Anda, apa yang mereka lakukan? Kebanyakan dari kita menemukan budaya gadget membantai budaya membaca buku.
Data UNESCO tahun 2012 menunjukkan bahwa indeks tingkat membaca orang Indonesia hanyalah 0,001. Itu artinya, dari 1.000 penduduk, hanya ada 1 orang yang mau membaca buku dengan serius. Dengan rasio ini, berarti di antara 250 juta penduduk Indonesia, hanya 250.000 yang punya minat baca. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan jumlah pengguna internet di Indonesia yang mencapai 88,1 juta pada 2014.
Dalam hal ini, jangan bandingkan Indonesia dengan negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Australia, maupun Inggris. Di antara negara-negara ASEAN saja, Indonesia menempati urutan ketiga terbawah bersama Kamboja dan Laos. Bagaimana tidak, penelitian UNESCO mengenai minat baca pada tahun 2014 lagi-lagi menyebutkan bahwa anak-anak Indonesia membaca hanya 27 halaman buku dalam satu tahun.
Pemeringkatan terbaru, menurut data World’s Most Literate Nations, yang disusun oleh Central Connecticut State University tahun 2016, peringkat literasi kita berada di posisi kedua terbawah dari 61 negara yang diteliti! Indonesia hanya lebih baik dari Bostwana, negara di kawasan selatan Afrika.
Fakta itu didasarkan pada studi deskriptif dengan menguji sejumlah aspek antara lain mencakup lima kategori, yaitu perpustakaan, koran, input sistem pendidikan, output sistem pendidikan, dan ketersediaan komputer.
Hal tersebut didukung juga oleh survei tiga tahunan Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai minat membaca dan menonton anak-anak Indonesia, yang terakhir kali dilakukan pada tahun 2012. Dikatakan, hanya 17,66% anak-anak Indonesia yang memiliki minat baca. Sementara, yang memiliki minat menonton mencapai 91,67%!
Faktor penyebab minimnya minat baca berikutnya adalah kita tidak pernah diperkenalkan kepada buku sejak dini, baik itu oleh orang tua kita di rumah maupun di sekolah oleh para guru kita.
Tanggung jawab untuk memperkenalkan buku dan membuat kegiatan membaca menjadi menyenangkan ada pada orang tua dan guru.
Adalah Maman Suherman dan Nahkoda Muhamad Ridwan Alimudin yang kemudian menggagas sebuah perpustakaan perahu. Keduanya di pertemukan dalam pertemuan Makasar Writer Festival.
Ridwan, panggilan Muhamad Ridwan Alimudin adalah seorang peneliti maritim cum, juga penulis dan seorang anak laut, dan Maman Suherman sendiri orang “gila”yang juga kreatif. Maman, lelaki kelahiran Makassar 10 November 1965 ini adalah seorang alumni Jurusan Kriminologi Fisip-UI yang meniti karir sebagai jurnalis hingga menjadi redaktur pelaksana dan pemimpin redaksi di Kelompok Kompas-Gramedia (1988-2003).
Setelah itu, Maman menjadi kreator, penulis skrip, produser hingga managing director di Rumah Produksi Avicom (2003-2011) dan menghasilkan lebih dari 50 judul berbagai program TV dengan lebih dari 1.000 episode.
Tidak hanya itu, Maman Suherman juga merupakan salah seorang penggagas Panasonic Gobel Award, dan juga menjadi editor buku Asal-Usul Wimar Witoelar : Menuju Partai Orang Biasa pada 1990-an. Maman kemudian menulis beberapa buku: Matahati, Serial Bokis (Kisah Gelap Dunia Seleb dan Potret Para Pesohor), Dari Yang Getir Sampai Yang Kotor dan yang terbaru: Re (novel yang menceritakan tentang kehidupan seorang pelacur lesbian).
Disamping menulis, Maman juga menjadi pemandu acara talkshow “Matahati” dan mentor “Stand Up Comedy Indonesia” di Kompas TV.
Duet dua orang inilah yang kemudian mewujudkan gagasan perahu pustaka, perpustakaan yang sesuai dengan kondisi negara kepulauan. Perahu pustaka berlayar dari pantai Pambusuang Polewali Mandar Sulawesi Barat ke pulau pulau sekitar Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, melintasi antara lain Teluk Majene, Pulau Sagori, Pulau Battoa sampai ke Pangkep Sulawesi Selatan.
Perahu Phinisi Kecil khas Mandar ini, akan membawa impian anak anak Indonesia yang berlayar dalam imajinasi bacaan. Semoga ke depan kita semua sadar, Jalesviva Jayamahe hanya terwujud melalui bacaan ke generasi depan.