Siapa sangka dengan ribuan followers di akun twitter, instagram, dan ribuan like di facebook, aku merasa menjadi ada. Hasil selfie dengan kamera kualitas seadanya, dan latar cahaya matahari senja, atau warung kopi yang masih kurang kunjungan dengan dekorasi ala westernian, maka aku merasa menjadi ada.
Aku pemuda di masa edan. Semua serba tak terkejar lagi menurutku. Apalagi aku seorang pemuda desa yang pernah mengenyam pendidikan di kota besar. Sekembalinya aku ke desa membuat aku menjadi tidak ada. Karena pemuda desa tidak sepopuler pemuda kota yang punya life style dan gaya selfie yang cetar membahana. Maka saat ini aku berfikir, bahwa aku tidak ada.
Being (ada) bagi pemuda adalah penting. Tampil perfect di khalayak menjadi modal utama yang merupakan target dari pandangan orang lain. Jean Paul Sartre dalam buku Filsafat Eksistensialsme 2011, karya A. Setyo Wibowo menjelaskan “tatapan orang lain mengurangi kemungkinan-kemungkinan untuk menentukan dirinya sendiri dan mendorong manusia untuk mereduksi dirinya menjadi yang lain dan melepaskan kebebasan jati diri yang otentik”.
Sejak media sosial menjadi alat bantu komunikasi utama bagi umat manusia, maka tatapan orang lain menjadi begitu pentingnya. Pemuda yang ada melakukan pemanfaatan ruang publik sebagai wadah kebebasan. Mengutip Setyo Wibowo dengan suatu refleksi Sartrian, manusia “ada untuk dirinya sendiri” lewat kesadaran transenden selalu bisa menidak, menghindar, dan menolak atas semua tatapan yang ada”
Pemuda benar-benar bebas atas apa yang dilakukan. Hal tersebut tidak pula membuat penulis menganggap para pemuda lain yang eksis di dunia maya dengan bebas memanfaatkan kontigensi dan melakukan tindakan riil adalah tidak memiliki nilai apalagi nilai kepemudaan. Kebebasan atas being hanya digunakan untuk tampil sebagai objek tatapan tanpa “nilai”. Menggunakan perspektivisme Nietszche karya Roy Jakson “menggunakan hasrat adalah suatu bentuk kehendak untuk berkuasa”. Foto selfie hasil cepretan adalah bentuk aktualisasi diri yang penuh rasa iba/simpati dan mempengaruhi orang lain untuk mencari tau lebih dalam keadaan utuh yang terjadi rerhadap dirinya saat itu.
Melanjutkan hal tentang kontigensi (kebebasan) di ruang publik saat ini, aku merasa kalau kebebasan individu tersebut sangat rapuh dan cukup goyah. Era milenium saat ini tak ada ruang yang tidak diikat dengan aturan. Kita akrab benar dengan UU ITE yang telah banyak menjerat pemuda karena dianggap melakukan pelecehan terhadap terhadap orang lain. Inilah ruang publik yang rentan akan masalah-masalah yang bisa menghantam siapapun, dimanapun, dan kapanpun. Pertarungan untuk merebut iba dari masyarakat digunakan orang banyak lewat media sosial.
Sibuk selfie sehingga ada hanya untuk dirinya dan mengabaikan kenyataan diluar darinya, yang aku bisa katakan sebagai masyarakat yang secara konkrit lebih butuh rasa simpati dan iba. Seberapa nyata tindakan kawan pemuda dalam melakukan pembelaan terhadap ketimpangan sosial yang terjadi pada ruang nyata?
Buruh masih ditipu dengan penghisapan nilai lebih kapitalisme yang saban hari semakin menggurita. Bermunuculan pula kasus perdagangan manusia yang terjadi di luar negara yang dampaknya telah menelan korban buruh migran kita. Cukup banyak kabar di media sosial membutuhkan dukungan gerakan dari pemuda untuk turut andil dalam mengkampanyekan keburukan sistem pemerintahan yang masih lemah memenuhi hak rakyat namun siap sepenuh hati memenuhi permintaan investor. Aku katakan, pemuda ada untuk dirinya sendiri walau di ruang publik sekalipun.
Bagi pemuda desa seperti saya, butuh pula perhatian yang jelas dari kawan pemuda lainnya yang berpikiran maju, karena setiap tahun angka-angka yang dikampanyekan oleh media pilihan pemerintah, menunjukkan adanya keberhasilan dalam memajukan ekonomi di pedesaan. Jika iya, kenapa saban hari aku semakin kesunyian yang dikarenakan banyak kawan pemuda berharap cemas pergi ke kota untuk berkerja dan memiliki cita-cita merubah nasib, dan sekali-sekali bisa pula mengunggah foto selfie ngopi di starbuks mall kota. Aku malah bingung.
Kebun kakao, sawah padi, dan kebun sayur sepi dari serbuan pict hunter. Tempat seperti ini menjadi absurd dan sulit dimaknai oleh pemuda masa kini. Lahan-lahan tersebut menjadi asing bagi mereka. Dan aku menarik kesimpulan: efek tidak massifnya selfie pemuda di lahan-lahan pertanian membuat lambat direalisasikannya reforma agraria sejati. Mungkin saja kan. Jadi mungkin saja kalau reforma agraria yang bakal direalisasikan adalah reforma agraria palsu.
Ratusan atau malah ribuan likers di sosial media tertentu menjadi indikator keter-ada-an seseorang pemuda saat ini. Eksis dan esensi tidak perlu lagi direnungi, karena dunia saat ini cukup dinamis dengan masalahnya. Perlu dilakukan sekarang cukup being untuk diri sendiri, karena kesendirian seorang pemuda maka dia menjadi ada.
Namun jikalau pemuda saat ini belum punya visi saat ingin keluar dari kesendiriaannya. Saya ingin memberikan saran seperti di bawah ini. Berikan aku sepuluh pemuda maka akan kuguncang panggung pertunjukan, berikan aku sepuluh pemudi, maka akan ku buat girlband. Biarkan aku selfie dengan gayaku maka aku ada dan mengguncang dunia.
Abdul Salman
Alumnus Universitas Negeri Makassar
Anggota FRONT Mahasiswa Nasional FMN