Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Patrialis Akbar (PA) memberikan tamparan keras bagi bangsa Indonesia.
Demikian pernyataan dari Advokat sekaligus Ketua Indonesian Human Rights Committee For Social Justice (IHCS), Ridwan Darmawan di Jakarta, Kamis (26/1).
Menurut Ridwan, jika PA terbukti menerima suap, perbuatan tersebut merupakan kejahatan yang sangat luar biasa.
“Peristiwa PA menurut saya malapetaka besar bagi negeri ini, melakukan kejahatan luar biasa, korupsi. Kejahatan tersebut masuk dalam kategori extraordinary crime. Ini tamparan keras bagi seluruh komponen bangsa, bukan hanya di MK,” kata Ridwan.
Ridwan mengatakan, perlu adanya evaluasi menyeluruh dalam merekrut Hakim Konstitusi, demi memperbaiki wajah bangsa yang sudah cemong akibat ulah penjaga terakhir hukum di Indonesia.
Menurutnya, rekam jejak calon Hakim Konstitusi harus betul-betul diteropong dari berbagai aspek.
“Rekam jejaknya baik dari segi keilmuan, segi kesehatan dan track record calon, terutama juga soal asal pejabat negara tersebut harus dievaluasi. Kalau untuk calon anggota KPU saja disertakan syarat harus bukan lagi anggota partai politik selama lima tahun, tentu saja hakim MK harus lebih dari itu,” ujar Ridwan.
Ridwan menjelaskan, Korupsi di dalam hukum international telah masuk dalam kategori kejahatan luar biasa, hostis humanis generis, musuh umat manusia.
“Yang menarik, OTT KPK ini dilakukan beberapa jam setelah MK memutus perkara pungujian UU Tipikor yang diajukan oleh 7 PNS dari tujuh provinsi yang berstatus sebagai tersangka, terdakwa dan terpidana korupsi yang mempersoalkan frasa “dapat” dalam Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, MK mengabulkan permohonan mereka dengan menyatakan bahwa unsur kerugian negara dalam penindakan kasus korupsi harus bersifat actual loss, bukan potential loss,” jelas Ridwan.
Sebagaimana selama ini, lanjut Ridwan, jelas hal itu makin menghambat upaya pemberantasan korupsi.
“Lebih menarik lagi, putusan MK yg dibacakan kemarin, mengoreksi putusan MK sebelumnya yang menyatakan bahwa kerugian negara tidak harus actual loss dan putusan tersebut diwarnai dissenting opinion (pendapat berbeda-Red) oleh 4 Hakim MK,” tutupnya.